HKBP PARSOBURAN |
HKBP Parsoburan berdiri tegak di sisi kiri jalan dari arah Balige. Letaknya tidak jauh dari kantor camat, di belakangnya terdapat pekuburan umum. Untuk mengetahui kapan tepatnya gereja ini berdiri cukup memperhatikan empat angka yang tertera di bagian horizontal salib, di pucuk menara gereja. Di sana tertulis 1936, yang tak lain adalah tahun diresmikannya HKBP Parsoburan. Kecuali tahun berdiri, tidak ada lagi petunjuk yang bisa ditelusuri tentang latarbelakang gereja yang kini berusia hampir seratus tahun itu.
Akan tetapi, dari berbagai literatur yang berhasil ditelusuri, masih ada fakta sejarah lain yang teramat sayang untuk dilewatkan. Yakni, siapakah pendeta pertama yang melayani HKBP Parsoburan? “Pendeta Jason Simatupang,” tulis Pirmian Tua Dalam Sihombing, dalam sebuah bukunya yang mengulas tentang perjalanan Pendeta Albert Sihombing-Lumbantoruan dan istrinya Orem boru Hutabarat.
Pendeta Albert merupakan ayah kandung Pirmian, zendeling pribumi ketiga yang ditempatkan Ephorus HKBP Nommensen di kawasan Toba Habinsaran, berkedudukan di Sitorang dan Parsambilan. Pendeta Albert cukup lama melayani jemaat di Toba Habinsaran. Pendeta Albert dapat dikatakan bertugas mengawal Tuan Weissenbruch, zendeling muda yang berkedudukan sebagai pendeta resort di jemaat-induk Sitorang.
Pada mulanya jemaat Parsambilan dengan kedudukan induk resort di godung Losung Batu adalah tempat kedudukan seorang zendeling Jerman, sama seperti jemaat tetangganya, Sitorang. Pada dasawarsa 1890-an, untuk pertama kali Ephorus Nommensen sudah menempatkan seorang zendeling ke Parsambilan, yakni George Yung, yang lebih tersohor dikenal warganya dengan sapaan Tuan Jung. Zendeling inilah yang menerima tanah hibah yang cukup luas dari raja-raja kawasan Parsambilan, yakni Raja Punsaha Langit dan kedua adiknya Raja Puniahi dan Raja Patugaram bermarga Sitorus. Ketiganya adalah keturunan langsung dari Raja Sigodangtua, cucu Raja Matasopiak, melalui puteranya Raja Manjunjung.
Lewat sebuah peraturan reorganisasi zending atas prakarsa petinggi RMG di Barmen, Jerman pada 1910, beberapa jemaat pelayanan zendeling dalam jarak yang dianggap terlalu berdekatan, cukup digabungkan menjadi satu. Sejalan dengan kebijakan itu pula, sistem distrik diperkenalkan dan diberlakukan. Sejak tahun 1911, Distrik Toba dibentuk, dan dipimpin oleh Praeses Meerwaldt. Tempat kedudukan zendeling di kawasan Toba Habinsaran yang digabungkan itu, ditetapkan di Sitorang yang amat dekat dengan godung Losungbatu.
Karena itu, untuk pertama kali pada tahun 1911, jemaat Losungbatu bukan lagi berstatus resort, dalam pengertian yang dipimpin seorang zendeling. Meskipun demikian, jemaat Losungbatu masih tetap membawahi atau mengkoordinasi banyak huria pagaran (jemaat cabang) lainnya, di luar yang masuk ke jemaat-induk Sitorang. Yang ditetapkan akan memimpin jemaat-induk Losungbatu sejak reorganisasi itu adalah seorang "hulp-zendeling" alias pembantu-zendeling atau pendeta-pribumi.
Pendeta pribumi pertama menduduki pos yang ditinggalkan oleh zendeling Yung itu adalah Josua Hutabarat, alumnus angkatan ke-III, tahun 1889-1891. Sehubungan dengan kepedihan hati keluarga pendeta itu karena pembakaran rumah dinasnya pada tahun 1916, tugas pelayanannya kemudian digantikan Pendeta Benoni Simanjuntak, dari tahbisan angkatan ke VII, 1915-1917. Pendeta Benoni inilah yang kemudian digantikan pendeta Albert, yang lebih junior tiga angkatan, di godung Losungbatu mulai bulan Januari 1926.
Selanjutnya, karena tiadanya pembagian garis wilayah yang resmi antara zendeling Weissenbruch di Sitorang dan Pendeta Albert di Parsambilan, praktis kedua pendeta tersebut sama-sama melakukan pelayanan dalam jurisdiksi yang tidak terikat. Berarti, jemaat yang dilayani kedua pendeta ini secara bersamaan adalah semua jemaat-cabang di kawasan Sitorang, Parsambilan, Parsoburan. sampai ke Borbor. Kala itu, semua jemaat di Parsoburan sampai ke Borbor masih menyatu dalam satu jemaat-induk besar Losungbatu, dengan kordinator seorang hulp-zendeling saja.
Menurut notasi-pelayanan Pendeta Albert, di antara jemaat-jemaat cabang yang pernah turut dilayani olehnya dalam resort maha-luas itu, adalah Sitorang, Silaen, Lumban Lintong, Batugaja, Natolutali, Sibide, Losungbatu, Pintubatu, Simanobak, Parsoburan, Lumban Pinasa, Lintong, Lumban Balik, Batu Manumpak, Dolok Nauli, Lobu Dapdap, Lumban Rau, Natumingka, Tor Ganjang, Lobu Hole, Pangururan, Pintubatu, Siringkiron, Hite Tano, Tangga, Borbor, dan beberapa lainnya. Barulah pada awal tahun 1930, Parsoburan mulai memiliki pendeta sendiri, yakni Pendeta Jason Simatupang. Ia adalah tahbisan pada angkatan ke-XII, akhir tahun 1929.
Sayangnya, belum ada catatan sejarah tentang kisah pelayanan Pendeta Jason Simatupang di kawasan Parsoburan. Bagaimana dan apa saja yang dialami Pendeta Jason Simatupang saat menyebarkan injil di Parsoburan?
Ragam Sejarah HKBP di Parsoburan
Masuknya Pendeta Jason Simatupang ke HKBP Parsoburan sejatinya bukanlah awal penginjilan di tanah yang dihuni mayoritas marga Pardosi ini. Sebab, ada pula literatur yang menyebutkan HKBP Lumban Pinasa sudah berdiri sejak 1906. Masuknya HKBP ke Lumban Pinasa kemungkinan besar terjadi karena saat itu Habinsaran dibagi dalam Empat Nagori. Yakni, Nagori Lumban Balik, Nagori Lumban Rau, Nagori Parsoburan, dan Nagori Lumbanrau. Nagori Lumban Rau kemudian dibagi menjadi beberapa desa dengan sistem pembuatan nama sesuai dengan arah mata angin dan lokasi desanya. Sehingga sampai sekarang ada desa Lumban Rau Tengah, Lumban Rau Selatan, Lumban Rau Timur, serta Lumban Pinasa.
Ada pula cerita yang juga menyebutkan sudah hadirnya HKBP di Tornagodang, sejak 1900-an. Terkait hal ini, Profesor Uli Kozok, seorang peneliti Jerman yang banyak menguraikan sejarah HKBP mengatakan, “untuk mengetahui itu harus ke Perpustakaan Wuppertal, Jerman,” tulis Uli Kozok saat dimintai GABE untuk meneliti seluk-beluk penginjilan di tanah Parsoburan.
Barangkali, satu-satunya cara yang mungkin bisa dirujuk sebagai ihwal penyeberan Injil di Parsoburan adalah dengan mencari tahu siapa saja sintua yang ditahbiskan kala itu. Konon, sintua pertama yang ditahbiskan di Parsoburan adalah Sintua Japet Pardosi. Ia lahir kira-kira tahun 1880. Tahun kelahiran Sintua Japet ini merupakan prediksi dengan asumsi ia menikah pada umur 19-20 tahun. Prediksi serupa juga dilekatkan pada anak pertama Sintua Japet yang bernama Levi Pardosi yang juga menyandang predikat Sintua. Dengan demikian, Sintua Levi dilahirkan kira-kira tahun 1900-an. Penafsiran tahun kelahiran Sintua Japet dan Sintua Levi juga sejalan dengan tahun kelahiran anak pertama Sintua Levi yang bernama Alusan Pardosi yang juga berstatus Sintua, pada 1919. Kala itu, tahun kelahiran seseorang sudah cukup banyak yang tercatat. Dengan demikian, Sintua Japet sangat mungkin ditahbiskan sekitar tahun 1900-1910, saat ia berumur 20 sampai 30 tahun.
Analisis sejarah tersebut juga sejalan dengan penempatan zendeling George Yung oleh Ephorus HKBP Nommensen pada 1890-an, di Parsambilan. Jika dikaitkan dengan wilayah penyebaran zending setelah George Yung, pendeta yang menahbiskan sintua angkatan pertama di Parsoburan adalah Pendeta Josua Hutabarat. Sementara penahbisan sintua gelombang kedua dilakukan oleh Pendeta Benoni Simanjuntak.
Namun, guna memastikan hal ini, dibutuhkan penelitian yang lebih mendalam dan menyeluruh. Mungkin ada baiknya apabila HKBP mulai mengumpulkan secuil demi secuil butiran sejarah yang masih bertebaran itu.
Pinatomutomu ni Ishak Pardosi
0 komentar:
Post a Comment