Bakara (dieja Bakkara) adalah nama sebuah wilayah di Kabupaten Humbang Hasundutan. Di wilayah ini terdapat Desa Simangulampe, Sinambela, Simamora atau disebut juga Lumbanraja, Siunung-unung Julu, Marbun Toruan, Marbun Tonga/ Dolok serta Tipang. Di zaman penjajahan kolonial Belanda dulu, secara pemerintahan diberi status Kenegerian. Di awal kemerdekaan hingga di penghujung era orde baru, masuk pada wilayah Kecamatan Muara. Sekarang, secara administratif pemerintahan berbentuk kecamatan dengan nama Kecamatan Bakti Raja. Singkatan dari Bakara, Tipang dan Janji Raja.
Bakara berada di tepian bibir Danau Toba. Karenanya, panorama sekitarnya indah memukau serta menawan hati. Di arah Timur ada permukaan Danau Toba yang menghempang bagai cermin raksasa. Airnya putih membiru apalagi saat diterpa matahari siang. Di arah Barat ada berjajar Pegunungan Bukit Barisan yang kokoh perkasa dan terkesan angkuh dan sombong. Kata beberapa anak negeri, di balik pegunungan itulah Kecamatan Lintongnihuta yang jaraknya cuma tiga atau empat jam perjalanan kaki. Sementara, di arah Selatan bertengger juga Pegunungan Bukit Barisan, yang kata anak negeri merupakan perbatasan dengan Kecamatan Pollung.
Ada beberapa cara untuk dapat sampai ke Bakara. Bisa lewat perairan Danau Toba dari Balige dan Palipi di Samosir atau Nainggolan serta Onanrunggu juga di Samosir. Tapi belakangan, tak ada lagi rute kapal penumpang umum dari keempat daerah itu. Cara yang praktis adalah lewat jalan darat dari Muara. Menyusur bibir Danau Toba, meliuk-liuk pada kaki Pegunungan Bukit Barisan melintasi beberapa desa di Kecamatan Muara. Setelah melintas di Desa Lontung yang dihuni umumnya marga Rajagukguk, di Aek Sipangolu artinya sudah berada di kawasan Bakara.
Jalan darat melalui Simpang Bakara di mulut kota Doloksanggul, merupakan cara yang amat menarik, memikat serta mengikat. Setelah melintasi Desa Sosorgonting dan Sirogos, kendaraan yang berada di kepala Bukit Barisan harus meliuk-liuk dan menurun hingga ke punggung dan kaki Bukit Barisan. Panorama Bakara yang menawan dan memukau akan terlihat dengan jelas dari arah ini. Ada hamparan persawahan anak negeri, ada permukaan Danau Toba, juga ada sungai yang membelah permukiman anak negerinya. Sepanjang perjalanan Doloksanggul - Bakara, terasa sekali betapa Maha Besar Tuhan Pencipta Segala. Dan ketika di arah kiri jalan terlihat jurang menganga dalam dan dalam sekali, Tuhan terasa dekat.
"Betul, negeri ini indah sekali, menawan dan memukau", kata Arwana Silaban Camat Kecamatan Bakti Raja yang sekarang dipercaya Maddin Sihombing Bupati Humbang Hasundutan untuk memimpin pemerintahan di wilayah ini. Arwana masih muda belia, berpendidikan tinggi pula. Sayangnya, katanya, dia tidak bercita-cita untuk menapaki karirnya sebagai pamong. Kalau tiba saatnya, katanya dia akan berhenti sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan akan menekuni dunia politik.
Tak banyak yang dapat diceritakan Arwana ketika saya mengajaknya cakap-cakap di kantornya belum lama ini. Sebelum dia beranjak dari kantornya karena menerima telepon mertuanya meninggal di Tarutung, dia cuma sempat menjelaskan bahwa penduduk kecamatan yang dipimpinnya ini lebih kurang 8.000 jiwa saja. Umumnya, katanya, hidup dari sektor pertanian yang hasilnya pas-pasan, Senin - Kamis. Komoditas yang dibudidayakan anak negeri umumnya padi, bawang, coklat dan kopi serta kelapa. Danau Toba, kata Arwana memberi warganya pora-pora, sejenis ikan tawar yang tempo hari ditabur Megawati Seokarno Putri ketika menjadi Presiden RI.
Sesuatu yang istimewa disini masih cerita Arwana, Raja Napitu sampai sekarang masih berperan untuk mengambil keputusan termasuk hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Sempat pula memang dia menjelaskan bahwa Raja Napitu merupakan semacam lembaga adat warisan masa lalu, yang meliputi raja-raja adat di Muara, Tipang, Janji Raja, Holbung, Sabulan dan Bakara. Raja Napitu juga disebut sebagai Bius Sionom Ompu kata Arwana Silaban, yang menurut seorang kawan belakangan lebih menekuni bidang spritual dari pada pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Terpuruk
Saya berkunjung ke Bakara pertama kali pada 14 September 1986 dulu bersama rombongan besar Lembaga Sisingamangaraja XII yang dipimpin almarhum Dr GM Panggabean serta sejumlah mahasiswa Universitas Sisingamangaraja XII Silangit serta kawan-kawan dari IPPSR SIB (Ikatan Pemuda Pelajar Sinar Remaja Harian SIB Medan) Waktu itu, maksud kunjungan kami kesana adalah untuk meresmikan berdirinya SMP (Sekolah Menengah Pertama) Lembaga Sisingamangaraja XII. Sekarang, saya tidak tahu persis apakah SMP itu masih ada dan beroperasional.
Kami menggunakan dua kapal motor yang bergerak dari pelabuhan Balige dan dikoordinir almarhum Dj Manurung, Ompung Bao Duma Riris Silalahi yang sekarang tengah tenar sebagai salah seorang Putri Batak kesohor. Kapal bergerak perlahan membelah permukaan Danau Toba meninggalkan garis putih membuih di permukaan air. Sepanjang perjalanan Balige - Bakara, panorama bukan main memukau apalagi saat memandang tubuh Samosir dari kejauhan. Sekelompok kawan dari IPPSR SIB bergabung dengan beberapa mahasiswa Universitas Sisingamangaraja XII bernyanyi ria diiringi petikan gitar. Antara lain dalam rombongan itu ada Coory Aritonang yang sekarang penyiar di Radio Pemkab Deli Serdang, S Mida Silaban, Demak Sinta Silaban, Andreas Hiotmansyah, Rita Hutapea, Edison Nababan yang sekarang menjadi staf perusahaan minyak di Bontang Kalimantan. Juga Turman Simanjuntak, Lurus Tarigan, Sintong Silaban, Antoni Antra Pardosi.
Beberapa jenak sebelum tiba di Bakara semasih berada di atas kapal yang mengapung bergerak perlahan di permukaan Danau Toba, saya membayangkan sebentar lagi akan berada di sebuah kawasan yang hebat dan istimewa. Alasan saya, Bakara adalah sebuah wilayah yang sejak dulu kala dikenal sebagai pusat Kerajaan Batak (?) Bahkan lebih dari itu, dari wilayah ini telah lahir salah seorang tokoh pejuang nasional kita Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII.
Tapi sebegitu kapal motor yang kami tumpangi merapat ke pantai yang landai di Bakara dan saya menjelajah beberapa sudutnya, apa yang saya bayangkan lenyap dan sirna dibalut kecewa. Kesan saya waktu itu, tak ada yang istimewa di Bakara termasuk kawasan tempat lahir dan dibesarkannya Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII. Perkampungan disana pun malah tak terawat dan liar. Tak ada penataan yang melahirkan perasaan asri dan sejuk. Dan saya menelan kekecewaan dalam hati, dalam-dalam.
Punggung Bukit Barisan yang mengkawal wilayah ini gundul dan kering kerontang, terkesan gersang dan tandus. Ada beberapa bagian yang ditanami pinus yang tumbuh liar di tubuh bukit disana, tapi di sekitarnya terlihat menghitam kecoklatan karena terbakar atau dibakar. Saya tidak tahu pihak mana yang bertanggung jawab kalau ada kawasan hutan yang terbakar atau dibakar, sama dengan saya tidak tahu apakah kawasan di sekitar pohon-pohon pinus itu terbakar atau dibakar.
Ketika saya keluar masuk beberapa permukiman disana, rumah-rumah anak negeri terkesan senyap tapi berpeluk dengan kedamaian dan didekap kemiskinan. Ternak berkeliaran bebas lenggang kangkung dipekarangan seperti berada di alam bebas merdeka. Nyaris tak terlihat bangunan-bangunan rumah baru kecuali satu dua rumah penduduk yang statis dari masa- ke masa berupa peninggalan atau sisa-sisa kejayaan masa lalu. Cuma sekadar sisa-sisa masa lalu, padahal hidup yang sesungguhnya adalah hari ini.
Hampir tak ada yang menarik untuk saya catat dalam penyelurusan yang saya lakukan di Bakara waktu itu. Kesimpulan yang saya ambil adalah Bakara tak lebih sama dengan banyak wilayah dan banyak desa lainhya di Tanah Batak. Statis dan sulit bergerak serta payah bangkit dari keterpurukan dalam banyak bidang. Persoalan utama, putra-putri Bakara yang potensial selalu saja meninggalkan tanah leluhurnya dan mengkais rejeki serta berprestasi di luar tanah kelahirannya. Dan ketika sudah menjadi 'orang' bagai kata pepatah lupa kacang pada kulitnya. Jauh di mata, jauh pula di hati. Bakara pun cuma menjadi bagian masa lalu saja.
Waktu belum lama ini saya datang (lagi) ke Bakara, sudah tentu tak benar kalau saya katakan kondisi wilayah itu hampir sama dengan pada masa lalu saat saya pertama kali mengunjunginya 1986 lalu. Yang pasti, Pemkab Humbang Hasundutan terbilang prestius karena sudah berhasil membuka jalan tembus Doloksanggul - Bakara lewat Sosorgonting dan membuatnya dengan aspal hotmix berkualitas baik. Meski, bahu Bukit Barisan di sisi sebelah kanannya selalu saja masih mengancam untuk longsor dan menimbulkan kecelakaan yang mengerikan.
Ruas jalan di wilayah itu pun sudah beraspal rata dengan menggunakan hotmix, kecuali seratus atau dua ratus meter lagi di ujung Simpang Simangulamape - Marbun. Bangunan-bangunan rumah anak negeri juga sudah terbilang diganti dengan gedung-gedung permanen seperti rumah-rumah warga kota, semisal rumah milik Ramses Simanullang di Simangulampe yang pernah menjadi kepala desa disana.
Sayangnya, agaknya, Pemkab Tapanuli Utara tidak memiliki kepentingan pada Bakara yang menjadi tanah asal leluhur, negeri tumpah darah Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII itu. Ruas jalan penghubung dari Muara, Tapanuli Utara arah Bakara masih dipediarkan begitu saja, tak diurus dan tidak dirawat. Jarak yang cuma sekian belas kilometer pun harus ditempuh lebih dari satu jam kalau menggunakan mobil. Kendaraan harus terseok-seok, dan pengendaranya harus ekstra hati-hati agar kendaraan tidak terjun bebas ke danau. Sekiranya ada pepohonan di pinggiran jalan sepanjang Muara - Bakara, orang yang melintasinya tidak perlu dengan jantung berdebar dan berdetak keras.
Kebetulanlah, saya merupakan salah seorang anak negeri yang tidak percaya pada itikad baik orang-orang pemerintah untuk membangun rakyatnya. Saya berpendapat, orang-orang pemerintah menginginkan rakyatnya tetap saja miskin, bodoh, dungu, goblok dan tolol agar semuanyan bisa diekspoloitasi untuk menguntungkan dan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Keterpurukan rakyat dalam berbagai bidang, justru dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri, kelompok atau golongan penguasa politik. Apa boleh buat.
Karena itulah saya kira, Orang Bakara harus bangkit. Bangkit dengan segala yang ada padanya. Tidak dibangkitkan oleh pihak lain atau pihak mana saja kecuali oleh dirinya sendiri. Juga, tidak akan dibangkitkan oleh Bangkit Silaban sebab dia adalah Wakil Bupati Tapanuli Utara, sementara Bakara merupakan wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan.
Wahai, Bakara, Bakara ! Bangkitlah !
Siantar Estate 30 Mei 2013
Ramlo R Hutabarat
Bakara berada di tepian bibir Danau Toba. Karenanya, panorama sekitarnya indah memukau serta menawan hati. Di arah Timur ada permukaan Danau Toba yang menghempang bagai cermin raksasa. Airnya putih membiru apalagi saat diterpa matahari siang. Di arah Barat ada berjajar Pegunungan Bukit Barisan yang kokoh perkasa dan terkesan angkuh dan sombong. Kata beberapa anak negeri, di balik pegunungan itulah Kecamatan Lintongnihuta yang jaraknya cuma tiga atau empat jam perjalanan kaki. Sementara, di arah Selatan bertengger juga Pegunungan Bukit Barisan, yang kata anak negeri merupakan perbatasan dengan Kecamatan Pollung.
Ada beberapa cara untuk dapat sampai ke Bakara. Bisa lewat perairan Danau Toba dari Balige dan Palipi di Samosir atau Nainggolan serta Onanrunggu juga di Samosir. Tapi belakangan, tak ada lagi rute kapal penumpang umum dari keempat daerah itu. Cara yang praktis adalah lewat jalan darat dari Muara. Menyusur bibir Danau Toba, meliuk-liuk pada kaki Pegunungan Bukit Barisan melintasi beberapa desa di Kecamatan Muara. Setelah melintas di Desa Lontung yang dihuni umumnya marga Rajagukguk, di Aek Sipangolu artinya sudah berada di kawasan Bakara.
Jalan darat melalui Simpang Bakara di mulut kota Doloksanggul, merupakan cara yang amat menarik, memikat serta mengikat. Setelah melintasi Desa Sosorgonting dan Sirogos, kendaraan yang berada di kepala Bukit Barisan harus meliuk-liuk dan menurun hingga ke punggung dan kaki Bukit Barisan. Panorama Bakara yang menawan dan memukau akan terlihat dengan jelas dari arah ini. Ada hamparan persawahan anak negeri, ada permukaan Danau Toba, juga ada sungai yang membelah permukiman anak negerinya. Sepanjang perjalanan Doloksanggul - Bakara, terasa sekali betapa Maha Besar Tuhan Pencipta Segala. Dan ketika di arah kiri jalan terlihat jurang menganga dalam dan dalam sekali, Tuhan terasa dekat.
"Betul, negeri ini indah sekali, menawan dan memukau", kata Arwana Silaban Camat Kecamatan Bakti Raja yang sekarang dipercaya Maddin Sihombing Bupati Humbang Hasundutan untuk memimpin pemerintahan di wilayah ini. Arwana masih muda belia, berpendidikan tinggi pula. Sayangnya, katanya, dia tidak bercita-cita untuk menapaki karirnya sebagai pamong. Kalau tiba saatnya, katanya dia akan berhenti sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan akan menekuni dunia politik.
Tak banyak yang dapat diceritakan Arwana ketika saya mengajaknya cakap-cakap di kantornya belum lama ini. Sebelum dia beranjak dari kantornya karena menerima telepon mertuanya meninggal di Tarutung, dia cuma sempat menjelaskan bahwa penduduk kecamatan yang dipimpinnya ini lebih kurang 8.000 jiwa saja. Umumnya, katanya, hidup dari sektor pertanian yang hasilnya pas-pasan, Senin - Kamis. Komoditas yang dibudidayakan anak negeri umumnya padi, bawang, coklat dan kopi serta kelapa. Danau Toba, kata Arwana memberi warganya pora-pora, sejenis ikan tawar yang tempo hari ditabur Megawati Seokarno Putri ketika menjadi Presiden RI.
Sesuatu yang istimewa disini masih cerita Arwana, Raja Napitu sampai sekarang masih berperan untuk mengambil keputusan termasuk hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Sempat pula memang dia menjelaskan bahwa Raja Napitu merupakan semacam lembaga adat warisan masa lalu, yang meliputi raja-raja adat di Muara, Tipang, Janji Raja, Holbung, Sabulan dan Bakara. Raja Napitu juga disebut sebagai Bius Sionom Ompu kata Arwana Silaban, yang menurut seorang kawan belakangan lebih menekuni bidang spritual dari pada pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Terpuruk
Saya berkunjung ke Bakara pertama kali pada 14 September 1986 dulu bersama rombongan besar Lembaga Sisingamangaraja XII yang dipimpin almarhum Dr GM Panggabean serta sejumlah mahasiswa Universitas Sisingamangaraja XII Silangit serta kawan-kawan dari IPPSR SIB (Ikatan Pemuda Pelajar Sinar Remaja Harian SIB Medan) Waktu itu, maksud kunjungan kami kesana adalah untuk meresmikan berdirinya SMP (Sekolah Menengah Pertama) Lembaga Sisingamangaraja XII. Sekarang, saya tidak tahu persis apakah SMP itu masih ada dan beroperasional.
Kami menggunakan dua kapal motor yang bergerak dari pelabuhan Balige dan dikoordinir almarhum Dj Manurung, Ompung Bao Duma Riris Silalahi yang sekarang tengah tenar sebagai salah seorang Putri Batak kesohor. Kapal bergerak perlahan membelah permukaan Danau Toba meninggalkan garis putih membuih di permukaan air. Sepanjang perjalanan Balige - Bakara, panorama bukan main memukau apalagi saat memandang tubuh Samosir dari kejauhan. Sekelompok kawan dari IPPSR SIB bergabung dengan beberapa mahasiswa Universitas Sisingamangaraja XII bernyanyi ria diiringi petikan gitar. Antara lain dalam rombongan itu ada Coory Aritonang yang sekarang penyiar di Radio Pemkab Deli Serdang, S Mida Silaban, Demak Sinta Silaban, Andreas Hiotmansyah, Rita Hutapea, Edison Nababan yang sekarang menjadi staf perusahaan minyak di Bontang Kalimantan. Juga Turman Simanjuntak, Lurus Tarigan, Sintong Silaban, Antoni Antra Pardosi.
Beberapa jenak sebelum tiba di Bakara semasih berada di atas kapal yang mengapung bergerak perlahan di permukaan Danau Toba, saya membayangkan sebentar lagi akan berada di sebuah kawasan yang hebat dan istimewa. Alasan saya, Bakara adalah sebuah wilayah yang sejak dulu kala dikenal sebagai pusat Kerajaan Batak (?) Bahkan lebih dari itu, dari wilayah ini telah lahir salah seorang tokoh pejuang nasional kita Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII.
Tapi sebegitu kapal motor yang kami tumpangi merapat ke pantai yang landai di Bakara dan saya menjelajah beberapa sudutnya, apa yang saya bayangkan lenyap dan sirna dibalut kecewa. Kesan saya waktu itu, tak ada yang istimewa di Bakara termasuk kawasan tempat lahir dan dibesarkannya Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII. Perkampungan disana pun malah tak terawat dan liar. Tak ada penataan yang melahirkan perasaan asri dan sejuk. Dan saya menelan kekecewaan dalam hati, dalam-dalam.
Punggung Bukit Barisan yang mengkawal wilayah ini gundul dan kering kerontang, terkesan gersang dan tandus. Ada beberapa bagian yang ditanami pinus yang tumbuh liar di tubuh bukit disana, tapi di sekitarnya terlihat menghitam kecoklatan karena terbakar atau dibakar. Saya tidak tahu pihak mana yang bertanggung jawab kalau ada kawasan hutan yang terbakar atau dibakar, sama dengan saya tidak tahu apakah kawasan di sekitar pohon-pohon pinus itu terbakar atau dibakar.
Ketika saya keluar masuk beberapa permukiman disana, rumah-rumah anak negeri terkesan senyap tapi berpeluk dengan kedamaian dan didekap kemiskinan. Ternak berkeliaran bebas lenggang kangkung dipekarangan seperti berada di alam bebas merdeka. Nyaris tak terlihat bangunan-bangunan rumah baru kecuali satu dua rumah penduduk yang statis dari masa- ke masa berupa peninggalan atau sisa-sisa kejayaan masa lalu. Cuma sekadar sisa-sisa masa lalu, padahal hidup yang sesungguhnya adalah hari ini.
Hampir tak ada yang menarik untuk saya catat dalam penyelurusan yang saya lakukan di Bakara waktu itu. Kesimpulan yang saya ambil adalah Bakara tak lebih sama dengan banyak wilayah dan banyak desa lainhya di Tanah Batak. Statis dan sulit bergerak serta payah bangkit dari keterpurukan dalam banyak bidang. Persoalan utama, putra-putri Bakara yang potensial selalu saja meninggalkan tanah leluhurnya dan mengkais rejeki serta berprestasi di luar tanah kelahirannya. Dan ketika sudah menjadi 'orang' bagai kata pepatah lupa kacang pada kulitnya. Jauh di mata, jauh pula di hati. Bakara pun cuma menjadi bagian masa lalu saja.
Waktu belum lama ini saya datang (lagi) ke Bakara, sudah tentu tak benar kalau saya katakan kondisi wilayah itu hampir sama dengan pada masa lalu saat saya pertama kali mengunjunginya 1986 lalu. Yang pasti, Pemkab Humbang Hasundutan terbilang prestius karena sudah berhasil membuka jalan tembus Doloksanggul - Bakara lewat Sosorgonting dan membuatnya dengan aspal hotmix berkualitas baik. Meski, bahu Bukit Barisan di sisi sebelah kanannya selalu saja masih mengancam untuk longsor dan menimbulkan kecelakaan yang mengerikan.
Ruas jalan di wilayah itu pun sudah beraspal rata dengan menggunakan hotmix, kecuali seratus atau dua ratus meter lagi di ujung Simpang Simangulamape - Marbun. Bangunan-bangunan rumah anak negeri juga sudah terbilang diganti dengan gedung-gedung permanen seperti rumah-rumah warga kota, semisal rumah milik Ramses Simanullang di Simangulampe yang pernah menjadi kepala desa disana.
Sayangnya, agaknya, Pemkab Tapanuli Utara tidak memiliki kepentingan pada Bakara yang menjadi tanah asal leluhur, negeri tumpah darah Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII itu. Ruas jalan penghubung dari Muara, Tapanuli Utara arah Bakara masih dipediarkan begitu saja, tak diurus dan tidak dirawat. Jarak yang cuma sekian belas kilometer pun harus ditempuh lebih dari satu jam kalau menggunakan mobil. Kendaraan harus terseok-seok, dan pengendaranya harus ekstra hati-hati agar kendaraan tidak terjun bebas ke danau. Sekiranya ada pepohonan di pinggiran jalan sepanjang Muara - Bakara, orang yang melintasinya tidak perlu dengan jantung berdebar dan berdetak keras.
Kebetulanlah, saya merupakan salah seorang anak negeri yang tidak percaya pada itikad baik orang-orang pemerintah untuk membangun rakyatnya. Saya berpendapat, orang-orang pemerintah menginginkan rakyatnya tetap saja miskin, bodoh, dungu, goblok dan tolol agar semuanyan bisa diekspoloitasi untuk menguntungkan dan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Keterpurukan rakyat dalam berbagai bidang, justru dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri, kelompok atau golongan penguasa politik. Apa boleh buat.
Karena itulah saya kira, Orang Bakara harus bangkit. Bangkit dengan segala yang ada padanya. Tidak dibangkitkan oleh pihak lain atau pihak mana saja kecuali oleh dirinya sendiri. Juga, tidak akan dibangkitkan oleh Bangkit Silaban sebab dia adalah Wakil Bupati Tapanuli Utara, sementara Bakara merupakan wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan.
Wahai, Bakara, Bakara ! Bangkitlah !
Siantar Estate 30 Mei 2013
Ramlo R Hutabarat
0 komentar:
Post a Comment