MASIH sering saya kenang pengalaman-pengalaman semasa bermukim di Pangururan, Samosir. Dalam ilmu humaniora, itu disebut romantik; suka mengenang masa lalu. Keterkenangan itu tak selalu menyangkut asyiknya masa remaja bersama kawan-kawan sebaya, juga menyangkut hal-hal yang indah, menarik dan perlu, yang kian sulit saya temukan dalam kehidupan masa kini, terutama di Bonapasogit.
Saya, dan mungkin juga anda, semakin kehilangan sesuatu yang mulia dan luhur yang disebut holong (kasih-sayang); sesuatu yang bersumber dari kearifan-kearifan masyarakat lokal hasil pengejawantahan aturan adat atau norma-norma sosial masyarakat adat Batak. Sesuatu yang kian hilang itu, kata orang-orang yang mengagungkan modernitas meski belum tentu paham dan mungkin hanya korban zaman, sulit dihindari karena kehidupan terus berubah tanpa kemampuan untuk menghentikan.
Di memori pikiran saya masih mengendap kuat pengalaman-pengalaman masa remaja saat mengunjungi huta (kampung) teman sekolah di pelosok-pelosok Samosir. Sambutan orangtua dan sanak-saudara kawan-kawanku yang umumnya hidup dalam kebersahajaan itu senantiasa mengesankan. Apapun yang mereka punya (terutama makanan) akan disajikan dengan sukacita, seolah-olah saya tamu penting yang patut disambut istimewa. Bahkan, bila ibu kawan saya kebetulan dari marga Situmorang Sipitu Ama, akan berlebihan sambutannya, menempatkan saya laksana bapak baginya, hanya karena saya berkedudukan paramaan-nya.
Tapi memang, ibu saya pun saya lihat begitu dan terkesan berlebihan manakala menghadapi marga Nainggolan, termasuk teman sepermainan saya. Semasa kelas enam SD, saya pernah ia marahi habis-habisan karena ketahuan berhantam dengan satu kawan bermarga Nainggolan hingga muka kami lebam-lebam—padahal, sebenarnya, kawan saya itulah yang curang dalam permainan klereng. Masih saya ingat ucapannya yang dengan geram menghujani saya: “Tidak tahu adat! Tidakkah kau tahu bahwa dia itu hula-hula-ku, tulang-mu? Berani-beraninya kau pukul paramaan-ku itu. Bukan anakni raja kau!” Kendati merasa diperlakukan tidak adil dan membangkitkan amarah, di tengah pembelaan saya yang khas anak-anak, dalam diri saya saat itu muncul juga perasaan bersalah dan malu: tindakan saya, ternyata tak sepantasnya.
Tetapi, ajar-ajar semacam itu—yang hampir semua ibu kawan saya menerapkan—diam-diam telah tertanam di dalam diri saya. Ajar-ajar supaya tetap maradat dan jadi anakni raja itulah yang turut berperan membangun sopan-santun dan tata-krama dalam pergaulan masyarakat. Setiap orang, tak pandang usia, sudah harus tahu bagaimana menempatkan dan menyapa serta memerlakukan orang lain sesuai kedudukan, hubungan perkerabatan, dan marga. Si anu adalah tulang-nantulang, yang itu amangboru-namboru, yang sana ompung, amangtua-inangtua, amanguda-inanguda, lae, dan sebagainya.
Orang-orang harus tahu terhadap siapa dia bisa bebas bercanda dan kepada siapa harus teguh menjaga sopan-santun yang kadang menjurus kaku. Meski terhadap yang seusia atau di bawah usia, misalnya, taklah sopan membicarakan hal-hal yang bersifat tabu atau menyinggung urusan syahwat. Kompetisi di sekolah atau di luar, tidak akan menimbulkan kekesalan yang mendalam bila tak menang karena ompung atau ibunya sang pemenang semarga dengan saya atau ibu saya. Orang-orang pun merasa bangga bila ada yang berprestasi, tersohor, pejabat, hanya karena satu marga dengan dirinya, ibunya, atau kakek-neneknya. Sebaliknya, bila ada yang semarga atau berposisi tulang berbuat cela atau tindakan yang memalukan, akan ikut terpukul dan merasa malu. Semua itu, tak disadari, telah menjadi semacam pengontrol atas perilaku tiap individu.
Zaman yang berubah dan perubahan sosial yang tak terantisipasi dengan persiapan yang kokoh berupa penanaman nilai-nilai dasar bagi orang Batak berdasarkan ajar-ajar leluhur, telah mengikis hal-hal yang baik dari diri masyarakat Batak. Etika, sopan-santun, tata-krama, persaudaraan, solidaritas dan gotong royong macam tradisi marsiadapari kian sirna. Fenomena yang memprihatinkan itu diperburuk perubahan sistem dan kebijakan politik negara, karena serbuan parpol, pertarungan merebut kursi DPRD dan pemilihan bupati, kepala desa, telah memporakporandakan segalanya. Akibat konflik lama antarpengurus lembaga agama (HKBP) pun turut menjerambabkan nilai-nilai klasik dan ikatan persaudaraan masyarakat ke jurang kehancuran. Hubungan-bubungan keluarga, perkerabatan dan pertetanggaan (dongan sahuta) yang luhur dan tulus itu, telah memudar.
Orang-orang kian digiring menganut paham yang bersifat transaksional dengan mengukur segala sesuatu berdasarkan uang, imbalan, kepentingan jangka pendek, yang melahirkan para oportunis dan penjilat yang tak punya martabat. Kian sulit pula menemukan tokoh panutan, sementara lembaga adat lebih berfungsi sebagai pelaku pemenuhan formalitas acara adat agar dianggap sah.
Ingin sekali saya temukan suasana kehidupan masyarakat Batak masa lampau yang hangat dan beradat itu. Tapi, saya harus realistis karena zaman tak bisa dimundurkan, betapapun kini dan yang akan datang semakin mengerikan. ***
Oleh Suhunan Situmorang
* Dimuat di koran Batak Pos, Sabtu 4 September 2010
Saya, dan mungkin juga anda, semakin kehilangan sesuatu yang mulia dan luhur yang disebut holong (kasih-sayang); sesuatu yang bersumber dari kearifan-kearifan masyarakat lokal hasil pengejawantahan aturan adat atau norma-norma sosial masyarakat adat Batak. Sesuatu yang kian hilang itu, kata orang-orang yang mengagungkan modernitas meski belum tentu paham dan mungkin hanya korban zaman, sulit dihindari karena kehidupan terus berubah tanpa kemampuan untuk menghentikan.
Di memori pikiran saya masih mengendap kuat pengalaman-pengalaman masa remaja saat mengunjungi huta (kampung) teman sekolah di pelosok-pelosok Samosir. Sambutan orangtua dan sanak-saudara kawan-kawanku yang umumnya hidup dalam kebersahajaan itu senantiasa mengesankan. Apapun yang mereka punya (terutama makanan) akan disajikan dengan sukacita, seolah-olah saya tamu penting yang patut disambut istimewa. Bahkan, bila ibu kawan saya kebetulan dari marga Situmorang Sipitu Ama, akan berlebihan sambutannya, menempatkan saya laksana bapak baginya, hanya karena saya berkedudukan paramaan-nya.
Tapi memang, ibu saya pun saya lihat begitu dan terkesan berlebihan manakala menghadapi marga Nainggolan, termasuk teman sepermainan saya. Semasa kelas enam SD, saya pernah ia marahi habis-habisan karena ketahuan berhantam dengan satu kawan bermarga Nainggolan hingga muka kami lebam-lebam—padahal, sebenarnya, kawan saya itulah yang curang dalam permainan klereng. Masih saya ingat ucapannya yang dengan geram menghujani saya: “Tidak tahu adat! Tidakkah kau tahu bahwa dia itu hula-hula-ku, tulang-mu? Berani-beraninya kau pukul paramaan-ku itu. Bukan anakni raja kau!” Kendati merasa diperlakukan tidak adil dan membangkitkan amarah, di tengah pembelaan saya yang khas anak-anak, dalam diri saya saat itu muncul juga perasaan bersalah dan malu: tindakan saya, ternyata tak sepantasnya.
Tetapi, ajar-ajar semacam itu—yang hampir semua ibu kawan saya menerapkan—diam-diam telah tertanam di dalam diri saya. Ajar-ajar supaya tetap maradat dan jadi anakni raja itulah yang turut berperan membangun sopan-santun dan tata-krama dalam pergaulan masyarakat. Setiap orang, tak pandang usia, sudah harus tahu bagaimana menempatkan dan menyapa serta memerlakukan orang lain sesuai kedudukan, hubungan perkerabatan, dan marga. Si anu adalah tulang-nantulang, yang itu amangboru-namboru, yang sana ompung, amangtua-inangtua, amanguda-inanguda, lae, dan sebagainya.
Orang-orang harus tahu terhadap siapa dia bisa bebas bercanda dan kepada siapa harus teguh menjaga sopan-santun yang kadang menjurus kaku. Meski terhadap yang seusia atau di bawah usia, misalnya, taklah sopan membicarakan hal-hal yang bersifat tabu atau menyinggung urusan syahwat. Kompetisi di sekolah atau di luar, tidak akan menimbulkan kekesalan yang mendalam bila tak menang karena ompung atau ibunya sang pemenang semarga dengan saya atau ibu saya. Orang-orang pun merasa bangga bila ada yang berprestasi, tersohor, pejabat, hanya karena satu marga dengan dirinya, ibunya, atau kakek-neneknya. Sebaliknya, bila ada yang semarga atau berposisi tulang berbuat cela atau tindakan yang memalukan, akan ikut terpukul dan merasa malu. Semua itu, tak disadari, telah menjadi semacam pengontrol atas perilaku tiap individu.
Zaman yang berubah dan perubahan sosial yang tak terantisipasi dengan persiapan yang kokoh berupa penanaman nilai-nilai dasar bagi orang Batak berdasarkan ajar-ajar leluhur, telah mengikis hal-hal yang baik dari diri masyarakat Batak. Etika, sopan-santun, tata-krama, persaudaraan, solidaritas dan gotong royong macam tradisi marsiadapari kian sirna. Fenomena yang memprihatinkan itu diperburuk perubahan sistem dan kebijakan politik negara, karena serbuan parpol, pertarungan merebut kursi DPRD dan pemilihan bupati, kepala desa, telah memporakporandakan segalanya. Akibat konflik lama antarpengurus lembaga agama (HKBP) pun turut menjerambabkan nilai-nilai klasik dan ikatan persaudaraan masyarakat ke jurang kehancuran. Hubungan-bubungan keluarga, perkerabatan dan pertetanggaan (dongan sahuta) yang luhur dan tulus itu, telah memudar.
Orang-orang kian digiring menganut paham yang bersifat transaksional dengan mengukur segala sesuatu berdasarkan uang, imbalan, kepentingan jangka pendek, yang melahirkan para oportunis dan penjilat yang tak punya martabat. Kian sulit pula menemukan tokoh panutan, sementara lembaga adat lebih berfungsi sebagai pelaku pemenuhan formalitas acara adat agar dianggap sah.
Ingin sekali saya temukan suasana kehidupan masyarakat Batak masa lampau yang hangat dan beradat itu. Tapi, saya harus realistis karena zaman tak bisa dimundurkan, betapapun kini dan yang akan datang semakin mengerikan. ***
Oleh Suhunan Situmorang
* Dimuat di koran Batak Pos, Sabtu 4 September 2010
0 komentar:
Post a Comment