TOBASA: Good Governance, Suatu Harapan

Bersikap jujur pada rakyat adalah titik tolak untuk menciptakan pemerintahan yang tidak hanya kuat (strong government), melainkan juga pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance). Dengan kesadaran baru, Toba Samosir masa depan harus dibangun dengan mentalitas dan budaya berdemokrasi yang baru pula. Sehingga agenda mendesak pemerintahan kali ini adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab. Tentu saja bertanggungjawab pada rakyat. 

Tata kelola yang sehat dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme adalah sesuatu yang pasti dari prinsip good governance ini, dan tentu saja merupakan sesuatu yang sangat dirindukan masyarakat Toba Samosir. Terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati baru merupakan bagian dari kehendak rakyat yang menginginkan terciptanya hal itu. Harapan-harapan masyarakat Toba Samosir adalah bagaimana agar mereka bisa hidup lebih sejahtera secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, masyarakat Toba Samosir menginginkan kenaikan pendapatan perkapita, harga-harga kebutuhan pokok (merit goods) yang tidak mahal, berkurangnya angka kemiskinan, dan pelbagai indikasi kemakmuran lainnya. Secara politik, masyarakat Toba Samosir berkehendak agar demokrasi bisa berjalan sebagaimana mestinya: menghargai hak menyampaikan pendapat, menghormati hak asasi manusia, bebas berkreasi dan berorganisasi, dan penghargaan-penghargaan terhadap kebebasan berpendapat lainnya. Sebagai manifestasi dari harapan dan aspirasi rakyat banyak, terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati tersebut tentu saja diiringi oleh berbagai agenda yang mendesak dan berat.

Pengertian Good Governance

Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 130 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi presiden Amerika Serikat ke-27, memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 130 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengertian sempit. Kata “good” bermakna : (1) berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara, (2) keberdayaan masyarakat dan swasta, (3) pemerintahan yang berkerja sesuai dengan hukum positif negara, dan (4) pemerintahan yang produktif, efektif dan efisien. Sementara, kata “governance” bermakna : penyelenggaraan pemerintahan, dan (2) aktivitas pemerintahan melalui pengaturan publik, fasilitas publik dan pelayanan publik. Jadi, “good governance” mengandung pengertian penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Good Governance menurut Bank Dunia (World Bank) adalah cara kekuasaan digunakan dalam mengelola berbagai sumberdaya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (the way state power is used in managing economic and social resources for development of society). Good Governance sinonim dengan penyelernggaraan manajemen pembangunan yang: Pertama: solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien. Kedua: menghindari salah alokasi dan investasi yang terbatas. Ketiga: pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif. Keempat: menjalankan disiplin anggaran. Kelima: penciptaan kerangka politik dan hukum bagi turnbuhnya aktivitas kewiraswastaan.

Konsepsi Good Governance

Konsep governance muncul sebagai alternatif model dan metode governing (proses pemerintahan) yang lebih mengandalkan pada pelibatan seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah, semi pemerintah, atau non pemerintah, seperti lembaga bisnis, LSM, komunitas, atau lembaga-lembaga sosial lainnya. Dengan cara pandang itu, sekat-sekat formalitas negara atau pemerintah menjadi terabaikan. Konsep governance melihat kegiatan, proses atau kualitas memerintah, bukan tentang struktur pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan kebijakan itu. Kebijakan bukan dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok tertentu melainkan muncul dari proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena oleh kebijakan itu (Oyugi, 2000: 30-31). Dalam konsep ini, pemerintah bukan satu-satunya aktor dan tidak selalu menjadi pelopor dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai fungsi pengelolaan masyarakat yang kompleks, governance melibatkan relasi antara berbagai kekuatan dalam negara, yakni pemerintah (state), civil society, economic society, dan political society (Corbett 2000: 23-27; Keating, 1999: 40-43).

Secara umum, konsep good governance mengundang keterlibatan masyarakat sebagai pendorong pemerintah (jalur struktur) untuk lebih menghargai sekaligus menempatkan masyarakat sebagai subyek kebijakan, bukan hanya obyek yang bisa diatur ke mana arah kebijakan dirumuskan.
Untuk bisa sampai pada apa yang dicita-citakan sebagai “pemerintahan yang baik”, nyaris semua aspek yang terlibat dalam pembangunan Indonesia harus dilibatkan. Aktivis parpol, Ornop, LSM, pemerintah, politisi, pengusaha, agamawan, dan masyarakat secara luas mesti memahami arah dan tujuan pencapaian pembangunan Indonesia. Hal ini mutlak diperlukan, sebab akan menjadi sangat ironis jika antarelemen bangsa justru tidak padu. Bahkan tidak hanya tidak padu, melainkan sulit dimengerti dalam rangka mewujudkan demokrasi yang sehat, jalan-jalan yang tidak sehat tetap digunakan. Salah satu urgensi itu adalah bagi pembentukan masyarakat sipil yang bertanggung jawab di satu sisi, dan penciptaan pemerintahan yang baik di lain pihak.

Substansi Good Governance

Substansi Good Governance sangat luas, namun BAPPENAS mencoba membuat indikator utama, yaitu: Pertama, transparansi (Openness and Transparency). Kedua, Partisipasi Masyarakat (Participation). Ketiga, Akuntabilitas/Tanggung Gugat (Accountability). Keempat, Supremasi Hukum (Rule of Law). Keempat prinsip inilah yang oleh Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik BAPPENAS disebut dengan “More Administrative Good Governance”. Transparansi. Transparansi merujuk pada ketersediaan informasi dan kejelasan bagi masyarakat umum untuk mengetahui proses penyusunan, pelaksanaan, serta hasil yang telah dicapai melalui sebuah kebijakan publik. Semua urusan tata kepemerintahan berupa kebijakan-kebijakan publik, baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat diakses oleh publik. Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut beserta hasil-hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik. Dalam hal ini, aparatur pemerintahan harus bersedia secara terbuka dan jujur memberikan informasi yang dibutuhkan publik. Upaya pembentukan masyarakat transparansi, forum komunikasi langsung dengan eksekutif dan legislatif, wadah komunikasi dan informasi lintas pelaku baik melalui media cetak maupun elektronik, merupakan contoh wujud nyata prinsip keterbukaan dan transparansi. Tidak adanya keterbukaan dan transparansi dalam urusan pemerintahan akan menyebabkan kesalahpahaman terhadap berbagai kebijakan publik yang dibuat.

Partisipasi. Partisipasi masyarakat merujuk pada keterlibatan aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat lebih mengenal warganya berikut cara pikir dan kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapinya, cara atau jalan keluar yang disarankannya, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan sebagainya. Dengan demikian, kepentingan masyarakat dapat tersalurkan di dalam penyusunan kebijakan sehingga dapat mengakomodasi sebanyak mungkin aspirasi dan kepentingan masyarakat, serta mendapat dukungan masyarakat luas. Kehadiran dan keikutsertaan warga masyarakat dalam forum pertemuan publik, serta keaktifan mereka dalam menyumbangkan pikiran dan saran menunjukkan bahwa urusan pemerintahan juga menjadi urusan mereka dan bukan semata urusan birokrat. Meskipun demikian, harus diakui bahwa tidaklah mudah mengikutsertakan semua lapisan masyarakat dalam suatu forum sekaligus. Salah satu alternatif pemecahannya adalah memberi akses kepada seluruh masyarakat serta wakil dari berbagai lapisan masyarakat untuk berpartisipasi menyuarakan kepentingan kelompok yang diwakilinya dan mengajukan usul serta pikiran dalam forum-forum pertemuan publik, misalnya pada musyawarah pembangunan tingkat desa atau forum dengar pendapat. Kurangnya partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan menyebabkan kebijakan publik yang diputuskan tidak mampu mengakomodasi berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat, yang dapat mengakibatkan kegagalan dalam pencapaian tujuan kebijakan tersebut.

Akuntabilitas. Akuntabilitas publik adalah suatu ukuran atau standar yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan penyusunan kebijakan publik dengan peraturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku untuk organisasi publik yang bersangkutan. Pada dasarnya, setiap pengambilan kebijakan publik akan memiliki dampak tertentu pada sekelompok orang atau seluruh masyarakat, baik dampak yang menguntungkan atau merugikan, maupun langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, penyusun kebijakan publik harus dapat mempertanggungjawabkan setiap kebijakan yang diambilnya kepada publik. Penerapan prinsip akuntabilitas atau tanggung jawab/tanggung gugat dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali pada saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan (program accountability), pembiayaannya (fiscal accountability), serta pelaksanaan, pemantauan, dan penilaiannya (process accountability) sehingga program tersebut dapat memberikan hasil atau dampak optimal sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ditetapkan (outcome accountability). Para penyelenggara pemerintahan menerapkan prinsip akuntabilitas dalam hubungannya dengan masyarakat/publik (outwards accountability), dengan aparat bawahan yang ada di dalam instansi pemerintahan itu sendiri (downwards accountability), dan kepada atasan mereka (upwards accountability). Berdasarkan substansinya, prinsip akuntabilitas mencakup akuntabilitas administratif seperti penggunaan sistem dan prosedur tertentu (administrative accountability), akuntabilitas hukum (legal accountability), akuntabilitas politik antara eksekutif kepada legislatif (political accountability), akuntabilitas profesional seperti penggunaan metode dan teknik tertentu (professional accountability), dan akuntabilitas moral (ethical accountability). Apabila semua yang disebut terdahulu dapat terpenuhi, kepercayaan rakyat kepada aparat dan keandalan lembaga pemerintahan yang ada akan tumbuh. Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak menerapkan akuntabilitas akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Dengan penerapan prinsip akuntabilitas tersebut, diharapkan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintah/institusi/unit kerja tidak lagi sekedar laporan kesan-kesan dan pesan-pesan, tetapi menjadi laporan pertanggungjawaban kinerja selama yang bersangkutan menjabat. Hal ini sejalan dengan kebijakan Anggaran Berbasis Kinerja.

Prinsip supremasi hukum harus dijunjung dan merupakan prioritas yang perlu diperhatikan dalam penerapan Good Governance, mengingat prinsip ini tidak hanya akan memberikan kepastian hukum dalam pemberian pelayanan publik namun juga memberikan keadilan dalam pelaksanaan pembangunan. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam bentuk dan cara apa pun harus diberantas dan harus dituntaskan. Dalam hal ini, siapa saja yang melanggar hukum harus diproses dan ditindak secara hukum. Aparat penegak hukum harus didorong dan diberikan kewenangan penuh, tanpa campur tangan, untuk mengambil porsi penegakan supremasi hukum ini, dengan catatan dalam proses harus terhindar dari suap-menyuap dan intervensi politik. Peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum adalah wujud nyata terlaksananya prinsip ini.


Maddenleo T. Siagian, SH
Advokat pada Madden Siagian Law Firm
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment