"Tidak ada lagi kesucian simbol dan atribut untuk tujuan mulia, semuanya
digunakan untuk kepentingan segelintir orang semata. Legitimasi hukum
atas kekuasaan penuh menjadi sumber malapetaka"
Kendati Memorandum of Understanding (MoU) antara TNI dan Polri sudah ditandatangani, tiba-tiba pada Kamis (7 Maret 2013) pukul 07.30 WIB Markas Polres OKU, Sumatera Selatan dibakar sebanyak 95 anggota TNI yang disnyalir berawal dari aksi unjuk rasa untuk memprotes salah satu rekan mereka yang tertembak.
Berlanjut pada kasus penyerangan dan pembunuhan 4 tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta yang dilakukan oleh sekelompok oknum Kopassus bersenjata api laras panjang jenis AK-47, pistol jenis FN, dan granat dan hanya berlangsung 15 menit.
Bahkan kasus teranyar, penegak hukum Kapolsek Dolok Pardamean AKP Andar Siahaan tewas dianiaya massa saat melaksanakan tugas mulianya menangkap seorang pelaku judi togel setelah diteriaki maling dan kendati korban sudah melepaskan pelaku judi namun massa tetap beringas dan memukuli hingga tewas di tempat. Berkaca pada tiga kejadian tersebut munculah pertanyaan, masih adakah hukum?
Superior Melawan Hukum
Negara hukum (rechstaat) yang diagungkan dalam konstitusi harus dipahami dalam konteks bernegara untuk melindungi dan menghargai setiap perilaku masyarakat Indonesia. Hukum harus di depan menata dan mendesain setiap hubungan manusia, tidak terkecuali hubungan dengan aparat Negara dan sebaliknya. Teori check and balancing tiga pilar Negara (eksekutif, legislatif, dan judikatif) pun harus diterjemahkan dengan kesetaraan dan pengakuan.
Di sisi lain, hukum sendiri memberikan kekuasaan (power) kepada bagian dari masing-masing tiga pilar tadi untuk mengelola institusi, yang berakibat diberikannya kewenangan untuk menafsirkan dan bertindak sendiri dan tragisnya bahkan sampai kebablasan. Akibatnya, menjurus menjadi tindakan anarkis tanpa diimbangi dengan kekuasaan pilar lain. Tidak ada lagi kesucian simbol dan atribut untuk tujuan mulia, semuanya digunakan untuk kepentingan segelintir orang semata. Legitimasi hukum atas kekuasaan penuh (full power) menjadi sumber malapetaka. Selalu masyarakat yang menjadi kebingungan menghadapi gesekan seperti ini. Posisi yang demikian sangat disukai segelintir penguasa yang memudahkannya memprovokasi pendukungnya bahkan sampai berani merelakan diri untuk mendukung kepentingan yang didukungnya melebihi batas-batas hukum.
Jabatan dan kekuasaan tidak lagi memihak hukum. Namun, dibiarkan dan bahkan diciptakan, bahwa kekuasaan itulah hukum. Hukum membantu melegitimasi kekuasaan dan steril dari bentuk intervensi, dan tidak ada acuan dalam mengambil tindakan dan kebijakan, semuanya ditakar oleh keinginan penguasa tersebut. Akibat pembiaran itu akan berujung pada intensi mengesampingkan hukum sebab berpikir bahwa hukum itu menghambat dan tidak praktis.
Tidak lagi melihat apa kata hukum, rangkaian kata-kata peraturan dibiarkan sendiri tertutup rapat dan bahkan naif jika dibuka apalagi ditegakkan. Hanya perdebatan dalam arena diskusi saja yang seakan-akan mengutip dan merujuk kepada hukum, hal ini lumrah sebab dalam konteks yang demikian tidak ada kepentingan yang dipertaruhkan dan hanya pencitraan kepada publik mendiskribsikan hukum seakan-akan ditegakkan.
Munculah kemudian, adanya kekuasaan yang hirarkinya jauh superior dibanding hukum itu sendiri. Tipikal superioritas tersebut tidak hanya menular pada kekuasaan dalam pengertian pemegang jabatan, namun menjalar jauh hingga ke semua lapisan masyarakat. Buktinya, sangat banyak dijumpai lapisan masyarakat kebal (immunitas) dan tidak tersentuh hukum, seperti organisasi pemuda, organisasi keagamaan, organisasi adat. Tidak ada lagi keseganan dan ketakutan terhadap hukum. Lebih dari itu, tidak jarang mereka tidak mau berbicara apalagi berdebat tentang hukum, sebab sudah terdogmatik bahwa apa kata pemimpin itulah hukum bagi anggota atau pengikutnya. Keadaan ini juga diperparah dengan pemanfaatan kekuasaan itu menjadi sumber pendapatan utama. Akibatnya, kekuasaan itu bagaikan madu yang harus dipertahankan dengan semua cara.
Pengadilan Jalanan
Tidak bisa dipungkiri, keadaan superior melawan hukum menciptakan suatu arena pengadilan sendiri bernama pengadilan jalanan. Tidak ada penuntut umum, penasihat hukum dan majelis hakim, semua bertindak sebagai eksekutor. Berat ringan hukuman seseorang tergantung kepuasan dan hasrat sang eksekutor, jika perlu hukuman mati. Tidak ada upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali. Sebab, pengadilan biasanya hanya sekali saja dan tuntas (final, binding, and executable). Istilah hukum dalam peraturan perundang-undangan tidak dikenal, yang ada bahwa setiap orang yang dibawa ke pengadilan jalanan pasti bersalah dan dieksekusi.
Dari ketiga kasus di atas, jelas tidak ada perintah majelis hakim untuk mengeksekusi tereksekusi (korban) sebab tidak ada suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap yang harus dilaksanakan, akan tetapi semuanya bersumber pada kekuataan yang dipunyai pada saat itu. Selain itu, pelaku eksekusi bukan juga jaksa yang diberikan otoritas untuk mengeksekusi. Bahkan, tidak diketahui juga siapa eksekutor sesungguhnya sebab semuanya seolah-olah maya hanya korban yang nyata. Tereksekusi (korban) tidak punya hak untuk membela dan juga tidak disediakan penasihat hukum guna membela dan mempertahankan hak hukumnya. Tidak ada lagi proses hukum (due process of law) yang layak dalam peradilan jalanan.
Dasar untuk mengadili dan mengeksekusi hanya atas kehendak eksekutor atau penguasa dibelakang eksekutor semata. Tidak tahu apa yang menjadi motivasi dan dorongan bahkan tidak tahu ukuran hukuman, hanya saja korban adalah nyata. Lagipula, tidak ada aturan bagaimana cara mengeksekusi, melalui dipukuli, dianiaya, dan bahkan diberondong dengan tembakan AK-47. Selera dan keahlian sang eksekutor lah yang menjadi ukurannya. Tindakan eksekusinya pun harus cepat dan praktis, tidak diperlukajn pemberitahuan kepada korban maupun keluarganya. Korban hanya tinggal nama dan mayat sampai kepada keluarga. Tidak ada pula penghormatan atas hak asasi manusia (HAM) sebab istilah ini tidak dikenal pula dalam kamus pengadilan jalanan.
Supremasi Hukum
Dalam arti legalistik positivisme sebagai Negara hukum, hukum sangat menentang pengadilan jalanan sebab cara main hakim sendiri (eigen righting) ini melanggar ketentuan Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Selain pasal 170 KUHP ini sebenarnya banyak peraturan lain yang melarang tindakan tersebut. Oleh karenanya, banyak aturan-aturan yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku pengadilan jalanan ini.
Untuk itu, yang diperlukan sekarang adalah keseriusan dan kekuatan penegak hukum dalam menghadapi superioritas penguasa pengadilan jalanan ini. Tidak hanya keseriusan yang diperlukan, selain itu supremasi hukum yang harus dikedepankan dan sangat perlu komitmen untuk mengawal proses hukum (due process of law). Integrasi penegakan hukum dari awal proses sampai dengan eksekusi harus dikawal dan dikontrol oleh penegak hukum yang punya mental kuat dalam memberantas penyimpangan hukum. Kecolongan kontrol penegak hukum tentu akan memunculkan masalah baru dan menjadi alasan pembenar untuk melakukan pengadilan jalanan.
Era masyarakat madani seperti sekarang harus mengedepankan supremasi hukum dan harus pula punya mental untuk menolak setiap bentuk provokasi anarkis dan setiap bentuk tindakan melawan hukum lain yang merugikan orang lain. Masyarakat harus membiarkan hukum bekerja sendiri menurut aturan dan tata caranya. Adil tidaknya suatu hasil proses hukum adalah relatif dan oleh karenanya, harus benar-benar disikapi secara dewasa dan butuh sikap lapang dada untuk menerima. Tentu, terkadang tidak memuaskan jika kita melihat dari satu sisi. Keadilan hukumlah yang menjadi patokan. Karena hanya dengan demikianlah hukum benar-benar tegak.
Maddenleo T. Siagian, SH
Advokat, tinggal di Jakarta
Kendati Memorandum of Understanding (MoU) antara TNI dan Polri sudah ditandatangani, tiba-tiba pada Kamis (7 Maret 2013) pukul 07.30 WIB Markas Polres OKU, Sumatera Selatan dibakar sebanyak 95 anggota TNI yang disnyalir berawal dari aksi unjuk rasa untuk memprotes salah satu rekan mereka yang tertembak.
Berlanjut pada kasus penyerangan dan pembunuhan 4 tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta yang dilakukan oleh sekelompok oknum Kopassus bersenjata api laras panjang jenis AK-47, pistol jenis FN, dan granat dan hanya berlangsung 15 menit.
Bahkan kasus teranyar, penegak hukum Kapolsek Dolok Pardamean AKP Andar Siahaan tewas dianiaya massa saat melaksanakan tugas mulianya menangkap seorang pelaku judi togel setelah diteriaki maling dan kendati korban sudah melepaskan pelaku judi namun massa tetap beringas dan memukuli hingga tewas di tempat. Berkaca pada tiga kejadian tersebut munculah pertanyaan, masih adakah hukum?
Superior Melawan Hukum
Negara hukum (rechstaat) yang diagungkan dalam konstitusi harus dipahami dalam konteks bernegara untuk melindungi dan menghargai setiap perilaku masyarakat Indonesia. Hukum harus di depan menata dan mendesain setiap hubungan manusia, tidak terkecuali hubungan dengan aparat Negara dan sebaliknya. Teori check and balancing tiga pilar Negara (eksekutif, legislatif, dan judikatif) pun harus diterjemahkan dengan kesetaraan dan pengakuan.
Di sisi lain, hukum sendiri memberikan kekuasaan (power) kepada bagian dari masing-masing tiga pilar tadi untuk mengelola institusi, yang berakibat diberikannya kewenangan untuk menafsirkan dan bertindak sendiri dan tragisnya bahkan sampai kebablasan. Akibatnya, menjurus menjadi tindakan anarkis tanpa diimbangi dengan kekuasaan pilar lain. Tidak ada lagi kesucian simbol dan atribut untuk tujuan mulia, semuanya digunakan untuk kepentingan segelintir orang semata. Legitimasi hukum atas kekuasaan penuh (full power) menjadi sumber malapetaka. Selalu masyarakat yang menjadi kebingungan menghadapi gesekan seperti ini. Posisi yang demikian sangat disukai segelintir penguasa yang memudahkannya memprovokasi pendukungnya bahkan sampai berani merelakan diri untuk mendukung kepentingan yang didukungnya melebihi batas-batas hukum.
Jabatan dan kekuasaan tidak lagi memihak hukum. Namun, dibiarkan dan bahkan diciptakan, bahwa kekuasaan itulah hukum. Hukum membantu melegitimasi kekuasaan dan steril dari bentuk intervensi, dan tidak ada acuan dalam mengambil tindakan dan kebijakan, semuanya ditakar oleh keinginan penguasa tersebut. Akibat pembiaran itu akan berujung pada intensi mengesampingkan hukum sebab berpikir bahwa hukum itu menghambat dan tidak praktis.
Tidak lagi melihat apa kata hukum, rangkaian kata-kata peraturan dibiarkan sendiri tertutup rapat dan bahkan naif jika dibuka apalagi ditegakkan. Hanya perdebatan dalam arena diskusi saja yang seakan-akan mengutip dan merujuk kepada hukum, hal ini lumrah sebab dalam konteks yang demikian tidak ada kepentingan yang dipertaruhkan dan hanya pencitraan kepada publik mendiskribsikan hukum seakan-akan ditegakkan.
Munculah kemudian, adanya kekuasaan yang hirarkinya jauh superior dibanding hukum itu sendiri. Tipikal superioritas tersebut tidak hanya menular pada kekuasaan dalam pengertian pemegang jabatan, namun menjalar jauh hingga ke semua lapisan masyarakat. Buktinya, sangat banyak dijumpai lapisan masyarakat kebal (immunitas) dan tidak tersentuh hukum, seperti organisasi pemuda, organisasi keagamaan, organisasi adat. Tidak ada lagi keseganan dan ketakutan terhadap hukum. Lebih dari itu, tidak jarang mereka tidak mau berbicara apalagi berdebat tentang hukum, sebab sudah terdogmatik bahwa apa kata pemimpin itulah hukum bagi anggota atau pengikutnya. Keadaan ini juga diperparah dengan pemanfaatan kekuasaan itu menjadi sumber pendapatan utama. Akibatnya, kekuasaan itu bagaikan madu yang harus dipertahankan dengan semua cara.
Pengadilan Jalanan
Tidak bisa dipungkiri, keadaan superior melawan hukum menciptakan suatu arena pengadilan sendiri bernama pengadilan jalanan. Tidak ada penuntut umum, penasihat hukum dan majelis hakim, semua bertindak sebagai eksekutor. Berat ringan hukuman seseorang tergantung kepuasan dan hasrat sang eksekutor, jika perlu hukuman mati. Tidak ada upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali. Sebab, pengadilan biasanya hanya sekali saja dan tuntas (final, binding, and executable). Istilah hukum dalam peraturan perundang-undangan tidak dikenal, yang ada bahwa setiap orang yang dibawa ke pengadilan jalanan pasti bersalah dan dieksekusi.
Dari ketiga kasus di atas, jelas tidak ada perintah majelis hakim untuk mengeksekusi tereksekusi (korban) sebab tidak ada suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap yang harus dilaksanakan, akan tetapi semuanya bersumber pada kekuataan yang dipunyai pada saat itu. Selain itu, pelaku eksekusi bukan juga jaksa yang diberikan otoritas untuk mengeksekusi. Bahkan, tidak diketahui juga siapa eksekutor sesungguhnya sebab semuanya seolah-olah maya hanya korban yang nyata. Tereksekusi (korban) tidak punya hak untuk membela dan juga tidak disediakan penasihat hukum guna membela dan mempertahankan hak hukumnya. Tidak ada lagi proses hukum (due process of law) yang layak dalam peradilan jalanan.
Dasar untuk mengadili dan mengeksekusi hanya atas kehendak eksekutor atau penguasa dibelakang eksekutor semata. Tidak tahu apa yang menjadi motivasi dan dorongan bahkan tidak tahu ukuran hukuman, hanya saja korban adalah nyata. Lagipula, tidak ada aturan bagaimana cara mengeksekusi, melalui dipukuli, dianiaya, dan bahkan diberondong dengan tembakan AK-47. Selera dan keahlian sang eksekutor lah yang menjadi ukurannya. Tindakan eksekusinya pun harus cepat dan praktis, tidak diperlukajn pemberitahuan kepada korban maupun keluarganya. Korban hanya tinggal nama dan mayat sampai kepada keluarga. Tidak ada pula penghormatan atas hak asasi manusia (HAM) sebab istilah ini tidak dikenal pula dalam kamus pengadilan jalanan.
Supremasi Hukum
Dalam arti legalistik positivisme sebagai Negara hukum, hukum sangat menentang pengadilan jalanan sebab cara main hakim sendiri (eigen righting) ini melanggar ketentuan Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Selain pasal 170 KUHP ini sebenarnya banyak peraturan lain yang melarang tindakan tersebut. Oleh karenanya, banyak aturan-aturan yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku pengadilan jalanan ini.
Untuk itu, yang diperlukan sekarang adalah keseriusan dan kekuatan penegak hukum dalam menghadapi superioritas penguasa pengadilan jalanan ini. Tidak hanya keseriusan yang diperlukan, selain itu supremasi hukum yang harus dikedepankan dan sangat perlu komitmen untuk mengawal proses hukum (due process of law). Integrasi penegakan hukum dari awal proses sampai dengan eksekusi harus dikawal dan dikontrol oleh penegak hukum yang punya mental kuat dalam memberantas penyimpangan hukum. Kecolongan kontrol penegak hukum tentu akan memunculkan masalah baru dan menjadi alasan pembenar untuk melakukan pengadilan jalanan.
Era masyarakat madani seperti sekarang harus mengedepankan supremasi hukum dan harus pula punya mental untuk menolak setiap bentuk provokasi anarkis dan setiap bentuk tindakan melawan hukum lain yang merugikan orang lain. Masyarakat harus membiarkan hukum bekerja sendiri menurut aturan dan tata caranya. Adil tidaknya suatu hasil proses hukum adalah relatif dan oleh karenanya, harus benar-benar disikapi secara dewasa dan butuh sikap lapang dada untuk menerima. Tentu, terkadang tidak memuaskan jika kita melihat dari satu sisi. Keadilan hukumlah yang menjadi patokan. Karena hanya dengan demikianlah hukum benar-benar tegak.
Maddenleo T. Siagian, SH
Advokat, tinggal di Jakarta
0 komentar:
Post a Comment