"Tidak Ada Batak Tidak Bagus"

Di dunia yang katanya terdiri dari ribuan suku bangsa ini, sebenarnya hanya ada dua suku, yaitu Batak dan Dang Batak, atau dangdopek, atau Dang Halak Batak, atau "belum Batak". Komunitas "Dang Batak"–makanya saya sebut "belum", bukan "non-Batak"–ini pada akhirnya akan menjadi Batak juga. Melalui perkawinan, melalui pemberian marga, dengan segala konsekuensi adat, siapa raja siapa marhobat, suatu hari nanti seluruh dunia bakal memunyai nama warga, dan itu artinya seluruh dunia warganya memunyai nama Batak.

Rasanya tak ada suku bangsa–istilah jenius Bung Karno untuk menyatukan bangsa-bangsa di Indonesia ini–yang memunyai tradisi "Batak untuk Dunia". Sebagai perbandingan, di Jawa justru sebaliknya. Nama dikaitkan dengan profesi atau usia sehingga berubah-ubah. Nama saya ini beda dengan nama setelah saya menikah, lain lagi setelah menerima gelar kebangsawanan–bukan sekadar tambahan gelar Kanjeng Raden Tumenggung, melainkan nama pun berubah sesuai profesi.

Saya kemukakan ini saat peluncuran buku Inspigraph Batak karya fotografer Edward Tigor Siahaan di Jakarta, Kamis (30/4) kemarin, dalam acara meriah, dengan pemberian bea siswa dan pidato dari tokoh-tokoh Batak yang masih hidup dan menginspirasi. Jumlahnya lebih dari seratus nama yang mudah dikenali dari berbagai profesi.

Pada mulanya, kekerabatan yang awali adalah kekeluargaan, kebersamaan nasib, dan harapan untuk menjadi keluarga yang lebih baik. Ini yang bertahan lama dengan segala tata nilai dan tata kramanya. Baru kemudian muncul pengertian negara bangsa dengan jurus nasionalisme di awal abad 20.

Demikian juga, bisa abad sebelumnya, pendekatan lain seperti masuknya agama yang tidak serta merta diterima secara utuh, secara menyeluruh. Batak tetap Batak, dan tak bisa mengklaim Batak adalah Kristen, Islam, atau ateis sekalipun, sebagaimana suku bangsa–saya mempertahankan istilah ini untuk menempatkan posisinya dalam keindonesiaan kita, juga mengalami proses yang sama. Demikian juga kekhasan profesi–sebagai kondektur atau pendeta.

Segar dalam ingatan saya joke bahwa ini profesi yang sama: sama-sama meneriakkan tujuan yang sama, surga atau Blok M, dan menerima receh terkecil. Termasuk profesi penyanyi, atau preman, atau tidak profesi sekalipun, semua memunyai kesempatan yang sama karena pascamodernisasi ini, masa setelah industrialisasi ini, kemungkinan mendapatkan informasi dan akses komunikasi berlaku sama.

Industrialisasi dan hamajuon komunikasi menyatukan yang bisa diperbandingkan–mata uang, satuan barang, atau waktu–dengan standar yang sama. Juga kalau kita mau mengatakan cantik atau tidak cantik. Tetapi tidak untuk nilai yang tak bisa terukur: budi pekerti, hormat pada orang tua, jujur, dan sejenisnya. Pada titik ini, resep manusia Batak abad ke-12, tak bisa tidak, masih harus memperhitungkan tata nilai dan tata krama, yang satuannya bisa diperbandingkan. Itu antara lain adanya kreativitas–mencipta sesuatu yang baru dan atau memperbarui ciptaan lama, bersekutu dan bersikap profesional.

Seorang Nico Siahaan tetap pria seksi dan pembaca acara keren, dalam ukuran broadcaster, bukan diukur kesiahaannya. Atau Marusya Nainggolan, atau Rosiana Silalahi, atau Edward Tigor Siahaan.

Namun, justru di sini peran persaudaraan purba yang menghasilkan local genius, juga nilai-nilai filosofis, perlu mendapatkan perhatian utama. Pertemuan semacam ini, atau keinginan Pak Tigor, begitu panggilan dari mahasiswanya, pulang dan kembali berkarya di tanah Batak.

Itu artinya, masa depan bangso Batak adalah kebersamaan dengan dangdope Batak.
Horas!

CATATAN: ARSWENDO ATMOWILOTO/KORAN JAKARTA
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment