Koran Toba: Kutuk leluhur Simanjuntak

Berita tiga halaman penuh: Kutuk leluhur Simanjuntak, Jambar pun mesti empat, dan Karena kisah kerbau khayali. Perkara tersohor tentang marga Simanjuntak diulas dalam Koran Toba edisi cetak terbaru dari sudut pandang berbeda, yang belum pernah diterbitkan media mana pun. Kutipannya:

Kutuk leluhur Simanjuntak

Sembilan narasumber dari keempat puak marga Simanjuntak menolak kutuk turun-temurun moyang mereka, Sobosihon boru Sihotang, dan pengotak-ngotakan keturunan Raja Marsundung.

Ketua Simanjuntak Siopat Sada Ama (Sipasada) Bonapasogit, Wasir Simanjuntak, mengatakan, "Kalau saya berdosa, tapi anak saya menolak kutuk saya, dosa saya, maka anak saya tidak kena. Itu kutuk. Kalau betul begitu ceritanya, itu adalah nenek moyang yang tidak baik. Tulislah itu!"

Jambar pun mesti empat

Perseteruan dua faksi marga Simanjuntak tak murni hanya karena laknat leluhur. Diduga ditunggangi kepentingan politik.

Narasumber Koran Toba menceritakan pelbagai upaya yang pernah ditempuh sejak tahun 1964 untuk merukunkan kedua klan besar Simanjuntak, yang oleh masyarakat Batak sering dijuluki Simanjuntak Parhorbo Pudi dan Simanjuntak Parhorbo Jolo.

Hezekiel Simanjuntak (68 tahun), dari puak Hutabulu, menambahkan, ada sekutu tertentu di kalangan marga Simanjuntak yang sangat membenci klan Parsuratan. Tapi, tujuan sebenarnya, kata dia, "Meraih jabatan, supaya didukung," saat pemilihan kepala daerah.

Isi hukuman adat oleh Panitia Turunan Tuan Somanimbil (PTTS) itu: keturunan Somba Debata dan Tuan Marruji takkan menghadiri undangan adat ketiga-Simanjuntak, dan jambar dalam adat harus tetap satu kepada seluruh Simanjuntak.

Mencium kemungkinan terjadinya konflik dalam pesta Hutagaol, PTTS meminta bantuan Komandan Raider, bermarga Siregar, dari markas TNI di Onansampang untuk mengamankan. Di pihak lain, tokoh ketiga-Simanjuntak datang dari Tarutung membawa Polisi Militer. "Sangat tegang waktu itu, tahun 1964," kata Ompu Ranap, mengenang.

Karena kisah kerbau khayali

Bahkan media sekelas majalah Tempo dulu pernah memberitakan percekcokan turun-temurun antar-Simanjuntak yang konon berpangkal dari seekor kerbau betina.

"Mana ada sawah 500 tahun yang lewat! Irigasi belum ada. Yang ada cuma eme darat," kata S.M. Simanjuntak (77 tahun) a.k.a. Ompu Ranap, saksi sejarah perseteruan marga Simanjuntak, kepada Koran Toba.

Katanya, orang Batak Toba baru mengenal teknik pembajakan sawah dengan kerbau setelah penjajah Belanda mendirikan sekolah pertanian bernama Lambou di Laguboti. Belanda-lah yang pertama kali mengajarkan metode pertanian kepada orang Batak. [www.korantoba.com]

Baca berita selengkapnya sepanjang tiga halaman penuh di edisi cetak Koran Toba terbitan September 2013. Hubungi bagian pemasaran lewat SMS di nomor HP 08116111785. (KORANTOBA.COM)
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment