OPINI: Sesat Pikir tentang Pembangunan

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman yang kini tercatat sebagai salah satu peserta Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat, 8 Januari lalu, berkata begini: “KPK yang kita harapkan mendorong pembangunan malah jadi sedikit menghambat, karena banyak orang yang tidak mau pegang proyek.”

Menurut Irman, banyak pejabat yang dikait-kaitkan dengan persoalan korupsi. Alhasil, mereka jadi malas untuk memegang proyek. “Karena mereka takut diperkarakan KPK. KPK ini menghambat pembangunan negara,” ujarnya. Menurut Irman, para koruptor yang tertangkap tangan oleh KPK nasibnya sedang sial. “KPK itu kan sifatnya shock therapy dan harus nangkap big fish. Nah, sekarang dia untung-untungan. Guyonannya kalau yang kena KPK itu yang lagi sial saja,” katanya.

Pada 15 Januari lalu, lagi-lagi Irman mengkritik KPK. Menurut dia, sikap yang ditunjukkan petinggi KPK lebih seperti selebritis dengan menikmati apresiasi publik karena lembaga pimpinan Abraham Samad itu sudah berhasil menangkap koruptor kelas kakap seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat (PD) Anas Urbaningrum. Tapi, menurut Irman, penangkapan para pelaku korupsi itu belum bisa dianggap sebagai prestasi KPK. “Indeks persepsi korupsi kita makin baik nggak? Sejak KPK berdiri ada kemajuan nggak? Bukan berapa banyak yang ditangkap,” tegasnya.

Menurut Irman, untuk meningkatkan indeks presepsi korupsi itu, KPK seharusnya tidak hanya melakukan upaya penegakan hukum saat kasus korupsi telah terjadi, tetapi juga tindakan preventif. Terus-terang saya heran membaca pernyataan elit politik non-partai ini. Saya juga meragukan mimpinya menjadi orang nomor satu di republik ini akan terwujud. Bukan apa-apa. Soalnya, selain PD kini tengah terpuruk, Irman Gusman pun bukanlah sosok yang sangat dikenal publik. Apalagi jika publik ditanya begini: pernahkah mendengar apa dan bagaimana pandangan Irman Gusman tentang pembangunan Indonesia?

Sekarang kita tahu, ternyata Irman termasuk orang yang anti-KPK. Pertanyaannya, mengapa elit politik sekaliber dia mengatakan KPK menghambat pembangunan? Apakah maksud dia KPK sebaiknya dibubarkan saja? Lantas lembaga negara yang mana yang harus bertanggung jawab dalam memberantas korupsi? Memang, kita punya kepolisian dan kejaksaan. Tapi coba bertanya kepada rakyat: percayakah mereka kepada polisi dan jaksa dalam konteks memerangi korupsi di negara yang selalu juara korupsi di kawasan Asia ini?

Kita sama-sama tahu jawabannya. Justru karena kedua lembaga negara itu kurang dipercayalah maka KPK akhirnya dibentuk tahun 2003. Mengingat kian merajalelanya praktik korupsi di negeri ini dari waktu ke waktu, seharusnya keberadaan KPK diperbesar dan diperluas. Mestinya KPK tak hanya ada di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah. Jadi, katakanlah, ada KPKD (KPK Daerah) -- sebagaimana DPR punya DPRD. Tapi, itu pun belum cukup. Itulah yang akhirnya mendorong pelbagai elemen masyarakat sipil ikut mengambil bagian dalam tugas mulia memberantas penyakit akut ini. Ada ICW (Indonesia Corruption Watch), TII (Transparency International Indonesia), dan lainnya.

Korupsi memang musuh kita bersama, karena korupsi bagaikan virus berbahaya yang digdaya menggerogoti tubuh Ibu Pertiwi hingga tak berdaya. Maka, di negara ini, korupsi pun akhirnya dikategorikan sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime). Atas dasar itulah maka kelak dibentuk sebuah lembaga negara untuk berdiri di garda terdepan dalam perjuangannya. Jadi wajarlah jika KPK dikategorikan sebagai lembaga super body, yang diberi kewenangan amat luas.

Lalu, bagaimana kita menilai kinerja KPK selama ini? Di era Antasari Azhar, harapan akan kemenangan perjuangan memerangi korupsi itu pun bersemi. Sayangnya ia “tersandung” sebuah kasus dan harus masuk penjara, lalu diteruskan oleh Busyro Muqoddas. Sejak 2011 (sedianya hingga 2015), lembaga ini dipimpin oleh ketua baru: Abraham Samad. Kita layak mengangkat topi, sebab sosok yang relatif masih muda dan berlatar belakang aktivis anti-korupsi ini berani tampil menggebrak. Mungkin lantaran itulah banyak pejabat negara dan elit politik yang tak suka kepadanya, sekaligus kepada lembaga yang dipimpinnya.

Tapi, peduli apa dengan suara-suara sumbang itu. Lagi pula, mengapa mereka harus pusing dengan keberadaan KPK jika mereka tak merasa bersalah? Kalau Irman Gusman mengatakan KPK menghambat pembangunan, bagaimana logikanya? Karena banyak pejabat yang tak mau pegang proyek. Pertanyaannya, kenapa tak mau kalau proyek itu memang penting dan perlu? Lagi pula, apakah semua pejabat harus pegang proyek? Presiden SBY, misalnya, apakah dia pernah memegang proyek?

Sungguh, konsep yang digunakan Irman Gusman itu absurd sekaligus menjengkelkan. Apakah pembangunan itu sama dengan proyek? Apa pula yang dia maksud dengan proyek? Terkandungkah di baliknya dana yang besar? Jadi maksudnya, ada dana untuk dipakai buat membangun tapi ada rasa takut untuk memakainya karena ada KPK yang siap-siap menjerat? Tapi, jika para pejabat negara itu dasarnya memang bernurani bersih, mengapa harus takut?

Irman Gusman (dan siapa pun calon pemimpin masa depan, baik di aras nasional maupun daerah) mestinya paham bahwa pembangunan tak selalu identik dengan proyek. Sebab, pembangunan itu luas sekali. Ia bisa mencakup aspek ekonomi dan non-ekonomi, fisik dan non-fisik. Ia juga bisa bersifat kuantitatif dan kualitatif. Karena itu yang harus dibangun bukanlah sebatas hal-hal yang material seperti pabrik, jembatan, dan yang sejenisnya, tetapi juga karakter dan etos kerja seluruh rakyat. Atas dasar itulah maka proses pembangunan ke depan juga harus sebanyak mungkin melibatkan unsur masyarakat sipil. Sebab, bukankah tujuan pembangunan pada dasarnya untuk menyejahterakan mereka baik lahir maupun batin?

Inilah yang harus dipahami secara benar terkait pembangunan. Pertama, jangan selalu berpikir tentang proyek. Kedua, jangan selalu berorientasi pertumbuhan, apalagi yang bersifat ekonomi atau kuantitatif. Ketiga, libatkanlah masyarakat sipil sebagai subyek atau mitra pembangunan, bukan obyek. Keempat, hiraukanlah hak-hak mereka dan bukan hanya kebutuhan-kebutuhan mereka. Karena itu sering-seringlah mendengarkan suara mereka secara langsung, apalagi the voices of the voiceless.

Pembangunan haruslah berorientasi keadilan bagi semua. Sebab hakikat pembangunan adalah sebuah upaya pemajuan manusia, yang karenanya haruslah menempatkan penghormatan atas hak asasi manusia, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi-sosial-budaya, pada posisi sentral dalam kebijakan pembangunan negara. Terkait itu maka kita harus menolak dengan tegas pendapat Irman Gusman tentang KPK sebagai penghambat pembangunan. Alih-alih kritis, itu justru merupakan sebentuk argumentum ad misericordiam – argumen yang meminta belas kasihan.

Victor Silaen
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
FORUM Keadilan, No. 43/24 Februari-02 Maret 2014
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment