Gereja Punguan Kristen Batak (GPKB) genap berusia 86 tahun pada 10 Juli 2013. Inilah gereja pertama yang didirikan perantau Batak di Jakarta. Saat itu, Jakarta masih bernama Batavia.
GPKB mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial Belanda pada 10 Juli 1927 sebagai gereja yang mandiri. Kantor Pusat GPKB berada di Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta. Saat ini, GPKB dipimpin Ephorus Pendeta Dr Syarif Simanjuntak dengan Sekretaris Jenderal Pdt PP Lumbantobing, MA.
GPKB merupakan pemisahan dari Bataksche Christelljke Gemeente (BCG). BCG sendiri didirikan pada tahun 1927 oleh sekelompok pemuda dan keluarga Batak Kristen yang kurang memahami bahasa Melayu tinggi dan tidak mengerti bahasa Belanda. Kebaktian pertama dimulai pada 10 Juli 1927 yang dihadiri 13 orang.
Ketika di tubuh BCG terjadi ketidaksepakatan, dan Reinsche Zending (RZ) dari tanah Batak serta utusan pemerintah Hindia Belanda mencoba menengahi, sebagian warga jemaat tidak setuju karena dinilai telah turut mencampuri urusan rumah tangga BCG. Warga jemaat yang tidak setuju inilah yang kemudian mendirikan GPKB yang didorong oleh keinginan untuk manjujung baringinna (mandiri). Demikianlah selanjutnya GPKB berkembang mulai dari Jakarta, Palembang, hingga kembali memasuki Tanah Batak.
Di antara tokoh-tokoh pendiri GPKB di masa penjajahan Belanda adalah Gr Paul Lumbantobing, St Domitian Hutagalung, Gr Sergius Hutagalung, St Iskander Lumbantobing, St A Lumbantobing dari angkatan yang lebih tua, dan sejumlah nama dari angkatan yang lebih muda seperti K Gultom dan H Hutagalung.
GPKB Jakarta pernah cukup lama tidak memiliki pendeta sendiri sepeninggal Pendeta Hutabarat yang adalah mertua almarhum penyanyi terkenal Gordon Tobing pada awal kemerdekaan Indonesia. Sebelum mendapatkan seorang pendeta pertama kalinya akhir 1950-an, yakni Pendeta LH Sinaga almarhum, GPKB Jakarta digembalakan Pendeta Ishak Siagian dari Gereja Kristen Indonesia (KGI).
GPKB memang kalah populer dengan HKBP. Akan tetapi, bukan berarti GPKB tidak berkembang. Hingga saat ini, jemaatnya sudah ribuan, tersebar di berbagai penjuru Tanah Air. Setahun setelah diakui pemerintahan kolonial, GPKB ranting Palembang langsung berdiri, disusul kemudian dengan berdirinya ranting-ranting di Tapanuli seperti di Siborong-borong, Padang Sidempuan, Pahae Tarutung, dan sekitar 1960-an beranak lagi yang menyebar di Pulomas, Tanjung Priok, Kebayoran-Tebet, Tegal Parang, serta Cipayung Jakarta Timur. Terakhir, GPKB ranting Pondok Kopi didirikan pada 2012 lalu.
HKBP Kernolong
Jejak orang Batak di Jakarta memang sudah diketahui sejak lama. Lance Castle dalam The Ethnic Profile of Djakarta menyebutkan, orang Batak pertama kali merantau ke Jakarta tahun 1907. Jejak perantau pertama di Jakarta berupa kebaktian berbahasa Batak pada 20 September 1919. Mereka lalu membangun Gereja HKBP Kernolong Resort Jakarta yang tercatat sebagai gereja Batak tertua di Jakarta.
Namun begitu, GPKB bisa saja gereja Batak pertama yang berdiri di Jakarta. Bukan HKBP Kernolong sebagaimana disebutkan Castle. Sayang, GPKB Menteng sejauh ini belum mengeluarkan data terkait tanggal persis berdirinya gereja yang bertetangga dengan HKBP Menteng itu. Hanya disebutkan tanggal berdiri setelah mendapat pengakuan dari Belanda. Dengan demikian, terdapat rentang waktu berdirinya GPKB sampai akhirnya diakui kolonial. IP/GABE
GPKB mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial Belanda pada 10 Juli 1927 sebagai gereja yang mandiri. Kantor Pusat GPKB berada di Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta. Saat ini, GPKB dipimpin Ephorus Pendeta Dr Syarif Simanjuntak dengan Sekretaris Jenderal Pdt PP Lumbantobing, MA.
GPKB merupakan pemisahan dari Bataksche Christelljke Gemeente (BCG). BCG sendiri didirikan pada tahun 1927 oleh sekelompok pemuda dan keluarga Batak Kristen yang kurang memahami bahasa Melayu tinggi dan tidak mengerti bahasa Belanda. Kebaktian pertama dimulai pada 10 Juli 1927 yang dihadiri 13 orang.
Ketika di tubuh BCG terjadi ketidaksepakatan, dan Reinsche Zending (RZ) dari tanah Batak serta utusan pemerintah Hindia Belanda mencoba menengahi, sebagian warga jemaat tidak setuju karena dinilai telah turut mencampuri urusan rumah tangga BCG. Warga jemaat yang tidak setuju inilah yang kemudian mendirikan GPKB yang didorong oleh keinginan untuk manjujung baringinna (mandiri). Demikianlah selanjutnya GPKB berkembang mulai dari Jakarta, Palembang, hingga kembali memasuki Tanah Batak.
Di antara tokoh-tokoh pendiri GPKB di masa penjajahan Belanda adalah Gr Paul Lumbantobing, St Domitian Hutagalung, Gr Sergius Hutagalung, St Iskander Lumbantobing, St A Lumbantobing dari angkatan yang lebih tua, dan sejumlah nama dari angkatan yang lebih muda seperti K Gultom dan H Hutagalung.
![]() |
GPKB MENTENG |
GPKB memang kalah populer dengan HKBP. Akan tetapi, bukan berarti GPKB tidak berkembang. Hingga saat ini, jemaatnya sudah ribuan, tersebar di berbagai penjuru Tanah Air. Setahun setelah diakui pemerintahan kolonial, GPKB ranting Palembang langsung berdiri, disusul kemudian dengan berdirinya ranting-ranting di Tapanuli seperti di Siborong-borong, Padang Sidempuan, Pahae Tarutung, dan sekitar 1960-an beranak lagi yang menyebar di Pulomas, Tanjung Priok, Kebayoran-Tebet, Tegal Parang, serta Cipayung Jakarta Timur. Terakhir, GPKB ranting Pondok Kopi didirikan pada 2012 lalu.
HKBP Kernolong
Jejak orang Batak di Jakarta memang sudah diketahui sejak lama. Lance Castle dalam The Ethnic Profile of Djakarta menyebutkan, orang Batak pertama kali merantau ke Jakarta tahun 1907. Jejak perantau pertama di Jakarta berupa kebaktian berbahasa Batak pada 20 September 1919. Mereka lalu membangun Gereja HKBP Kernolong Resort Jakarta yang tercatat sebagai gereja Batak tertua di Jakarta.
Namun begitu, GPKB bisa saja gereja Batak pertama yang berdiri di Jakarta. Bukan HKBP Kernolong sebagaimana disebutkan Castle. Sayang, GPKB Menteng sejauh ini belum mengeluarkan data terkait tanggal persis berdirinya gereja yang bertetangga dengan HKBP Menteng itu. Hanya disebutkan tanggal berdiri setelah mendapat pengakuan dari Belanda. Dengan demikian, terdapat rentang waktu berdirinya GPKB sampai akhirnya diakui kolonial. IP/GABE
0 komentar:
Post a Comment