Tiri tak peduli meski kelopak mata nenek masih terlihat sembab. Ia merengek dan memaksa untuk digendong. Tiri, yang umurnya terpaut tujuh tahun di bawah saya seminggu belakangan bersikap manja. Ia hanya mau digendong nenek. Ia memang belum mengerti keadaan nenek yang sudah semakin uzur tetap menjaga kedai kopi hingga larut malam. Melayani warga desa yang sering berkumpul di kedai peninggalan kakek. Biasanya, nenek yang tahun depan genap berusia 56 tahun terlihat ceria menjelang akhir pekan. Namun, sepertinya itu tidak terjadi di hari ini. Ia malah sibuk mengusap air matanya. Entah kenapa, sudah dua hari ini nenek berpolah seperti itu.
Pa’Lios Manurung
KAKEK tak mungkin kembali. Ia sudah tenang di alam baka. Meninggalkan segudang duka bagi keluarga. Ini mungkin sudah takdir. Delapan bulan silam, ayah dan ibu juga dipanggil yang Kuasa. Itu terjadi ketika mereka pergi ke kota. Tiga orang sekampung kami juga ikut menjadi korban kecelakaan mobil, persis di sebuah tikungan tajam, perbatasan dengan desa sebelah.
“Kakek yang sehari-hari menemani kami bermain, bermanja-manja, kini takkan pernah ada seperti itu lagi. Tidak ada waktu lagi untuk bermain bersama anak-anak yang lain. Nenek terlalu sibuk jaga warung dan saya harus menjaga Tiri,” gumamku di Minggu sore.
Kakek punya tiga orang anak, ayahku paling bungsu. Dua saudara perempuan ayah biasa kami panggil dengan sebutan bibi. Entah kenapa, hubungan dua kakak ayah dengan nenek sering tidak harmonis. Mereka sering cekcok, paling sering soal warisan. Itulah kenapa saya juga kurang dekat dengan kedua bibi. Kondisi Tiri yang kurang normal dari anak lainnya makin membuat situasi kian runyam. Saya harus setia menemani Tiri. Kelakuan Tiri yang masih seperti anak kecil bahkan sering memantik amarah nenek.
“Baju yang kau pakai itu saya yang cuci. Kau jangan main tanah seperti anak kecil lagi, Tiri. Kau pikir saya tidak capek mengurusmu dari kecil?” nenek membentak Tiri hampir setiap sore.
Dari kecil saya dan Tiri dibesarkan nenek. Tetapi, sampai menginjak usia dewasa, saya tak lagi pernah merasakan kebahagiaan seperti dulu. Selalu dibebani Tiri, yang sejak lahir seperti anak keterbelakangan mental. Saya sangat mengasihani dia, meski kelakuan Tiri sering membuat nenek marah-marah. Yang jelas, Tiri juga manusia yang masih punya hati. Setiap kali ia melihat anak-anak yang lain bermain bersama ayah dan ibu mereka. dia masih bisa terlihat sedih. Mungkin, ia jadi teringat kasih sayang ayah dan ibu.
Pikiranku semakin kacau, sebab di zaman sekarang, manusia normal saja banyak yang tergilas zaman. Untuk bertahan hidup saja sudah susah, bagaimana nanti nasib adik saya? Tapi saya selalu berdoa mudah-mudahan Tuhan selalu menuntun langkah kami, apapun yang kami kerjakan dan dimanapun kami berada.
***
Kakek-nenek dikaruniai tiga anak, dua perempuan dan ayah saya yang paling bungsu.
Setelah kepergian Kakek, Nenek sering bertemu dengan mantan kekasihnya dulu. Kini, di usianya yang sudah menginjak 55 tahun, mereka sering bertemu sekadar bercerita di warung nenek.
Begitulah, suatu ketika saya pernah menguping pembicaraan mereka tentang sebuah kunci laci yang sudah lama hilang. Obrolan nenek dengan mantan pacarnya itu pun seringkali mengungkit pengalaman saya waktu berumur 14 tahun. Saat itu, saya duduk di kelas 3 SMP. Masih jelas dalam ingatanku bagaimana nenek dan bibi meributkan harta warisan peninggalan kakek.
“tok..tok…ma, “tok..tok..tok…ma..!” suara gedoran pintu terdengar di hening malam.
Saya terbangun dan melihat jam dinding yang pas berada di depan tempat tidurku, menunjukkan kurang lebih jam 23.30. Saya dengar seperti suara bibi mengetok pintu.
“Sebentar…! ”sahut nenek segera segera menuju pintu.
“Ada apa kau malam-malam begini datang,” tanya nenek.
“Saya mau membicarakan tentang harta warisan Papa, soalnya saya butuh uang
sekarang, untuk merombak memperbesar rumah. Dan kebetulan kemarin saya bertemu dengan adik, dan kita sudah sepakat tentang harta warisan papa, dia setuju dibagi tiga saja,” jawab bibi.
“Memang kamu udah ketemu sama kuncinya? Masa kamu lupa dengan perjanjiannya, siapa saja di antara keluarga kita yang menemukan kunci itu, dialah yang berhak untuk membagi harta warisan.”
“Terus kalau kunci lacinya nggak ketemu, gimana ceritanya atau selama 25 tahun ini
di antara kita ada yang meninggal gimana kelanjutannya.”
“Kita jangan mendoakan yang seperti itu, ya kalau memang terjadi seperti itu, itu
kuasa dan kehendak Tuhan. Kamu pikir saya juga nggak ikut pusing, medengar tuntuntan
kamu dan adekmu selalu bergantian datang untuk menuntut harta warisan,” kata
nenek menasehati.
Setelah itu mereka diam sejenak. Usai mendengar nasehat dari nenek, bibi marah-marah langsung bergegas pergi dan menghempaskan pintu rumah. Suara bising itu bahkan membuat Tiri terbangun dan ketakutan.
***
Ternyata, nenek dan bibi sedang membicarakan tentang sebuah kunci laci yang hilang beberapa tahun lalu. Kunci itu adalah satu-satunya harapan bagi keluargaku, sebab laci itu berisikan harta kakek. Nenek sendiri juga tidak tahu persis apa saja isi dari laci itu. Dulu waktu kepergian kakek, pernah ada pertengkaran di antara keluaga kami untuk merebut isi dari laci itu.
Kejadian itu memang sangat singkat, di hari Minggu sepulang dari Gereja, saya, Tiri dan nenek masih sempat belanja ke pasar untuk perbekalan rumah. Di tengah jalan menuju rumah, kami berpapasan dengan nenek yang saat itu mengendarai sepeda motor. Kata bibi, di rumah sudah menunggu bibiku yang paling bungsu.
Sesampai kami di rumah, kedua bibi sudah menunggu kami di depan rumah. Dengan wajah sinis bibi saya yang paling sulung langsung menanyakan tentang harta warisan yang berada di dalam laci sebuah meja.
“Itu bukan urusan kamu saya masih hidup, itu masih hak saya, kalau mau kebagian tunggu hari baiknya,” elak nenek berulang-ulang.
Mungkin nenek takut untuk menyerahkan laci yang keadaan tertutup itu begitu saja, takut diambil semua oleh bibi. Tak berapa lama, mereka bertengkar hebat. Bibi pun emosi dan melempar batu ke arah nenek disertai ucapan kasar. Untung saja lemparan bibi meleset. Tetangga pun berdatangan dan langsung mendamaikan mereka. Agar masalah itu tak terulang lagi, keluarga memutuskan menyerahkan meja berlaci itu kepada polisi.
Perjanjiannya, siapapun penemu kunci laci yang hilang, berhak memperoleh semua warisan kake. Peristiwa itu sangat jelas di ingatanku. Apalagi, beberapa hari setelah kejadian itu, nenek selalu menangisi perbuatan bibi.
***
Senin bagiku adalah hari yang paling menyebalkan, pagi itu saya masih mengantuk sekali. Kalau musim pemilu tiba, warga kampung selalu ramai di warung. Mereka asyik mempersoalkan politik sekaligus berharap ada serangan fajar dari partai politik. Biasanya, mereka pulang jam 09-10 malam, kali ini mereka pulang sekitar jam 1 pagi. Padahal jam 5 pagi, saya harus bangun untuk membantu nenek untuk kebutuhan ke warung. Sedangkan jam 6, sudah harus berangkat ke sekolah yang jaraknya kira-kira 6 km jauhnya. Butuh satu jam berjalan kaki. Syukurlah, Tiri sudah bisa sedikit membantu nenek.
Tidak terasa saya sudah beranjak dewasa, sudah duduk di kelas 2SMU. Suasana rumah pun sudah mulai berubah, nenek sudah mulai tua Tiri sudah besar. Kadang-kadang kesedihan yang dulu sudah sering terlupakan dari ingatan kami, dan masalah kunci laci yang hilang, kadang-kadang sudah terlupakan. Kemungkinan kunci itu sudah lenyap tidak akan ketemu lagi, sementara bibi sudah jarang ke rumah untuk menanyakan keberadaan kunci laci itu. “Ya Tuhan, mudah-mudahan keluarga kami bisa rukun tanpa keberadaan kunci laci itu,” itulah doaku.
Tiba-tiba, pada Sabtu jam 11.30 malam, Tiri membangunkanku dari tidur. Saya kaget bukan kepalang, khawatir Tiri sedang sakit. Ternyata Tiri hanya mengajakku keluar rumah. Ada yang mau dia katakan kepada sama saya. Agar nenek tak terbangun, kami pun pelan-pelan membuka pintu dan keluar rumah.
Hanya terlihat bulan sabit yang sedikit ditutupi awan putih di langit. Kami duduk di salah satu potongan batang pohon besar yang berada di samping kolam lele, tepat di belakang rumah. Dengan nada suara yang kering dan lambat, Tiri menceritakan tentang sebuah kunci. Saya sempat sok dan kaget mendengarnya.
”Bang saya dengar-dengar dari cerita orang kita pernah kehilangan kunci laci, apa itu benar ya, Bang?
“Ya itu benar dek, saya juga tidak tau banyak tentang kuci itu..! tapi itu sudah lama sekali hilangnya, bibi dan nenek sudah lama mencarinya tapi sampai sekarang belum ketemu,” jawabku penasaran.
“Sebenarnya saya takut untuk menceritakan ini, takut kita diapa-apain sama bibi, asal abang janji untuk tidak membocorkan rahasia ini, saya akan ceritakan sama abang.
“Ya dek abang janji,” kataku meyakinkan.
“Abang masih ingat tidak waktu saya masih kecil pernah diseret nenek dari kolam lele?”
“Wah, abang tidak ingat lagi kejadian itu, soalnya Tiri dulu sering bikin nenek marah, itu yang mana saya tidak ingat lagi,” sergahku sambil memandang ke arah kolam lele.
Tiri menangis dan bercerita. “Pagi itu saya sangat senang dapat mainan kelereng dari teman nenek yang sering datang ke warung. Terus saya main kelereng di kamar tempat tidur nenek. Tidak lama saya bermain, kelerengnya masuk ke bawah tempat tidur nenek. Dengan susah payah saya pun mengambilnya. Nah, di bawah tempat tidur nenek saya menemukan kelereng itu bersama dengan sebuah kunci kecil, yang warnanya agak kekuning-kuningan. Kuambil kunci itu dan memasukkannya ke dalam mulutku. Saya pun melanjutkan permainan, saya tidak tahu itu benda apa, saya pikir itu mainan. Karena kamar nenek sempit, sayapun pindah ke luar rumah untuk bermain.
Di luar saya senang bermain kelereng, dilempar kemana saja kelerengnya pasti ketemu, tidak susah untuk menemukannya. Semakin asyik saya bermain semakin jauh saya dari halaman rumah. Saya tepat berada di bawah pohon itu (sambil menunjuk pohon yang berada dekat kolam lele). Pada saat itu suara gemuruh sangat keras, dan hujan pun turun sangat deras, saya buru-buru untuk pulang, takut dimarahi nenek. Belum beberapa langkah saya berlari, sayapun tersandung dan terjatuh, kelereng yang tadinya berada di genggaman tanganku terlempar dan masuk ke dalam kolam lele. Tanpa rasa takut saya pun langsung masuk ke dalam kolam untuk mencari kelereng. Tak sengaja, saya meminum air kolam. Jadilah kunci di dalam mulutku ikut masuk ke dalam perutku. Rasa takutpun semakin menjadi, takut akan dimarahi nenek.
Setelah saya menemukan kelereng, tiba-tiba nenek muncul dari pintu belakang rumah, dan memanggilku. Karena saya masih di dalam kolam, nenekpun datang menghampiriku langsung menyeret saya dari dalam kolam dan membawaku ke dalam rumah. Nenek memarahiku dan bertanya kamu kenapa, ‘ngapain kamu ada di dalam kolam? Saya diam dan tidak menjawab apa-apa.
“Pertanyaan itulah yang selalu muncul di pikiranku, makanya saya menceritakan semua ini sama abang, siapa tau ada hubungannya sama kunci laci yang sudah lama dicari nenek dan bibi,” ucap Tiri dengan mata berlinang.
“Ya sudah kita lanjutkan besok saja, sekarang kamu harus tidur dulu,” kataku sambil mengajaknya masuk ke rumah.
Dalam hening malam itu, Tiri kembali membuat pikiranku kacau. Saya tidak lagi bisa memejamkan mata hingga pagi. Bertanya-tanya dalam batin, benarkah kunci yang hilang itu sudah ditemukan oleh Tiri?” ***
Pa’Lios Manurung
KAKEK tak mungkin kembali. Ia sudah tenang di alam baka. Meninggalkan segudang duka bagi keluarga. Ini mungkin sudah takdir. Delapan bulan silam, ayah dan ibu juga dipanggil yang Kuasa. Itu terjadi ketika mereka pergi ke kota. Tiga orang sekampung kami juga ikut menjadi korban kecelakaan mobil, persis di sebuah tikungan tajam, perbatasan dengan desa sebelah.
“Kakek yang sehari-hari menemani kami bermain, bermanja-manja, kini takkan pernah ada seperti itu lagi. Tidak ada waktu lagi untuk bermain bersama anak-anak yang lain. Nenek terlalu sibuk jaga warung dan saya harus menjaga Tiri,” gumamku di Minggu sore.
Kakek punya tiga orang anak, ayahku paling bungsu. Dua saudara perempuan ayah biasa kami panggil dengan sebutan bibi. Entah kenapa, hubungan dua kakak ayah dengan nenek sering tidak harmonis. Mereka sering cekcok, paling sering soal warisan. Itulah kenapa saya juga kurang dekat dengan kedua bibi. Kondisi Tiri yang kurang normal dari anak lainnya makin membuat situasi kian runyam. Saya harus setia menemani Tiri. Kelakuan Tiri yang masih seperti anak kecil bahkan sering memantik amarah nenek.
“Baju yang kau pakai itu saya yang cuci. Kau jangan main tanah seperti anak kecil lagi, Tiri. Kau pikir saya tidak capek mengurusmu dari kecil?” nenek membentak Tiri hampir setiap sore.
Dari kecil saya dan Tiri dibesarkan nenek. Tetapi, sampai menginjak usia dewasa, saya tak lagi pernah merasakan kebahagiaan seperti dulu. Selalu dibebani Tiri, yang sejak lahir seperti anak keterbelakangan mental. Saya sangat mengasihani dia, meski kelakuan Tiri sering membuat nenek marah-marah. Yang jelas, Tiri juga manusia yang masih punya hati. Setiap kali ia melihat anak-anak yang lain bermain bersama ayah dan ibu mereka. dia masih bisa terlihat sedih. Mungkin, ia jadi teringat kasih sayang ayah dan ibu.
Pikiranku semakin kacau, sebab di zaman sekarang, manusia normal saja banyak yang tergilas zaman. Untuk bertahan hidup saja sudah susah, bagaimana nanti nasib adik saya? Tapi saya selalu berdoa mudah-mudahan Tuhan selalu menuntun langkah kami, apapun yang kami kerjakan dan dimanapun kami berada.
***
Kakek-nenek dikaruniai tiga anak, dua perempuan dan ayah saya yang paling bungsu.
Setelah kepergian Kakek, Nenek sering bertemu dengan mantan kekasihnya dulu. Kini, di usianya yang sudah menginjak 55 tahun, mereka sering bertemu sekadar bercerita di warung nenek.
Begitulah, suatu ketika saya pernah menguping pembicaraan mereka tentang sebuah kunci laci yang sudah lama hilang. Obrolan nenek dengan mantan pacarnya itu pun seringkali mengungkit pengalaman saya waktu berumur 14 tahun. Saat itu, saya duduk di kelas 3 SMP. Masih jelas dalam ingatanku bagaimana nenek dan bibi meributkan harta warisan peninggalan kakek.
“tok..tok…ma, “tok..tok..tok…ma..!” suara gedoran pintu terdengar di hening malam.
Saya terbangun dan melihat jam dinding yang pas berada di depan tempat tidurku, menunjukkan kurang lebih jam 23.30. Saya dengar seperti suara bibi mengetok pintu.
“Sebentar…! ”sahut nenek segera segera menuju pintu.
“Ada apa kau malam-malam begini datang,” tanya nenek.
“Saya mau membicarakan tentang harta warisan Papa, soalnya saya butuh uang
sekarang, untuk merombak memperbesar rumah. Dan kebetulan kemarin saya bertemu dengan adik, dan kita sudah sepakat tentang harta warisan papa, dia setuju dibagi tiga saja,” jawab bibi.
“Memang kamu udah ketemu sama kuncinya? Masa kamu lupa dengan perjanjiannya, siapa saja di antara keluarga kita yang menemukan kunci itu, dialah yang berhak untuk membagi harta warisan.”
“Terus kalau kunci lacinya nggak ketemu, gimana ceritanya atau selama 25 tahun ini
di antara kita ada yang meninggal gimana kelanjutannya.”
“Kita jangan mendoakan yang seperti itu, ya kalau memang terjadi seperti itu, itu
kuasa dan kehendak Tuhan. Kamu pikir saya juga nggak ikut pusing, medengar tuntuntan
kamu dan adekmu selalu bergantian datang untuk menuntut harta warisan,” kata
nenek menasehati.
Setelah itu mereka diam sejenak. Usai mendengar nasehat dari nenek, bibi marah-marah langsung bergegas pergi dan menghempaskan pintu rumah. Suara bising itu bahkan membuat Tiri terbangun dan ketakutan.
***
Ternyata, nenek dan bibi sedang membicarakan tentang sebuah kunci laci yang hilang beberapa tahun lalu. Kunci itu adalah satu-satunya harapan bagi keluargaku, sebab laci itu berisikan harta kakek. Nenek sendiri juga tidak tahu persis apa saja isi dari laci itu. Dulu waktu kepergian kakek, pernah ada pertengkaran di antara keluaga kami untuk merebut isi dari laci itu.
Kejadian itu memang sangat singkat, di hari Minggu sepulang dari Gereja, saya, Tiri dan nenek masih sempat belanja ke pasar untuk perbekalan rumah. Di tengah jalan menuju rumah, kami berpapasan dengan nenek yang saat itu mengendarai sepeda motor. Kata bibi, di rumah sudah menunggu bibiku yang paling bungsu.
Sesampai kami di rumah, kedua bibi sudah menunggu kami di depan rumah. Dengan wajah sinis bibi saya yang paling sulung langsung menanyakan tentang harta warisan yang berada di dalam laci sebuah meja.
“Itu bukan urusan kamu saya masih hidup, itu masih hak saya, kalau mau kebagian tunggu hari baiknya,” elak nenek berulang-ulang.
Mungkin nenek takut untuk menyerahkan laci yang keadaan tertutup itu begitu saja, takut diambil semua oleh bibi. Tak berapa lama, mereka bertengkar hebat. Bibi pun emosi dan melempar batu ke arah nenek disertai ucapan kasar. Untung saja lemparan bibi meleset. Tetangga pun berdatangan dan langsung mendamaikan mereka. Agar masalah itu tak terulang lagi, keluarga memutuskan menyerahkan meja berlaci itu kepada polisi.
Perjanjiannya, siapapun penemu kunci laci yang hilang, berhak memperoleh semua warisan kake. Peristiwa itu sangat jelas di ingatanku. Apalagi, beberapa hari setelah kejadian itu, nenek selalu menangisi perbuatan bibi.
***
Senin bagiku adalah hari yang paling menyebalkan, pagi itu saya masih mengantuk sekali. Kalau musim pemilu tiba, warga kampung selalu ramai di warung. Mereka asyik mempersoalkan politik sekaligus berharap ada serangan fajar dari partai politik. Biasanya, mereka pulang jam 09-10 malam, kali ini mereka pulang sekitar jam 1 pagi. Padahal jam 5 pagi, saya harus bangun untuk membantu nenek untuk kebutuhan ke warung. Sedangkan jam 6, sudah harus berangkat ke sekolah yang jaraknya kira-kira 6 km jauhnya. Butuh satu jam berjalan kaki. Syukurlah, Tiri sudah bisa sedikit membantu nenek.
Tidak terasa saya sudah beranjak dewasa, sudah duduk di kelas 2SMU. Suasana rumah pun sudah mulai berubah, nenek sudah mulai tua Tiri sudah besar. Kadang-kadang kesedihan yang dulu sudah sering terlupakan dari ingatan kami, dan masalah kunci laci yang hilang, kadang-kadang sudah terlupakan. Kemungkinan kunci itu sudah lenyap tidak akan ketemu lagi, sementara bibi sudah jarang ke rumah untuk menanyakan keberadaan kunci laci itu. “Ya Tuhan, mudah-mudahan keluarga kami bisa rukun tanpa keberadaan kunci laci itu,” itulah doaku.
Tiba-tiba, pada Sabtu jam 11.30 malam, Tiri membangunkanku dari tidur. Saya kaget bukan kepalang, khawatir Tiri sedang sakit. Ternyata Tiri hanya mengajakku keluar rumah. Ada yang mau dia katakan kepada sama saya. Agar nenek tak terbangun, kami pun pelan-pelan membuka pintu dan keluar rumah.
Hanya terlihat bulan sabit yang sedikit ditutupi awan putih di langit. Kami duduk di salah satu potongan batang pohon besar yang berada di samping kolam lele, tepat di belakang rumah. Dengan nada suara yang kering dan lambat, Tiri menceritakan tentang sebuah kunci. Saya sempat sok dan kaget mendengarnya.
”Bang saya dengar-dengar dari cerita orang kita pernah kehilangan kunci laci, apa itu benar ya, Bang?
“Ya itu benar dek, saya juga tidak tau banyak tentang kuci itu..! tapi itu sudah lama sekali hilangnya, bibi dan nenek sudah lama mencarinya tapi sampai sekarang belum ketemu,” jawabku penasaran.
“Sebenarnya saya takut untuk menceritakan ini, takut kita diapa-apain sama bibi, asal abang janji untuk tidak membocorkan rahasia ini, saya akan ceritakan sama abang.
“Ya dek abang janji,” kataku meyakinkan.
“Abang masih ingat tidak waktu saya masih kecil pernah diseret nenek dari kolam lele?”
“Wah, abang tidak ingat lagi kejadian itu, soalnya Tiri dulu sering bikin nenek marah, itu yang mana saya tidak ingat lagi,” sergahku sambil memandang ke arah kolam lele.
Tiri menangis dan bercerita. “Pagi itu saya sangat senang dapat mainan kelereng dari teman nenek yang sering datang ke warung. Terus saya main kelereng di kamar tempat tidur nenek. Tidak lama saya bermain, kelerengnya masuk ke bawah tempat tidur nenek. Dengan susah payah saya pun mengambilnya. Nah, di bawah tempat tidur nenek saya menemukan kelereng itu bersama dengan sebuah kunci kecil, yang warnanya agak kekuning-kuningan. Kuambil kunci itu dan memasukkannya ke dalam mulutku. Saya pun melanjutkan permainan, saya tidak tahu itu benda apa, saya pikir itu mainan. Karena kamar nenek sempit, sayapun pindah ke luar rumah untuk bermain.
Di luar saya senang bermain kelereng, dilempar kemana saja kelerengnya pasti ketemu, tidak susah untuk menemukannya. Semakin asyik saya bermain semakin jauh saya dari halaman rumah. Saya tepat berada di bawah pohon itu (sambil menunjuk pohon yang berada dekat kolam lele). Pada saat itu suara gemuruh sangat keras, dan hujan pun turun sangat deras, saya buru-buru untuk pulang, takut dimarahi nenek. Belum beberapa langkah saya berlari, sayapun tersandung dan terjatuh, kelereng yang tadinya berada di genggaman tanganku terlempar dan masuk ke dalam kolam lele. Tanpa rasa takut saya pun langsung masuk ke dalam kolam untuk mencari kelereng. Tak sengaja, saya meminum air kolam. Jadilah kunci di dalam mulutku ikut masuk ke dalam perutku. Rasa takutpun semakin menjadi, takut akan dimarahi nenek.
Setelah saya menemukan kelereng, tiba-tiba nenek muncul dari pintu belakang rumah, dan memanggilku. Karena saya masih di dalam kolam, nenekpun datang menghampiriku langsung menyeret saya dari dalam kolam dan membawaku ke dalam rumah. Nenek memarahiku dan bertanya kamu kenapa, ‘ngapain kamu ada di dalam kolam? Saya diam dan tidak menjawab apa-apa.
“Pertanyaan itulah yang selalu muncul di pikiranku, makanya saya menceritakan semua ini sama abang, siapa tau ada hubungannya sama kunci laci yang sudah lama dicari nenek dan bibi,” ucap Tiri dengan mata berlinang.
“Ya sudah kita lanjutkan besok saja, sekarang kamu harus tidur dulu,” kataku sambil mengajaknya masuk ke rumah.
Dalam hening malam itu, Tiri kembali membuat pikiranku kacau. Saya tidak lagi bisa memejamkan mata hingga pagi. Bertanya-tanya dalam batin, benarkah kunci yang hilang itu sudah ditemukan oleh Tiri?” ***
0 komentar:
Post a Comment