Persaingan Caleg 2014 Lebih Sengit dari 2009


Partai perserta pemilu 2014  kini tengah sibuk menyeleksi kader mereka sendiri  serta tokoh dari luar partai,  yang bisa dicalonkan menjadi anggota legislatif di pusat, provinsi dan kabupaten. Dan tampaknya dalam Pemilu kali ini, bukan cuma persaingan antar partai saja yang sengit, persaingan antara kader merebut tiket Caleg juga bakal kian panas.

Penyebabnya adalah jumlah partai politik peserta Pemilu berkurang. Bila pada Pemilu 2009 jumlah partai 38, kali ini cuma 12 partai. Ribuan politisi dari pusat hingga ke daerah berebutan masuk ke 12 partai itu. Kader-kader partai politik yang tidak lolos menjadi peserta Pemilu masuk ke partai lain.

Bahkan ada pula partai yang mengakusisi partai-partai yang tidak lolos itu. Akusisi itu tentu saja menambah jumlah kader mereka, baik di pusat, provinsi maupun kabupaten. Mesin partai memang bisa besar. Tapi persaingan internal juga bisa sengit.

Kian serulah persaingan itu, sebab ratusan politisi gaek juga masih ingin ke Senayan. Padahal jumlah politisi muda juga kian banyak.

Sejumlah partai menilai bahwa para politisi berpengalaman itu lebih mampu meraih suara. Jaringan mereka di Daerah Pemilihan (Dapil) juga cukup kiat. Tapi sejumlah partai lain menilai sebalinya. Lumbung suara justru datang dari politisi muda.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, menegaskan bahwa nama besar politisi dan senioritas dalam dunia politik bukan jaminan mulus meraih kursi empuk DPRD Provinsi, Kota/Kabupaten, DPR RI peridoe 2014-2015.

Karena itu, ia meminta seluruh kader Gerindra bekerja keras dan optimis untuk meraih simpati rakyat.

"Agung Laksono namanya kurang besar apa, tapi gagal mendapatkan kursi di 2009. Itu bukti nama besar bukan jaminan," ujarnya di sela-sela Pelatihan Nasional Kominfo Tunas Indonesia Raya (TIDAR), di Jakarta, Sabtu 16 Maret 2013.

Fadli mengakui bahwa ada sejumlah nama besar yang kemungkinan besar kembali duduk di kursi DPR RI, khususnya dari daerah pemilihan di Provinsi DKI Jakarta.

Sebut saja nama Marzuki Ali, Effendi Simbolon, Hayono Isman dan sejumlah elit politik yang berhasil menduduki kursi DPR dari daerah provinsi DKI Jakarta pada 2009 lalu.

Namun, Fadli menilai bahwa keinginan akan adanya perubahan sangat besar dan terasa di kalangan masyarakat. Kuatnya keinginan itu bisa mengubah peta politik pemilihan calon legislatif di tingkat DPR RI 2014.

Peta politik akan berubah sebab kuatnya kehendak perubahan di kalangan masyarakat, didorong oleh kasus hukum yang menimpa sejumlah partai politik dan ramai diberitakan belakangan ini.

Aryo Djojohadikusumo, Ketua Umum Pengurus Pusat Tunas Indonesia Raya (TIDAR)--organisasi sayap Partai Gerindra yang ditujukan untuk anak muda,  meminta seluruh calon kepala daerah dari partai Gerindra tidak lagi mengunakan konsep kotak-kotak Jokowi Basuki.

Kekalahan cagub gubernur yang didukung Gerindra di Sumut dan Jabar membuktikan "pengocopian" kotak-kotak tidak berhasil.

"Caleg, calon kepala daerah tingkat provinsi, Kota/ kabupaten, harus punya kreasi sendiri dan baru. Jangan tiru gaya kotak-kotak. Kegagalan Sumut dan Jabar jadi bukti itu tidak berhasil," ujarnya.

Ia meminta kader-kader muda sebagai 'mesin' partai  harus lebih sering turun ke masyarakat dan melakukan sosiasilisasi dengan maksimal.

Cara Golkar

Partai Golongan Karya(Golkar) mewajibkan calon legislatif 2014 untuk mengikuti serangkaian pembekalan dan pendidikan kader di kepartaian. Setelah mengikuti pelatihan, mereka harus turun ke daerah pemilihan, membantu masyarakat melalui program karya kekaryaan.

"Tidak ada pengecualian, siapa pun yang ingin menjadi Caleg harus ikut program ini," kata Juru Bicara Golkar, Tantowi Yahya kepada VIVAnews.com beberapa waktu lalu.

Sejumlah partai politik lain juga merekrut secara ketat Caleg 2014, meski tetap memperhatikan elektabilitas dan syarat "dikenal publik." Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya, tetap merekrut para artis untuk menjadi Caleg pada pemilihan umum 2014.

SUMBER
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment