Memasuki perubahan iklim dari musim kemarau ke musim hujan, petani kopi ateng di Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Tobasa mengalami gagal panen. Akibatnya, seluruh petani di daerah itu harus mengencangkan ikat pinggang karena penghasilan mereka untuk sementara sangat minim.
Polmen Simanjuntak, warga Desa Matio, Minggu (15/9) mengatakan, bila memasuki musim penghujan, kopi arabika atau yang biasa disebut kopi ateng tidak berbuah. Tanaman tersebut biasanya lebih fokus pada perkembangan daun. Setelah daun, baru memasuki musim pertumbuhan bunga dan terakhir menjadi buah.
”Inilah yang sedang dialami tanaman kopi saat ini, sehingga kami tidak bisa maksimal untuk panen. Kalaupun ada, itu hanya beberapa batang saja sisa pada musim kemarau kemarin,” terangnya.
Dia menyebutkan, jenis kopi ateng adalah sejenis tanaman kopi yang sangat mudah perawatannya. Kalaupun saat ini tidak berbuah, namun hal tersebut sifatnya hanya sementara.
”Kondisi tersebut terjadi setiap tahun. Ada saatnya untuk memasuki musim buah dan tidak. Jadi, di saat memasuki musim seperti ini, kami sebagai petani lebih banyak menahan diri secara khusus untuk bisa mengatur keuangan,” sebutnya.
Hal senada disampaikan Hiro Pardosi, warga Borbor. Dia mengatakan, tanaman kopi di daerahnya saat ini tidak berbuah sama sekali. Sehingga petani kopi di daerahnya lebih fokus untuk melakukan pemupukan dan perawatan untuk membasmi berbagai serangga pada batang tanaman.
”Kalau sudah seperti ini, kami lebih fokus untuk melakukan pemupukan dan perawatan. Biasanya ini akan berlangsung selama satu. Setelah itu, akan memasuki masa panen,” terang Pardosi.
Lebih lanjut pemilik tanaman kopi sebanyak 1.200 batang tersebut mengakui, waktu yang dibutuhkan untuk merawat tanaman kopi sebanyak itu membutuhkan waktu cukup lama. Ditambah biaya pembelian pupuk dan obat-obatan.
”Memang biayanya tidak seberapa untuk pembelian pupuk dan pestisidanya. Hanya saja, untuk melakukan pembersihan dan pembasmian jenis tumbuhan parasit yang menempel di batang kopi, kami membutuhkan bantuan tenaga kerja tiga orang. Biasanya kami akan membayar upah Rp50 ribu per hari,” katanya.
Ditambahkan dia, setelah masa perawatan tersebut usai, biasanya petani tinggal menunggu waktu untuk memasuki masa panen. Biasanya hasil panen dari 1.200 batang tersebut mampu menutupi segala kebutuhan keluarganya dan menyekolahkan dua orang anaknya.
”Kalau masa waktu musim panennya, biasanya per dua minggu kami bisa memanen kopi hingga delapan kaleng. Jadi untuk satu bulan kami bisa melakukan penjualan sebanyak dua kali,” jelasnya dan mengatakan untuk saat ini harga kopi ateng sedang anjlok Rp 90.000 per kaleng. METROSIANTAR
Polmen Simanjuntak, warga Desa Matio, Minggu (15/9) mengatakan, bila memasuki musim penghujan, kopi arabika atau yang biasa disebut kopi ateng tidak berbuah. Tanaman tersebut biasanya lebih fokus pada perkembangan daun. Setelah daun, baru memasuki musim pertumbuhan bunga dan terakhir menjadi buah.
”Inilah yang sedang dialami tanaman kopi saat ini, sehingga kami tidak bisa maksimal untuk panen. Kalaupun ada, itu hanya beberapa batang saja sisa pada musim kemarau kemarin,” terangnya.
Dia menyebutkan, jenis kopi ateng adalah sejenis tanaman kopi yang sangat mudah perawatannya. Kalaupun saat ini tidak berbuah, namun hal tersebut sifatnya hanya sementara.
”Kondisi tersebut terjadi setiap tahun. Ada saatnya untuk memasuki musim buah dan tidak. Jadi, di saat memasuki musim seperti ini, kami sebagai petani lebih banyak menahan diri secara khusus untuk bisa mengatur keuangan,” sebutnya.
Hal senada disampaikan Hiro Pardosi, warga Borbor. Dia mengatakan, tanaman kopi di daerahnya saat ini tidak berbuah sama sekali. Sehingga petani kopi di daerahnya lebih fokus untuk melakukan pemupukan dan perawatan untuk membasmi berbagai serangga pada batang tanaman.
”Kalau sudah seperti ini, kami lebih fokus untuk melakukan pemupukan dan perawatan. Biasanya ini akan berlangsung selama satu. Setelah itu, akan memasuki masa panen,” terang Pardosi.
Lebih lanjut pemilik tanaman kopi sebanyak 1.200 batang tersebut mengakui, waktu yang dibutuhkan untuk merawat tanaman kopi sebanyak itu membutuhkan waktu cukup lama. Ditambah biaya pembelian pupuk dan obat-obatan.
”Memang biayanya tidak seberapa untuk pembelian pupuk dan pestisidanya. Hanya saja, untuk melakukan pembersihan dan pembasmian jenis tumbuhan parasit yang menempel di batang kopi, kami membutuhkan bantuan tenaga kerja tiga orang. Biasanya kami akan membayar upah Rp50 ribu per hari,” katanya.
Ditambahkan dia, setelah masa perawatan tersebut usai, biasanya petani tinggal menunggu waktu untuk memasuki masa panen. Biasanya hasil panen dari 1.200 batang tersebut mampu menutupi segala kebutuhan keluarganya dan menyekolahkan dua orang anaknya.
”Kalau masa waktu musim panennya, biasanya per dua minggu kami bisa memanen kopi hingga delapan kaleng. Jadi untuk satu bulan kami bisa melakukan penjualan sebanyak dua kali,” jelasnya dan mengatakan untuk saat ini harga kopi ateng sedang anjlok Rp 90.000 per kaleng. METROSIANTAR
Saya tertarik dengan tulisan anda, Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai Pertanian yang bisa anda kunjungi disini
ReplyDelete