AKU MELIHAT TUHAN BEKERJA

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Di rumah berkumpul seluruh keluarga mulai dari Ayah, Ibu dan anak-anak.  Di rumah sederhana itulah lahir lima orang anak yaitu seorang  anak laki-laki bernama Palti dan empat orang anak perempuan bernama Reni, Diana, Juni, dan Eli. 

“AYO duduk dulu kita di sini” ucap seorang wanita setengah baya, ia biasa dipanggil dengan Mak. Setelah semua menempati tempat duduknya, Mak melanjutkan perkataannya “Besok ‘kan Bapak dan Mak berangkat. Sebelum berangkat ada beberapa pesan yang harus kalian dengar.

Inilah pertama kali Bapak dan Mamak meninggalkan keluarga lama dan cukup jauh. Sebenarnya kami tidak ingin. Tapi berhubung kebutuhan keuangan yang cukup tinggi padahal kedua adik kalian masih bersekolah, maka kami memutuskan mencoba tawaran pekerjaan yang diterima oleh Bapak kalian. Keinginan kami Cuma satu, agar tidak ada satupun dari kalian yang putus sekolah”. Mak mulai meneteskan air matanya dan berhenti sejenak untuk menarik napas.  “Pesan kami cuma satu, baik-baiklah kalian selama kami tinggalkan. Saling pedulilah kalian bersaudara jangan ada pertengkaran tetapi saling tolong menolonglah” lanjut Mak. Hari itu adalah hari terakhir Bapak dan Mamak di Jakarta. Malam itu ditutup dengan penuh haru, masing-masing orang menyampaikan doa dan harapannya untuk Bapak dan Mamak yang akan jauh dari anak-anaknya.

Keesokan paginya, tidak seperti pagi-pagi biasanya. Mak sibuk membereskan pekerjaan rumah, Bapak repot dengan berkas-berkas yang harus dibawa, berharap tidak ada yang tertinggal. Sesampainya di bandara, setelah check in selesai dilakukan seluruh keluarga berkumpul di ruang tunggu. Diana melihat ada yang berbeda dari Bapak. “Pak kok keliahatan lesu gitu sih? Sakit ya pak?” kata Diana. “Sebenarnya Bapak kurang enak badan dari kemarin, nggak tahu kenapa. Mungkin masuk angin kali ya?” sahut Bapak. “Hmmm..Ya kali pak, ntar di sana istirahat dulu aja ya” kata Diana sambil mengusap tangan Bapak. Bapak tersenyum memandang Diana dan mengelus-elus kepalanya. “Ayo sudah waktunya kita naik” kata Bapak kepada Mak. Semua saling berpelukan dan mengucapkan selamat jalan kepada Bapak dan Mak. “Begitu nyampe kasih kabar ya Mak, jangan lupa loh” kata Diana kepada Mak. Kedua pasangan tengah baya itu berjalan ke arah pintu masuk dan melambaikan tangan ke arah keluarga yang menatap dari kejauhan. Diana memandang kedua orang tuanya dari kejauhan, perlahan-lahan keduanya menghilang ditengah keramaian orang siang itu. 

Sudah dua hari semenjak kepergian Bapak dan Mak tetapi belum ada kabar dari keduanya. “Eh, dah ada kabar belum dari mereka?” tanya Juni. “Belum ey, ntar siang aku coba kontak ke tempat Bapak kerja deh. Tapi katanya sih pesawatnya udah nyampe dengan selamat” jawab Diana. Di tengah pekerjaannya siang itu Diana mendapatkan pesan lewat sms dari Juni. Juni bercerita bahwa Mak dan Bapak sudah sampai tapi kondisi Bapak tidak baik. Ia harus masuk UGD karena kurang enak badan. Mendengar kabar itu Diana sedikit curiga  mengapa orang tidak enak badan harus sampai masuk ke UGD. Tapi kecurigaan tersebut ditepisnya. Mendengar bahwa Bapak dan Mak sudah sampai dengan selamat merupakan kabar yang cukup menenangkan hatinya.

“Kring….kring…” suara telepon di pagi hari. Terjadi percakapan antara Juni dengan seseorang di telepon. Selesai telepon Diana bertanya kepada Juni, “Siapa Jun?” tanya Diana. “Mamak” kata Juni. “Menanyakan kabar kita disini, katanya Bapak sudah mendingan” lanjut Juni.

“Oooo..baguslah kalo gitu” sahut Diana. Hari itu cuaca begitu cerah, Diana memutuskan untuk pergi membeli barang yang sudah lama diinginkannya. Disaat sibuk memilih-milih barang, telepon berbunyi. Dilihatnya nama yang muncul, “Eh, bang Palti.. ada apa ya?” pikirnya dalam hati. “Ada apa bang?” tanya Diana. “Lagi dimana kamu? Tanya bang Palti. “Lagi beli barang nih di toko. Tumben telepon, ada apa? “ kata Diana. “Dek, yang sabar ya..” dengan pelu suara bang Palti terdengar. Kontan jantung Diana berdetak kencang . “Ada apa nih??” seru Diana. “Bapak mengalami pecah pembuluh darah di otak, saat ini kondisinya kritis. Hari ini dia harus di operasi. Kamu bisa berangkat nanti sore? ” kata bang Palti dengan nada pelan.  Diana terdiam. Rasanya baru tadi pagi dia ingat bahwa kondisi Bapak sudah membaik. “Iya.. bisa. Segera saja urus. Kita ketemu di rumah.. “ kata Diana pelan. Perjalanan pulang ke rumah hari itu rasanya begitu lama. Tidak pernah terpikirkan di hatinya bahwa beberapa hari yang lalu akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan Bapak.

Wajah-wajah penunggu pasien yang kelelahan, ditambah ruang tunggu keluarga pasien yang begitu dingin dengan pencahayaan remang menambah suasana hati menjadi kelam. Tidak banyak diantara penunggu yang saling bercerita, kebanyakan hanya terdiam. Diana, Mak dan Palti diam dan berpikir apakah besok Bapak masih ada atau pergi untuk selamanya. Minggu-minggu berlalu, dan banyak hal telah terjadi. Hampir satu bulan Bapak harus mengenakan alat bantu di sekujur tubuhnya. Menatap Bapak dengan kondisi seperti itu tidak jarang Diana bertanya ke Tuhan, “Kenapa begini Tuhan? Padahal Bapak ‘kan ngga macem-macem? Kenapa harus Bapak? Kenapa harus keluargaku?”. Kesedihan dan keraguan yang besar akan jawaban Tuhan terhadap segala doa muncul dari dalam diri Diana. Untung saja keadaan tersebut tidak harus berjalan terlalu lama. Setelah dua bulan harus berpisah dengan keluarga, akhirnya Bapak dan Mak dapat pulang ke tanah air dan melanjutkan perawatan di Jakarta.

“Hari ini Bapak pulang ke rumah” kata Mak kepada seluruh keluarga. Dengan semangat Diana dan saudara-saudaranya menjemput Bapak dan Mak dari rumah sakit. Kepulangan Bapak kali ini sangatlah berbeda sebab pria tua itu sudah tidak dapat berjalan lagi. Setengah dari tubuhnya mengalami kelumpuhan. Penyakitnya telah menghilangkan hampir sebagian besar memori di otaknya. Lambat berbicara, salah dalam merespon pembicaraan, kelemahan tubuh dan perasaan yang begitu sensitif. Sebentar-sebentar menangis, kemudian tertawa. Setiap hari adalah hari-hari yang berat bagi Diana dan keluarga, merawat Bapak yang hanya bisa terbaring di tempat tidur, mulai dari bangun pagi sampai dengan malam kembali menjemput. Memandikan, menyiapkan makanan dan obat-obatan,, memenuhi segala permintaan Bapak, mengantarkan Bapak secara rutin ke rumah sakit dan menjalani berbagai terapi.

Tiga tahun sudah berlalu semenjak Bapak sakit. “Selamat Pagi Pak!” sapa Diana ke Bapak. “Selamat pagi,” jawab Bapak dengan tersenyum. “Gimana kabarnya pagi ini? Enak tidurnya?” lanjut Diana. “Very good, thank you. Hari ini kamu terakhir menolong Bapak mandi kan ya? Besok kamu menikah. Terima kasih ya untuk pertolonganmu selama ini..”mata Bapak berkaca-kaca mengatakan hal ini ke Diana. “Pak, selama ini Bapak ‘kan sudah capek dan berkorban untuk kami anak-anak Bapak. Apa yang kami lakukan, apa yang aku lakukan nggak ada apa-apanya dibandingkan apa yang Bapak dan Mamak lakukan ke kami. Justru kamilah yang seharusnya berterima kasih. Bapak sekarang sudah sehat, sudah bisa berjalan meski belum lancar. Banyak hal yang udah bisa Bapak lakukan sendiri,” jawab Diana kepada ayahnya dengan senyum seraya menahan tangisnya. “Sudah ya pak. Pagi-pagi kok bertangisan gini. Ayo pak, nanti Diana kesiangan nih ke kantor” ujar Diana memandang Bapak dengan hangat. Bapak menjawabnya dengan senyuman.

Percakapan Diana dengan Bapak pagi itu sangat berkesan di hatinya. Tidak pernah terbayangkan oleh Diana kemajuan kesehatan yang dialami oleh Bapak. Awalnya yang ada dipikiran Diana adalah bagaimana mempersiapkan diri untuk menghantarkan Bapak meninggalkan keluarga berpulang ke rumah Tuhan. Masih segar diingatan vonis dokter karena penyakit yang dideritanya, kondisi kritis selama di ICU, kepulangan Bapak ke tanah air dan akhirnya ke rumah, keseharian hidup yang harus dijalani Bapak dan keluarga- mulai dari Bapak yang tergolek tidak berdaya di tempat tidur sampai dapat berjalan kembali. Bapak memang tidak kembali lagi normal seperti sebelumnya, tetapi menemukan Bapak menonton pertandingan bola di televisi dengan semangat, bercerita tentang masa-masa keemasan dia dulu saat muda maupun tentang berita-berita hangat yang terjadi, semuanya hendak menunjukkan betapa Tuhan bekerja  dalam kehidupan Bapak.

Bapak hanyalah salah satu contoh kecil yang Tuhan kerjakan dalam hidup manusia. Masih begitu banyak hal yang Ia kerjakan dalam hidup banyak orang. Perjalanan hidup masih panjang dan masalah pasti ada, tetapi menyadari bahwa Tuhan selalu hadir dan mengerjakan sesuatu dalam kehidupan ini membuat Diana semakin menghayati apa arti hidup. Menyusuri perjalanan ke kantor pagi itu, seraya mengingat kembali perjalanan hidupnya bersama Bapak, Diana berkata dalam hatinya, “Tuhan, maafkan aku kalo pernah meragukanMu. Sekarang aku sadar.. Engkau tahu apa yang aku butuhkan.. Engkau sungguh nyata .. Aku melihat Tuhan bekerja”.

Desy Hutajulu
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment