Ise Parjolo di Toru, Lapangan Bola RT 03 Tinggal Kenangan

Lapangan Bola RT 03 tak jauh di belakang perumahan penduduk RT 03 Parsoburan. Lapangan ini biasanya akan ramai pada Minggu dan Selasa. Selepas pulang gereja dan saat hari onan (pekan) tiba. Namun, itu dulu. Sekarang ceritanya sudah berbeda.

“Ise parjolo di toru,” itulah pertanyaan yang selalu terdengar bila pertandingan sepakbola akan dimulai. Pertanyaan ini memang unik karena lapangan bola biasanya datar. Namun, lapangan sepakbola RT 03 memang lain dari lazimnya. Jika diukur, kemiringan lapangannya sekitar 30 derajat. Itulah kenapa menjadi penting tim mana yang lebih dulu di bagian bawah. Sebab, pertandingan selalu menggunakan sistem skor, bukan waktu. Misalnya, skor 4. Itu artinya, tim mana yang lebih dulu mencetak 4 gol akan menjadi pemenangnya. Tetapi, jika salah satu tim sudah mengoleksi 2 gol, saatnya dilakukan penggantian sisi lapangan. Istilahnya, “ganti gawang”.

Nah, di sinilah penentu kemenangannya. Siapa yang lebih dulu di bawah meski tertinggal gol, kemungkinan besar akan keluar sebagai pemenang. Alasannya, mereka akan lebih leluasa menyerang tim lawan yang kini berada di sisi bawah. Aliran bola akan menjadi lebih kencang turun ke bawah. Sebaliknya, tim lawan akan bersusah payah menggiring bola karena harus menaklukkan ‘dakian’ lapangan. Maka, tim mana yang lebih dulu bermarkas di bawah akan diperdebatkan lebih dulu. Solusinya, lewat pengundian yang biasanya menggunakan media koin. Lebih tepatnya, “dituohon”.

Kendati lapangan RT 03 miring, ada kelebihan lain yang dimilikinya. Yakni, rumput manis tumbuh subur di seisi lapangan. Ini sangat membantu agar pemain yang umumnya didominasi anak SMP-SMA tidak mudah cedera bila terjatuh. Kelebihan lain, lapangan ini tidak dihuni serangga “paccat” ataupun lintah, yang umumnya rajin berdiam di rerumputan.

Setiap Minggu dan Selasa, lapangan ini akan mendadak ramai, termasuk oleh hadirnya pedagang es. Satu buah es lilin dihargai Rp 50. Separuh dari harga taruhan permainan sepakbola yang tarifnya Rp 100. Tak hanya memoles bakat anak-anak RT 03 bermain bola, lapangan ini juga sekaligus menjadi ajang pengembangan diri bagi mereka. Bersosialisasi antargenerasi di sebuah lapangan yang miring.

Belakangan, lapangan ini pun akhirnya berganti nama, setelah tren kopi sigarar utang melanda Parsoburan. Dalam waktu sekejap, lahan ini lantas disulap menjadi ladang kopi, yang tentu saja sekaligus menggusur mimpi anak-anak RT 03 bermain bola. Selain kopi, tanaman jagung juga ikut menghapus rekaman peristiwa di balik lapangan itu. Saat ini, karena ketiadaan lapangan, anak-anak RT 03 terpaksa harus bermain bola di halaman depan rumah, yang kian hari juga menciut oleh pelebaran jalan. Begitulah, zaman terus berubah, lapangan RT 03 sudah tinggal kenangan. IP/GABE



Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment