OPINI: BUTUH PEMIMPIN BERKARAKTER JOKOWI

“Sembilan puluh persen dari semua kegagalan kepemimpinan adalah kegagalan pada karakter”
(Stephen Covey, 2012).


Lebih lanjut, Prof. Dr. H. Faisal Afiff, Spec.Lic mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses dimana seseorang berupaya mempengaruhi sejumlah orang dan mengarahkan organisasinya untuk mencapai suatu tujuan, sehingga hubungan antara manusia di dalam organisasi tersebut lebih kohesif dan koheren. Atau suatu proses dimana seseorang berupaya mempengaruhi sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Dalam rangka menjalankan proses kepemimpinannya ini, mereka menggunakan sejumlah “pengetahuan” dan “keterampilan” yang dimilikinya, terlepas dari apakah pengetahuan dan keterampilan tersebut ditunjang oleh bakat bawaan dirinya atau hasil dari proses pembelajaran (formal dan/atau non-formal).

Sedangkan pengetahuan merupakan kombinasi dari pengalaman, informasi kontekstual, nilai dan wawasan para pakar yang dijadikan acuan, sebagai kerangka untuk mengevaluasi dan menggabungkan informasi dan pengalaman baru. Menurut Peter F. Drucker, pengetahuan adalah informasi bagi seseorang sebagai landasan untuk melakukan suatu tindakan dalam situasi perubahan, sehingga individu atau organisasi mampu bertindak dengan cara yang berbeda dan lebih efektif. Melalui pengetahuan dan informasi, seseorang diharapkan menghasilkan tindakan yang tepat dan mengartikulasikan tindakan yang paling mungkin, yaitu dengan menyeleksi dan menilai berbagai alternatif tindakan serta bagaimana tindakan tersebut harus diimplementasikan agar sesuai dengan hasil atau kinerja yang diinginkan.

Pemimpin Doyan Pencitraan

Apalagi menjelang Pemilu akbar 2014, kata “pencitraan” ini sangat familiar dan bahkan dilakukan dengan berbagai cara. Tidak hanya dilakukan sendiri akan tetapi dengan memakai orang lain lain dan juga media-media cetak maupun elektronik dengan bayaran yang cukup mahal. Branding yang demikian diyakini oleh pengamat media sebagai langkah untuk mempromosikan diri guna menarik simpatik kepada seserorang pemimpin. Tak salah memang pencitraan yang dilakukan dengan cara ini, tetapi sangat disayangkan karena hanya sisi positifnya saja yang diangkat tanpa pernah sedikit mengangkat kekurangan/kelemahan dan bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Alhasil, “pencitraan” ini sama saja dengan iklan sebuah produk yang hanya bicara bahwa produk tersebut nomor satu, paling bagus, tidak ada saingan, cocok dengan masyarakat, tanpa mengecek terlebih dahulu respon masyarakat terhadap masyarakat tersebut. Dan mesin promosi ini dijadikan untuk menjaga kestabilan seorang kepemimpinan atau suatu produk jangan sampai jatuh atau dipakai untuk menangkis segala kritik dari pihak lain yang mencoba mempertanyakan kebijakan yang diambil. Itulah yang dinamakan “branding” atau “pencitraan”.

Lebih parah lagi, bahwa “pencitraan” dipakai memanipulasi sosok pemimpin seolah-olah paling benar, tidak pernah salah, tidak ada dosa, kebijakan yang diambil selalu pro rakyat. Gurita kekuasaan menjalar kemana-mana sampai siapapun tidak dapat “menyentuh” atau mengkritik. Bungkusan “pencitraan” ini sangat mengelabui rakyat dalam melihat dan menilai pemimpin sebab tidak banyak juga sumber yang dapat dipergunakan rakyat untuk menganalisa secara seimbang dan cermat, oleh karena data dan fakta yang disajikan hanya bersifat positif tadi. Akan sangat susah menyeimbangkan atau bahkan meluruskan, terkecuali media, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat mengambil perananan yang ekstrim dalam pengertian berani mengambil resiko untuk mengangkat semua issu dan fakta yang teruji terhadap setiap ketidaksesuaian dan kejangggalan yang merugikan kemaslahatan rakyat.

Mengutip pernyataan Wakil Ketua DPR Pramono Anung dalam suatu diskusi di Jakarta, menyatakan bahwa dalam kondisi negara seperti saat ini, rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang doyan melakukan pencitraan. Rakyat sudah trauma dengan pemimpin yang banyak menghabiskan energinya hanya melakukan “pencitraan”, tanpa banyak berbuat dan bertindak. Selain itu, pemimpin yang doyan hanya mengambil keuntungan pribadi harus sudah ditinggalkan dan tidak layak memimpin, apalagi sampai memanfaatkan rakyat dan merusak alam setempat untuk mengeruk keuntungan. Pejabat publik yang mempunyai bisnis sampingan sangat banyak diduga melakukan penyalahgunaan jabatan (abuse of power) dan tidak jarang diseret ke pengadilan dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi.

Rindu Sosok Jokowi di Parsoburan


Sekarang, Parsoburan sangat merindukan kehadiran sosok Jokowi untuk memimpin yang dapat mendengar dan menyapa dan bahkan melakukan “blusukan” ke “lapo-lapo” untuk sekadar berdiskusi untuk mecari solusi atas setiap keluh kesah rakyat Parsoburan. “Pencitraan” atau “Branding” yang diidamkan harus lebih mengusung pembangunan karakter dirinya sebagai seorang pemimpin yang tak lain adalah pelayan masyarakat Parsoburan. Pendekatannya pun tidak pilih-pilih, tidak hanya memilih mereka yang mempunyai duit saja, tapi juga mereka yang secara strata ekonomi berada di posisi bawah. Ia lebih mengedepankan program ekonomi kerakyatan. Cara sederhana dan praktis ala Jokowi ini akan membantu dalam meningkatkan perekonomian masyarakat dan terutama dalam merubah karakter masyarakat kembali kepada sistem “dalihan na tolu” yang sejak leluhur, selalu menanamkan dengan kuat rasa persaudaraan sehingga tidak mudah dipecah apalagi saling memusuhi oleh sebab adanya perbedaan pendapat dan perbedaan pilihan dalam berpolitik.

Terlebih lagi, bahwa sebenarnya permasalahan-permasalahan yang berkembang dan muncul di Parsoburan masih tergolong sederhana dan tidak begitu kompleks. Hanya saja, masyarakat sangat memerlukan Pemimpin yang sensitif dan memahami masalah yang ada. Dengan begitu, harapan agar Parsoburan bisa bersaing dengan daerah-daerah yang sudah mulai berkembang di Sumatera Utara dapat terwujud. Tidak hanya rakyat yang puas dan senang, pemimpinnya pun tentu tidak akan sulit dalam menjalankan roda pemerintahannya karena masyarakat sudah berpikiran maju. Karakter pemimpin harus kuat dalam men-engineering (mengubah) pola pikir dan karakter masyarakat Parsoburan menuju kemakmuran dan kedewasaan.

Maddenleo T. Siagian
Penulis adalah Advokat di Jakarta
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment