Satu Kursi DPRD Tobasa untuk Putera Tornagodang

NIKSON PANDJAITAN, SH
Inilah sepenggal kisah Nikson Pandjaitan, SH, putera Tornagodang yang tengah melirik satu kursi di DPRD Tobasa, 2014 nanti. Ia bertekad terjun ke politik bukan sekadar mencari sensasi, apalagi harta. Nikson Panjaitan hanya ingin mengabdi untuk kampung halaman yang amat dicintainya.

MASYARAKAT Tornagodang, Kecamatan Habinsaran, Tobasa tengah bergembira. Tanah leluhur yang selama 27 tahun diserahkan kepada PTPN IV itu akhirnya bisa kembali. Namun, impian itu memang tidak semudah mengucapkan kata. Ada proses cukup rumit yang menyertai setiap kerja keras warga Tornagodang.

Puncaknya, pada 25 Januari 2012, penduduk Tornagodang yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Desa Tornagodang sepakat menggelar aksi unjuk rasa damai di lokasi kebun teh Sibosur. Tak tanggung-tanggung, aksi tersebut diikuti sekira 400 warga setempat, termasuk Nikson Pandjaitan, SH, anak rantau Tornagodang yang tinggal di Jakarta. Ratusan massa dari seluruh golongan usia itu bahkan disaksikan oleh perwakilan dari PTPN IV, Anggota DPRD Tobasa, Camat Habinsaran mewakili Bupati Toba Samosir, termasuk aparat Kepolisian Resort Tobasa.

Tugas Nikson tak cukup hanya ikut berorasi. Di pundaknya, ia memikul tanggungjawab sebagai Kuasa Hukum Forum Masyarakat Peduli Desa Tornagodang. Bagi Nikson, tindakan PTPN IV yang memandang sebelah mata masyarakat Tornagodang tentu tak boleh dibiarkan.

“Jika tidak dipergunakan lagi oleh Pemkab Tapanuli Utara (sekarang masuk wilayah Tobasa) dan PTPN IV sebagai perkebunan teh dengan sistem PIR (Perkebunan Inti Rakyat), maka hak atas tanah tersebut dengan sendirinya kembali kepada penduduk masyarakat Tornagodang sebagai pemilik tanah,” seru Nikson mengutip bunyi surat penyerahan tanah oleh tokoh dan tetua Tornagodang pada 1984.

Upaya menggelar aksi unjuk rasa ternyata membawa angin segar bagi bumi Tornagodang. Hanya berselang tiga hari, DPRD Tobasa melakukan kunjungan ke kantor pusat PTPN IV di Medan. Rombongan DPRD yang dipimpin Ketua DPRD Tobasa Ir. Sahat Pandjaitan beserta Komisi C itu, membawa harapan baru.

“Kami bersyukur dan berterimakasih kepada DPRD Tobasa. Karena pada 3 Pebruari 2012, Forum Masyarakat Peduli Desa Tornagodang, Pemkab Tobasa, dan PTPN IV Medan bisa duduk bersama di Kantor DPRD Tobasa,” urai Nikson.

Nikson makin bersyukur karena pertemuan tersebut dihadiri semua pihak terkait. Di antaranya Ketua Komisi C DPRD yang membidangi perekonomian Ir. Sakkan Siahaan, Ketua DPRD Tobasa, Ir. Sahat Pandjaitan. Sedangkan PTPN IV dihadiri jajaran manajemen yang dipimpin Humas PTPN IV Lidang Panggabean. Khusus anak rantau, Nikson tidak sendiri. Dia ditemani Sekjen Ikatan Keluarga Besar Habinsaran (IKBH) Jakarta, Drs. Linggom F Lumbantoruan.

Kesempatan emas itu tentunya tidak disia-siakan masyarakat Tornagodang. “Kami tetap pada tuntutan semula agar tanah Sibosur yang saat ini dikuasai PTPN IV segera dikembalikan kepada masyarakat. Kami juga meminta Pemkab Tobasa ikut melindungi kepentingan masyarakat Tornagodang,” tukas Ketua Forum Masyarakat Peduli Desa Tornagodang Ir. Johnson Pandjaitan.

Alotnya pertemuan yang dipimpin Ir. Sakkan Siahaan itu pun akhirnya menguak fakta baru. Ternyata, pihak PTPN IV telah menyerahkan aset eks PIR Lokal kepada Pemkab Tobasa sesuai dengan SK Menkeu No S-285/MK-06/2004 yang dikenal dengan istilah Plasma. Ironisnya, Pemkab Tobasa tidak pernah menyerahkan lahan Plasma tersebut kepada masyarakat yang terdaftar sebagai anggota Plasma. Masyarakat lantas berinisiatif menggarap tanah tersebut karena sudah ditelantarkan PTPN IV.

“Sedangkan wilayah Kebun Sibosur, Ladang Ambar Sibirong, Ladang Sirumae, dan Ladang Sigala-gala yang dikenal dengan istilah Inti dinyatakan sudah menjadi milik BUMN oleh PTPN IV dan masih dikelola dengan cara KSO (Kerjasama Operasional) dengan perusahaan dari Suka Bumi dengan nama CV. AIR MAS. Hal inilah yang memicu perdebatan dalam pertemuan tersebut. Namun, pihak PTPN IV akhirnya bersedia melepaskan hak atas tanah tersebut kepada masyarakat Tornagodang,” papar Nikson menguraikan.

Persoalan tidak cukup berhenti di situ saja. Masih kata Nikson, proses pelepasan tanah itu bisa terwujud apabila Bupati Tobasa bersedia membuat Surat Permohonan Pelepasan Hak Atas Lahan Inti kepada Kementerian BUMN di Jakarta. Lagi-lagi masyarakat Tornagodang merasa lega karena Ketua DPRD Tobasa langsung mendesak Pemkab Tobasa untuk mengirimkan Surat Permohonan tersebut kepada Kementerian BUMN. “Ketua DPRD bahkan meminta Sekwan DPDR untuk juga membuatkan surat dari DPRD Tobasa, mendampingi surat dari Bupati Tobasa,” kata Nikson.

Namun, perjuangan sepertinya belum usai. Masyarakat Tornagodang masih khawatir lahan Sibosur tidak akan bernasib lebih baik di masa mendatang. Itu kalau Pemkab Tobasa malah menjadikan perkebunan teh Sibosur sebagai BUMD. Jika itu yang terjadi maka sama saja lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. “Tapi kami yakin DPRD Tobasa akan mengawal proses pelepasan Lahan Sibosur kembali ke tangan masyarakat Desa Tornagodang,” harap Nikson Pandjaitan.

Menanti Investor di Kebuh Teh Sibosur

Aksi Unjuk Rasa Masyarakat Tornagodang
Aksi turun jalan masyarakat Tornagodang menjadi pintu masuk untuk mengembalikan kemilau kebun teh Sibosur yang belakangan meredup. Setumpuk harapan pun kini menjadi bagian dari keseharian warga Kecamatan Habinsaran, Tobasa itu.

Nikson Pandjaitan SH, Kuasa Hukum Forum Masyarakat Peduli Desa Tornagodang mengatakan, saat ini pihaknya terus berusaha mencari investor yang bersedia mengelola lahan seluas sekira 253 hektar yang masih ditanami teh yang siap berproduksi. Nikson memberikan garansi, kerjasama dengan investor yang siap menggarap lahan itu dipastikan tidak akan melalui proses yang rumit dan bertele-tele.

“Asalkan dikelola dengan baik. Ketentuannya sederhana saja yakni harus dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dan mengutamakan putra daerah sebagai tenaga kerja di perusahaan tersebut,” jelas Nikson.

Menurut Nikson, keputusan untuk menjalin kerjasama dengan investor dilakukan karena perkebunan teh tersebut sampai saat ini masih terawat dengan baik. Bukan itu saja, sarana dan prasarana yang tersedia juga sangat memadai. Terpenting lagi, sambung Nikson, teh yang dihasilkan dari kebun Sibosur dikenal sangat bagus kualitasnya. “Saking bagusnya, teh Sibosur bahkan mampu menembus pasar Eropa terutama Jerman,” katanya.

Dari informasi yang diperoleh Nikson, saat ini 1 kilogram teh basah dipatok harga Rp 1.700. Sedangkan 1 kilogram teh kering dihargai Rp 15.000. Untuk saat ini, areal seluas 253 hektar tersebut mampu menghasilkan 5 ton daun basah per hari. Jika dikalikan, dalam sehari kebun teh tersebut mampu menghasilkan uang Rp 8.500.000 per hari. “Jumlah sebesar itu dengan catatan karena lahan belum dikelola dengan maksimal. Jika dikelola dengan baik, bisa mencapai 7 ton daun basah setiap hari. Tentu saja ini investasi yang sangat menguntungkan,” papar Nikson berpromosi.

Namun, pilihan meneruskan lahan Sibosur tetap menjadi kebun teh bukanlah yang terakhir. Masih ada peluang untuk mengalihkan kebun teh menjadi kebun ubi racun yang selanjutnya diolah menjadi tapioka. Soal ini, Nikson mengaku sudah pernah bertemu dengan seorang investor yang juga memiliki perusahaan tapioka di Habinsaran. “Masih diperlukan kajian-kajian jika opsi itu menjadi yang terakhir. Yang pasti, kami menantikan investor yang siap membangun dan bekerjasama dengan segenap masyarakat Tornagodang,” tuntas Nikson Pandjaitan.

Jalan Panjang Merebut Kebun Teh Sibosur

Barangkali, Nikson Pandjaitan, SH bukanlah sosok anak rantau yang telah mengharumkan Desa Tornagodang, tempat ia lahir dan dibesarkan. Ayah tiga anak ini belum seberapa ketimbang anak rantau lainnya. Akan tetapi, sekecil apapun sumbangsih yang dia berikan, itu sudah cukup membuat dirinya berbangga. Toh, demi kampung halaman tercinta, perjuangan masih panjang. Sebagai Kuasa Hukum Forum Masyarakat Peduli Desa Tornagodang, Nikson Pandjaitan memang memikul tanggung jawab yang tak ringan.

Inilah wawancara dengan Nikson Pandjaitan di Jakarta, belum lama ini:

Bagaimana Anda pertama kali ikut serta menyoroti persoalan kebun teh Sibosur?

Yang jelas adalah panggilan. Sudah cukup lama masyarakat Tornagodang terkurung dalam ketidaktahuan atas hak mereka sendiri. Sebagai putra daerah yang lahir dan dibesarkan di sana, saya kira sangat wajar kalau saya ikut bertanggungjawab atas apapun yang terjadi di kampung saya sendiri. Terutama soal nasib perkebunan teh Sibosur yang sejak 1984 diserahkan leluhur kami kepada pemerintah dan PTPN IV. Tapi nyatanya, lahan seluas ribuan hektar itu malah dibiarkan terlantar.

Soal penunjukan Anda sebagai Kuasa Hukum Forum Masyarakat Peduli Desa Tornagodang?

Keprihatianan terhadap nasib dan masa depan kebun teh Sibosur akhirnya membuat saya tergerak untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat Tornagodang. Saya mencoba mencari tahu apa sebenarnya masalah yang mereka hadapi. Ternyata, mereka ingin sekali untuk kembali menggarap lahan para orangtua. Itu karena PTPN IV tidak mengurus lahan dengan baik. Masalahnya, mereka kurang tahu bagaimana proses menuju ke sana. Karena saya kebetulan seorang advokat, itulah awalnya dipercaya menjadi kuasa hukum. Dan terus terang, ini saya lakukan tanpa pamrih.

Sebagai Kuasa Hukum, langkah apa yang pertama kali Anda lakukan?


Kasus ini cukup rumit. Bayangkan, dari tahun 1984 kita harus runut masalahnya. Beruntung, surat penyerahan tanah dari tokoh masyarakat kepada Pemkab Tapanuli Utara dan PTPN IV masih ada. Surat inilah yang saya jadikan sebagai pegangan awal. Artinya, pewaris sah lahan itu memang masyarakat Tornagodang yang terdiri dari beberapa marga. Saya juga langsung menyurati pihak PTPN IV dan CV Air Mas untuk menanyakan seperti apa sebenarnya status lahan itu.

Seperti apa hasilnya?

Jangankan direspons, surat yang kita kirimkan ke pihak PTPN IV tidak pernah ada balasan. Padahal, saya sudah beberapa kali mengirimi surat. Tetap tidak ada balasan. Kalau CV Air Mas masih bersedia duduk bersama. Sayangnya, CV Air Mas malah menawarkan solusi yang sepertinya kurang masuk akal. Mereka hanya bersedia memberikan kompensasi Rp 1 juta perbulan kepada warga. Itu kan tidak masuk akal sama sekali.

Benarkah aksi unjuk rasa masyarakat Tornagodang dilakukan karena PTPN IV dan CV Air Mas tidak serius menanggapi tuntutan pihak Anda?

Itu betul. Akibat kebuntuan tersebut, kami sepakat melakukan aksi turun ke jalan sebagai cara untuk menyampaikan tuntutan. Sebenarnya, tuntutan kami sederhana saja, kembalikan hak-hak kami sebagai pemilik lahan yang sah. Ternyata, upaya ini cukup ampuh untuk menarik perhatian Pemkab Tobasa. Kami juga sangat bersyukur karena DPRD Tobasa mau mendengarkan keluhan kami. Mereka langsung bergerak cepat dengan menggelar audiensi seluruh pihak terkait. Kesimpulannya, CV Air Mas bersedia angkat kaki dari Sibosur, sedangkan PTPN IV juga berjanji akan segera mengikuti langkah CV Air Mas.

Sikap Bupati Tobasa bagaimana?

Sejak ikut terjun menangani persoalan ini, saya cukup sering berkomunikasi dengan Pak Bupati (Kasmin Simanjuntak). Beliau cukup memahami persoalan yang sedang dihadapi masyarakat Tornagodang. Bahkan, beliau juga setuju terhadap segala upaya yang kami lakukan. Kami sangat berterimakasih karena beliau mendukung dan bersedia menuntaskan masalah ini.

Saat ini, dengan dukungan penuh Bupati dan DPRD, apa saja harapan masyarakat Tornagodang?

Tentu saja kami ingin masalah ini cepat selesai. Bagaimana nanti masa depan kebun teh Sibosur akan kembali dibahas setelah proses hukum sudah mantap. Namun, kami tetap berharap agar Pak Bupati dan DPRD tetap satu suara. Jangan lagi mengulangi kesalahan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Tapi kami percaya, eksekutif dan legislatif Tobasa mampu mencari jalan terbaik bagi masyarakat Tornagodang. ***
KOMANDO NIKSON. Masyarakat Tornagodang bertekad merebut kembali lahan teh Sibosur
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment