Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) jurusan Sastra Batak
menggelar penelitian pengkajian sejarah Batak di Baktiraja, Humbahas,
Senin (15/7). Mereka tertarik pada lokasi kelahiran Raja
Sisingamangaraja XII yang juga sebagai sejarah istana di masa penjajahan
Belanda.
Koordinator pengkajian budaya ikatan mahasiswa sastra daerah USU Fernado Sinaga mengatakan, penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa di Baktiraja dilatarbelakangi tentang budaya Batak menghadapi globalisasi.
“Di era globalisasi ini kecintaan terhadap budaya terus menipis akibat kemajuan teknologi. Salah satu kelemahan masyarakat terletak pada minimnya pembelajaran terhadap kebudayaan,” jelasnya.
Dia menerangkan, hal itu membuat kalangan saat ini lebih cinta budaya barat daripada budaya sendiri. Atas dasar itulah, mereka tergerak untuk menggali kembali budaya yang ada di lingkungan Batak baik dari aspek sastra lisan ataupun tulisan.
“Kita memilih lokasi Baktiraja menjadi salah satu penelitian pengkajian kebudayaan Batak karena memiliki banyak sejarah. Kita berharap agar hasil ini dapat mendorong seluruh generasi untuk lebih mencintai budaya sendiri,” ungkap Fernando.
Sementara itu, Ketua Forum Pecinta Aksara Batak Manguji Nababan usai melakukan riset bersama mahasiswa mengaku, keistimewaan lain yang dimiliki kawasan sekitar Baktiraja meliputi Bakara, Marbun dan Tipang. Daerah itu terletak pada penataan pemerintah yang tersistematis untuk kemakmuran masyarakat.
“Selain itu, pola kerukunan dan pengelolaan perkampungan yang ada di Baktiraja juga memiliki karakteristik pemerintahan khusus. Sebab, kawasan Baktiraja memiliki aturan-aturan adat yang harus dijalankan oleh masyarakat.
Kita juga berharap semua pihak memahami hal ini sebagai bagian dari kekayaan daerah. Terlebih saat proses pengajuan kawasan-kawasan di sekitar Danau Toba sebagai kawasan geopark yang harus didukung oleh berbagai aspek termasuk tata kelola budaya,” terangnya.
Direktur Batakologi Nommensen tersebut juga mengatakan, keistimewaan dari Baktiraja dibanding beberapa kawasan-kawasan lainnya di sekitar Danau Toba terletak pada sejarah tersebut.
Sebab tidak semua kawasan di sekitar Danau Toba yang sudah memiliki pemerintahan yang sistematis dan memiliki ruang demokrasi serta politik yang baik di lingkungan masyarakat.
“Contohnya saja untuk Bakkara disebut dengan bius sionom ompu. Tipang disebut Bius sipitu harajaon. Sebab Tipang awalnya bernama bius siamak pandan kemudian ganti nama menjadi Bakkara Tobing yang selanjutnya disebut Tipang,” paparnya.
Saat ini, menurut Manguji, semua pihak harus mendukung pelestarian sistem pemerintahan kultural tersebut. Sebab ini merupakan aset daerah yang dapat dijadikan aset dan landasan mendasar untuk membuat sejumlah kebijakan daerah. Salah satunya peraturan daerah (Perda) yang dapat disingkronkan dengan kondisi budaya.
“Selain itu, keberadaan Baktiraja juga harus memperkuat upaya perwujudan Sastra Batak go Internasional oleh Direktorat Perguruan Tinggi,” jelasnya. METROSIANTAR
Koordinator pengkajian budaya ikatan mahasiswa sastra daerah USU Fernado Sinaga mengatakan, penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa di Baktiraja dilatarbelakangi tentang budaya Batak menghadapi globalisasi.
“Di era globalisasi ini kecintaan terhadap budaya terus menipis akibat kemajuan teknologi. Salah satu kelemahan masyarakat terletak pada minimnya pembelajaran terhadap kebudayaan,” jelasnya.
Dia menerangkan, hal itu membuat kalangan saat ini lebih cinta budaya barat daripada budaya sendiri. Atas dasar itulah, mereka tergerak untuk menggali kembali budaya yang ada di lingkungan Batak baik dari aspek sastra lisan ataupun tulisan.
“Kita memilih lokasi Baktiraja menjadi salah satu penelitian pengkajian kebudayaan Batak karena memiliki banyak sejarah. Kita berharap agar hasil ini dapat mendorong seluruh generasi untuk lebih mencintai budaya sendiri,” ungkap Fernando.
Sementara itu, Ketua Forum Pecinta Aksara Batak Manguji Nababan usai melakukan riset bersama mahasiswa mengaku, keistimewaan lain yang dimiliki kawasan sekitar Baktiraja meliputi Bakara, Marbun dan Tipang. Daerah itu terletak pada penataan pemerintah yang tersistematis untuk kemakmuran masyarakat.
“Selain itu, pola kerukunan dan pengelolaan perkampungan yang ada di Baktiraja juga memiliki karakteristik pemerintahan khusus. Sebab, kawasan Baktiraja memiliki aturan-aturan adat yang harus dijalankan oleh masyarakat.
Kita juga berharap semua pihak memahami hal ini sebagai bagian dari kekayaan daerah. Terlebih saat proses pengajuan kawasan-kawasan di sekitar Danau Toba sebagai kawasan geopark yang harus didukung oleh berbagai aspek termasuk tata kelola budaya,” terangnya.
Direktur Batakologi Nommensen tersebut juga mengatakan, keistimewaan dari Baktiraja dibanding beberapa kawasan-kawasan lainnya di sekitar Danau Toba terletak pada sejarah tersebut.
Sebab tidak semua kawasan di sekitar Danau Toba yang sudah memiliki pemerintahan yang sistematis dan memiliki ruang demokrasi serta politik yang baik di lingkungan masyarakat.
“Contohnya saja untuk Bakkara disebut dengan bius sionom ompu. Tipang disebut Bius sipitu harajaon. Sebab Tipang awalnya bernama bius siamak pandan kemudian ganti nama menjadi Bakkara Tobing yang selanjutnya disebut Tipang,” paparnya.
Saat ini, menurut Manguji, semua pihak harus mendukung pelestarian sistem pemerintahan kultural tersebut. Sebab ini merupakan aset daerah yang dapat dijadikan aset dan landasan mendasar untuk membuat sejumlah kebijakan daerah. Salah satunya peraturan daerah (Perda) yang dapat disingkronkan dengan kondisi budaya.
“Selain itu, keberadaan Baktiraja juga harus memperkuat upaya perwujudan Sastra Batak go Internasional oleh Direktorat Perguruan Tinggi,” jelasnya. METROSIANTAR
0 komentar:
Post a Comment