OPINI: Amplop di Kuburan

PENGANTAR REDAKSI: Bagaimana pendapat Anda tentang kebiasaan jemaat yang kerap memberikan sejumlah uang kepada pendeta, di saat wakil Tuhan tersebut merampungkan salah satu tugasnya? Lalu, masih adakah pendeta yang dengan sukarela menolak pemberian jemaatnya itu?

SEBAGAI seorang pendeta HKBP, jujur, saya sangat sering menerima amplop berisi uang (silakan tanya apakah pendeta HKBP lain tidak mempunyai pengalaman yang sama). Amplop itu kadang dititip lewat gereja (dan karena itu diwartakan, sehingga semua orang, termasuk istri saya tahu) dan kadang atau sering disalamkan diam-diam ke tangan saya sepulang suatu acara yang saya layani, karena itu orang banyak (apalagi istri saya) tidak tahu.

Sebenarnya apalagi di jaman akuntabilitas, transparansi dan sistemik ini saya agak risih menerima amplop itu walaupun dalam hati acap saya senang-senang saja menerimanya. Bela diri: emangnya siapa sih yang tak suka menerima uang? Apalagi secara hukum gereja (HKBP) pendeta tidak dilarang menerima pemberian jemaat yang suka diberinama “hamauliateon” atau “terima kasih” ini. Apalagi amplop itu juga tak pernah bisa bikin saya kaya-raya dan juga tidak berpengaruh apa-apa terhadap pengambilan keputusan parhalado yang saya pimpin.

Namun walaupun saya bilang senang, bagi seorang pendeta seperti saya menerima amplop bukanlah tanpa beban. Jujur, kadang saya merasa kecil atau dikecilkan. Atau takut dicap hepengon, mata duitan, atau bisa dibeli. Sebab itu saya pernah mengusulkan kepada Parhalado agar gaji saya sebagai pendeta dinaikkan secara signifikan lantas gereja membuat peraturan melarang pendeta menerima amplop. Bagi saya itu jauh lebih baik. Saya dan keluarga tidak perlu merasa berhutang budi kepada siapa-siapa. Saya tidak perlu merasa sebagai orang yang dikasihani sebab itu senantiasa perlu dikasih amplop.

Namun parhalado menolak. Alasannya: jemaat senang dapat memberi kepada pendetanya. Toh tidak ada paksaaan. Alasan lain: itu sudah adat atau kebiasaan. Saya pun mengalah. Saya ingat pameo batak: hansit mulak mangido hansitan mulak mangalehon (permintaan yang ditolak menyakitkan, namun pemberian yang ditolak lebih menyakitkan). Ya sudahlah. Jika adat memberi “hamauliateon” itu menyenangkan semua pihak dan tidak menyalahi aturan, prinsip apalagi kebenaran firman Tuhan mengapa harus dihapus? Saya pun menghitung-hitung lagi besaran amplop. Toh kadang persembahan dan pemberian saya lebih besar daripada yang saya terima.

Lantas kenapa takut (menerima amplop)? Jika saya memang mau, toh saya bisa juga diam-diam meneruskannya (sebagian atau keseluruhan) kepada teman atau siapa saja yang membutuhkannya. Satu lagi: bukankah saya juga membutuhkannya? Lantas kenapa malu? Ya sudahlah diterima saja dengan ucapan syukur dan hormat dan ikhlas.

Namun, betapapun saya membutuhkannya, saya telah berjanji kepada diri saya sendiri: saya tidak akan pernah mau menerima amplop di pemakaman atau pekuburan. Apa pula maksudnya ini? Begini: orang batak anggota HKBP itu saking sukanya memberi amplop kepada pendetanya (atau karena si pendeta suka menerimanya?) dengan ikhlas juga akan memberikan semacam ucapan terima kasih dalam bentuk uang saat dilayani gereka dan pendeta dalam acara kedukaan. Tentu saja bukan keluarga inti yang kematian yang langsung memberikan amplop, namun sanak atau kerabatnya. (Tentang sumber dananya apakah dibebankan kepada keluarga yang berduka atau dari kantong yang bersangkutan saya tidak tahu).

Begitulah saban-saban habis melayani pemakaman dan hendak pamit, selalu saja ada salah seorang kerabat dekat keluarga yang berduka mendatangi saya dan menyalamkan amplop itu. Dan amplop selalu saya tolak dengan halus betapapun mereka mendesak dan memaksa saya menerimanya. Pada saat sukacitalah kasi kalian itu, kata saya. Saya tidak terlalu berpikir apakah mereka sakit hati. Saya punya sejumlah alasan menolak. Pertama: penolakan itu adalah tanda empati dan solidaritas saya (dan gereja yang saya pimpin) kepada keluarga yang berduka. Sebagai seorang pendeta saya merasa ikut berduka dan prihatin atas kedukaan itu. Dan keprihatinan itu ingin saya tunjukkan salah satu dengan tidak menjadikan diri saya sebagai beban tambahan. Sebab itu juga saya tidak pernah meminta dijemput atau diantar oleh keluarga yang berduka. Saya bisa mengurus diri saya sendiri. Jika perlu saya minta bantuan parhalado.

Kedua: saya ingin menyatakan kepada banyak orang bahwa pendeta dan terutama gereja HKBP bukan hanya pihak yang hanya tau menerima apalagi dalam peristiwa dukacita. Sebaliknya gereja adalah pihak yang lebih banyak memberi. Sudah cukuplah tudingan bahwa gereja HKBP hanya tahu meminta. Saya ingin membuktikan HKBP bisa memberi kepada jemaatnya. Sebab itulah dimana saya melayani, yang pertama-tama saya perjuangkan agar gereja mau memberikan santunan kepada anggota jemaatnya yang kemalangan. Hanya sekadar informasi: bila anggota jemaat kami meninggal, kecil atau besar, kami akan memberikan “tangis ni huria” (uang tangis gereja) sebesar dua juta. Di rapat depan kami sudah bertekad akan menaikkanya lagi. Itulah salah satu tanda gereja ikut merasakan beban yang sedang dipikul jemaatnya dan mau berbagi beban itu.

Ketiga: saya juga ingin mengatakan pelayanan gereja tidak boleh diukur uang. Ada saatnya gereja menerima namun ada saatnya gereja memberi. Menerima dan memberi (take and give), sisolisoli, tidak harus dilakukan pada saat yang sama. Jika pelayanan gereja harus dibayar, apa hebatnya? Jika semua kebaikan harus dibalas diganti seketika, apa lagi kelebihan gereja dengan perusahaan ambulans, peti jenazah atau pemakaman? Pada saat mana dan bagaimana gereja (termasuk pendeta) menyatakan dia ikut berduka dan mau berbagi dengan jemaat yang kematian kekasihnya? Hanya melalui kata-kata belaka?

Namun sebelum saya dituduh bohong, saya harus buru-buru mengakui ada beberapa kali saya dengan sukacita menerima amplop di kuburan. Yaitu dari keluarga orang-orang yang menurut adat Batak telah mati saurmatua (mati umur panjang, banyak turunan, dan kaya raya) sebab itu dipestakan. Entah kenapa pada saat itu saya sama sekali tak merasa bersalah.

Daniel T.A. Harahap, Pendeta HKBP
www.rumametmet.com
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment