SBY kembali menjadi sosok yang sangat menentukan masa depan Indonesia. Sebagai produk hasil pemilihan langsung, apakah SBY akan mewariskan kenangan manis untuk kepemimpinan Jokowi, atau justru mengembalikan memori rakyat kepada kekuasaan Soeharto. RUU Pilkada adalah jawabannya.
Bupati Samosir Mangindar Simbolon tampak memegang karton bertuliskan ‘Tolak Pilkada DPRD’. Poster lain bertuliskan ‘Jangan Pasung Demokrasi’, ‘Kami Pelayan Rakyat Bukan Pelayan DPRD’ juga ikut dipamerkan sejawat Mangindar. Penolakan itu digelar saat bupati dan walikota dari seluruh Indonesia menggelar Rapat Koordinasi Luar Biasa Asosiasi Pemerintah Kabupaten/Kotamadya Seluruh Indonesia (Apkasi/Apeksi), Kamis (11/9). Mereka dengan tegas menolak pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Aksi Mangindar Cs tersebut merupakan representasi penolakan yang juga banyak digelar elemen masyarakat lainnya. Bahkan, sejak beberapa pekan terakhir, masyarakat Indonesia disesaki oleh ramainya pemberitaan yang membahas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). RUU Pilkada ini akan mencapai klimaksnya pada 25 September 2014. Jika disahkan, maka 202 pilkada akan digelar serentak mulai 2015. Diketahui, RUU Pilkada awalnya diajukan oleh pemerintah sejak 2010. RUU yang disiapkan Kementerian Dalam Negeri ini memuat dua ketentuan baru. Pertama, pilkada hanya memilih gubernur dan bupati/walikota, sedangkan wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS. Kedua, gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi. Selain karena alasan mahalnya biaya pemilihan langsung, usulan ini ditawarkan pemerintah karena sejak pilkada digelar sejak 2004, sudah ada 290 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum.
Namun, pengesahan RUU Pilkada ini dinilai banyak kalangan sebagai aksi balas dendam oleh kalahnya Prabowo-Hatta dalam Pilpres, Juli lalu. Sederhananya, kubu Prabowo-Hatta yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) ingin mengusik pemerintahan Jokowi-JK lewat pemerintahan daerah. Itu artinya, kebijakan Jokowi dari tingkat pusat dikhawatirkan akan mendapat ‘perlawanan’ dari para kepala daerah. Bila itu terjadi, roda pemerintahan Jokowi berpotensi tidak akan maksimal.
Pengesahan RUU Pilkada di DPR RI memang sangat ditentukan kubu KMP. Pasalnya, KMP saat ini menguasai porsi lebih besar ketimbang Jokowi-JK yang hanya mengantongi porsi suara 25 persen. KMP yang digawangi Gerindra, PKS, PAN, PPP, Golkar, plus Demokrat memiliki total suara 420 kursi di DPR Senayan. Sedangkan kubu Jokowi yang didukung PDIP, PKB, dan Hanura hanya memiliki 140 kursi. Timpangnya kekuatan dua kubu inilah yang akhirnya membuat banyak kalangan mendesak SBY selaku Ketua Umum Demokrat agar mengalihkan dukungan Demokrat ke kubu Jokowi. Bila itu yang terjadi, maka komposisi kekuatan di DPR akan berbalik. Yakni, kubu KMP menjadi 270 suara sedangkan kubu Jokowi akan bertambah gemuk menjadi 290 suara.
Karenanya, pengamat hukum tata negara, Refly Harun, berharap Presiden SBY menginstruksikan Menteri Dalam Negeri untuk konsisten mendukung pilkada langsung. Jika tak ada penegasan dari Presiden SBY, mekanisme pemilihan akan berubah mulai tahun 2015 dan kepala daerah akan dipilih oleh DPRD. "Saya sarankan kepada SBY, kalau koalisi pilkada lewat DPRD tak terbendung, pemerintah harus menggunakan hak 50 persen suaranya. Sangat elitis kalau kepala daerah hanya dipilih DPRD," kata Refly, dalam sebuah diskusi di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (10/9/2014).
Sebuah RUU, lanjut dia, tak dapat disahkan menjadi undang-undang jika tak disetujui bersama antara DPR dan pemerintah. Konsistensi pemerintah inilah yang dinyatakan Refly sebagai hal paling berpengaruh dalam mempertahankan sistem pilkada langsung. "Kalau tidak disetujui bersama, (RUU) tidak bisa disahkan dalam masa sidang itu," ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR Arief Wibowo menyatakan hal yang sama. Konsistensi pemerintah yang mendukung kepala daerah harus dipilih langsung akan memudahkan perjalanan demokrasi di Indonesia. Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu berharap SBY dapat membedakan posisi sebagai kepala pemerintahan dan posisi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Partai Demokrat menjadi salah satu fraksi yang mengusulkan kepala daerah dipilih oleh DPRD. "Pemerintah itu kira-kira punya porsi 50 persen dan DPR punya porsi 50 persen. Sepanjang pemerintah bersikukuh pada pandangannya, sebenarnya lebih mudah untuk diselesaikan," kata Arief.
Arief menambahkan, fraksi yang tergabung dalam KMP berubah sikap dari yang semula setuju kepala daerah dipilih langsung menjadi dipilih oleh DPRD. Perubahan itu terjadi pasca Pilpres 2014. "Orientasinya pada politik atau kepentingan banyak orang? Kalau politik, itu adalah arus yang tidak perlu diikuti. Kita berharap Pak SBY bersikap sebagai presiden, bukan sebagai ketua umum partai," katanya.
Pembahasan RUU Pilkada berlangsung alot, terutama mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah. Berdasarkan hasil rapat Panja RUU Pilkada pada 9 September 2014, kubu KMP ingin agar kepala daerah dipilih oleh DPRD seperti zaman Orde Baru dengan berbagai alasan. Hanya PDI-P, Hanura, dan PKB yang meminta kepala daerah dipilih secara langsung.
Mengenai sistemnya, Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PPP, PAN, dan PDI Perjuangan mengusulkan agar calon yang maju dalam pilkada tidak diusung dalam satu paket. Opsinya adalah calon wakil kepala daerah bisa berasal dari pegawai negeri sipil (PNS), dari partai politik, kalangan profesional, atau sesuai dengan UU Aparatur Sipil Negara. Sementara itu, Fraksi PKS, PKB, Gerindra dan Hanura mengusulkan calon yang maju di pilkada diusung dalam satu paket.
Untuk penyelesaian sengketa hasil pilkada, mayoritas fraksi di DPR mengusulkan sengketa tersebut ditangani oleh Mahkamah Agung. Hanya Fraksi PKB dan Hanura yang mengusulkan sengketa hasil pilkada diselesaikan di Mahkamah Konstitusi dan Fraksi Partai Gerindra mengusulkan sengketa hasil pilkada melalui PTUN.
Untuk anggaran penyelenggaraan pilkada, Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PAN, dan Gerindra mengusulkan penyelenggaraan pilkada dibebankan pada APBN. Sementara itu, Fraksi PDI-P, PKS, PPP, PKB, dan Hanura mengusulkan penyelenggaraan pilkada dibebankan pada APBD. Setelah disepakati di tingkat panja, rumusan akan ditetapkan pada 23 September 2014 di tingkat komisi bersama Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, hasil keputusannya akan dibawa ke tingkat II untuk diputuskan dalam rapat paripurna DPR pada 25 September 2014.
Sementara itu, kader Partai Demokrat, Ruhut Sitompul yang juga pendukung Jokowi menjelaskan, sebagai partai penyeimbang Demokrat tak mau terburu-buru mengambil sikap soal polemik wacana RUU Pilkada. "RUU ini masih dibahas. Kalau peribahasa Jawa ojo kesusu, jangan terburu-buru," kata Ruhut, Selasa (9/9). Apalagi, kata dia, Ketua Umum Partai Demokrat, SBY meminta kepada partainya untuk menunggu muara dari wacana tersebut. "Pak SBY bilang kita tunggu saja soal wacana itu," ucapnya.
Bupati Samosir Mangindar Simbolon tampak memegang karton bertuliskan ‘Tolak Pilkada DPRD’. Poster lain bertuliskan ‘Jangan Pasung Demokrasi’, ‘Kami Pelayan Rakyat Bukan Pelayan DPRD’ juga ikut dipamerkan sejawat Mangindar. Penolakan itu digelar saat bupati dan walikota dari seluruh Indonesia menggelar Rapat Koordinasi Luar Biasa Asosiasi Pemerintah Kabupaten/Kotamadya Seluruh Indonesia (Apkasi/Apeksi), Kamis (11/9). Mereka dengan tegas menolak pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Aksi Mangindar Cs tersebut merupakan representasi penolakan yang juga banyak digelar elemen masyarakat lainnya. Bahkan, sejak beberapa pekan terakhir, masyarakat Indonesia disesaki oleh ramainya pemberitaan yang membahas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). RUU Pilkada ini akan mencapai klimaksnya pada 25 September 2014. Jika disahkan, maka 202 pilkada akan digelar serentak mulai 2015. Diketahui, RUU Pilkada awalnya diajukan oleh pemerintah sejak 2010. RUU yang disiapkan Kementerian Dalam Negeri ini memuat dua ketentuan baru. Pertama, pilkada hanya memilih gubernur dan bupati/walikota, sedangkan wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS. Kedua, gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi. Selain karena alasan mahalnya biaya pemilihan langsung, usulan ini ditawarkan pemerintah karena sejak pilkada digelar sejak 2004, sudah ada 290 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum.
Namun, pengesahan RUU Pilkada ini dinilai banyak kalangan sebagai aksi balas dendam oleh kalahnya Prabowo-Hatta dalam Pilpres, Juli lalu. Sederhananya, kubu Prabowo-Hatta yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) ingin mengusik pemerintahan Jokowi-JK lewat pemerintahan daerah. Itu artinya, kebijakan Jokowi dari tingkat pusat dikhawatirkan akan mendapat ‘perlawanan’ dari para kepala daerah. Bila itu terjadi, roda pemerintahan Jokowi berpotensi tidak akan maksimal.
Pengesahan RUU Pilkada di DPR RI memang sangat ditentukan kubu KMP. Pasalnya, KMP saat ini menguasai porsi lebih besar ketimbang Jokowi-JK yang hanya mengantongi porsi suara 25 persen. KMP yang digawangi Gerindra, PKS, PAN, PPP, Golkar, plus Demokrat memiliki total suara 420 kursi di DPR Senayan. Sedangkan kubu Jokowi yang didukung PDIP, PKB, dan Hanura hanya memiliki 140 kursi. Timpangnya kekuatan dua kubu inilah yang akhirnya membuat banyak kalangan mendesak SBY selaku Ketua Umum Demokrat agar mengalihkan dukungan Demokrat ke kubu Jokowi. Bila itu yang terjadi, maka komposisi kekuatan di DPR akan berbalik. Yakni, kubu KMP menjadi 270 suara sedangkan kubu Jokowi akan bertambah gemuk menjadi 290 suara.
Karenanya, pengamat hukum tata negara, Refly Harun, berharap Presiden SBY menginstruksikan Menteri Dalam Negeri untuk konsisten mendukung pilkada langsung. Jika tak ada penegasan dari Presiden SBY, mekanisme pemilihan akan berubah mulai tahun 2015 dan kepala daerah akan dipilih oleh DPRD. "Saya sarankan kepada SBY, kalau koalisi pilkada lewat DPRD tak terbendung, pemerintah harus menggunakan hak 50 persen suaranya. Sangat elitis kalau kepala daerah hanya dipilih DPRD," kata Refly, dalam sebuah diskusi di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (10/9/2014).
Sebuah RUU, lanjut dia, tak dapat disahkan menjadi undang-undang jika tak disetujui bersama antara DPR dan pemerintah. Konsistensi pemerintah inilah yang dinyatakan Refly sebagai hal paling berpengaruh dalam mempertahankan sistem pilkada langsung. "Kalau tidak disetujui bersama, (RUU) tidak bisa disahkan dalam masa sidang itu," ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR Arief Wibowo menyatakan hal yang sama. Konsistensi pemerintah yang mendukung kepala daerah harus dipilih langsung akan memudahkan perjalanan demokrasi di Indonesia. Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu berharap SBY dapat membedakan posisi sebagai kepala pemerintahan dan posisi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Partai Demokrat menjadi salah satu fraksi yang mengusulkan kepala daerah dipilih oleh DPRD. "Pemerintah itu kira-kira punya porsi 50 persen dan DPR punya porsi 50 persen. Sepanjang pemerintah bersikukuh pada pandangannya, sebenarnya lebih mudah untuk diselesaikan," kata Arief.
Arief menambahkan, fraksi yang tergabung dalam KMP berubah sikap dari yang semula setuju kepala daerah dipilih langsung menjadi dipilih oleh DPRD. Perubahan itu terjadi pasca Pilpres 2014. "Orientasinya pada politik atau kepentingan banyak orang? Kalau politik, itu adalah arus yang tidak perlu diikuti. Kita berharap Pak SBY bersikap sebagai presiden, bukan sebagai ketua umum partai," katanya.
Pembahasan RUU Pilkada berlangsung alot, terutama mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah. Berdasarkan hasil rapat Panja RUU Pilkada pada 9 September 2014, kubu KMP ingin agar kepala daerah dipilih oleh DPRD seperti zaman Orde Baru dengan berbagai alasan. Hanya PDI-P, Hanura, dan PKB yang meminta kepala daerah dipilih secara langsung.
Mengenai sistemnya, Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PPP, PAN, dan PDI Perjuangan mengusulkan agar calon yang maju dalam pilkada tidak diusung dalam satu paket. Opsinya adalah calon wakil kepala daerah bisa berasal dari pegawai negeri sipil (PNS), dari partai politik, kalangan profesional, atau sesuai dengan UU Aparatur Sipil Negara. Sementara itu, Fraksi PKS, PKB, Gerindra dan Hanura mengusulkan calon yang maju di pilkada diusung dalam satu paket.
Untuk penyelesaian sengketa hasil pilkada, mayoritas fraksi di DPR mengusulkan sengketa tersebut ditangani oleh Mahkamah Agung. Hanya Fraksi PKB dan Hanura yang mengusulkan sengketa hasil pilkada diselesaikan di Mahkamah Konstitusi dan Fraksi Partai Gerindra mengusulkan sengketa hasil pilkada melalui PTUN.
Untuk anggaran penyelenggaraan pilkada, Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PAN, dan Gerindra mengusulkan penyelenggaraan pilkada dibebankan pada APBN. Sementara itu, Fraksi PDI-P, PKS, PPP, PKB, dan Hanura mengusulkan penyelenggaraan pilkada dibebankan pada APBD. Setelah disepakati di tingkat panja, rumusan akan ditetapkan pada 23 September 2014 di tingkat komisi bersama Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, hasil keputusannya akan dibawa ke tingkat II untuk diputuskan dalam rapat paripurna DPR pada 25 September 2014.
Sementara itu, kader Partai Demokrat, Ruhut Sitompul yang juga pendukung Jokowi menjelaskan, sebagai partai penyeimbang Demokrat tak mau terburu-buru mengambil sikap soal polemik wacana RUU Pilkada. "RUU ini masih dibahas. Kalau peribahasa Jawa ojo kesusu, jangan terburu-buru," kata Ruhut, Selasa (9/9). Apalagi, kata dia, Ketua Umum Partai Demokrat, SBY meminta kepada partainya untuk menunggu muara dari wacana tersebut. "Pak SBY bilang kita tunggu saja soal wacana itu," ucapnya.
0 komentar:
Post a Comment