Lapangan Merdeka yang akrab disebut Taman Bunga, sebenarnya memiliki nilai historis dan sejarah pada masa perjuangan ketika memperebutkan kemerdekaan. Pada agresi militer ke-2 tahun 1984, Lapangan Merdeka itu salah titik terjadinya pertempuran militer Belanda dan Pasukan Siliwangi bersama rakyat hingga berhasil menghabisi Belanda. Namun saat ini, kondisi Lapangan Merdeka tidak mencerminkan tempat bersejarah.
Salah satu pendiri Pemuda Panca Marga Drs Anggiat Nainggolan menceritakan, Lapangan Merdeka itu dulunya salah satu lokasi pasukan Belanda, di bawah lapangan tersebut ada sebuah terowongan yang tembus ke pabrik es. Terowongan yang juga menghubungkan dari Siantar Hotel (dulu markas Belanda) dijadikan sebagai bungker. Sehingga saat peperangan, banyak nyawa melayang dan tertanam dalam terowongan.
“Ayahku, Josiaman Nainggolan selaku veteran ketika itu ikut bersama militer RI dari Siliwangi saat memerangi Belanda di Lapangan Merdeka. Hingga akhirnya, Belanda berhasil ditaklukan,” terang pria yang juga mantan pelatih Paskibraka Siantar selama 10 tahun itu.
Pria yang memiliki dua orang putra dan satu putri ini menceritakan, saat itu kondisi Lapangan Merdeka tidak seperti sekarang yang banyak pohon-pohon tinggi. Namun masih terbuka dan belum ada pagar. Ada juga tempat bermain anak-anak dan pohon-pohonnya masih kecil. Sehingga lapangan itu sering digunakan masyarakat untuk acara pesta rakyat. Seperti memperingati 17 Agustus dan juga pesta budaya. Dan di sana salah satu pusat komunitas masyarakat .
“Jadi, namanya bukan Taman Bunga, melainkan Lapangan Merdeka. Kenapa disebut Lapangan Merdeka, karena lapangan tersebut merupakan saksi sejarah penumpasan para penjajah di Kota Siantar. Jadi Siantar Hotel itu markas Belanda dan mereka bentuk terowongan besar untuk tempat persembunyian. Tapi sekarang terowongan itu tidak pernah dibuka,” terangnya.
Lapangan merdeka adalah saksi sejarah yang memiliki nilai heroik dalam kemerdekaan Indonesia.
Namun setelah kemerdekaan direbut sembari pemerintah daraeh juga terbentuk, nilai sejarah Lapangan Merdeka terabaikan hingga saat ini.
Bahkan Lapangan Merdeka sudah beralih fungsi, dulunya digunakan sebagai lokasi pesta budaya, saat ini tempat orang berpacaran dengan bertindak amoral. Kemudian dulunya Lapangan Merdeka merupakan lokasi yang bebas digunakan masyarakat untuk melakukan aktivitas, tapi kini pemerintah mengkomersilkan dengan melakukan pengutipan retrtibusi melalui perda.
“Dengan dibuatnya perda Lapangan Merdeka untuk dikomersilkan, sebenarnya sudah melanggar hakekat filosofi UU 45 dan Proklamasi 17 Agustus. Namanya saja sudah Lapangan Merdeka, tapi kenapa harus dikutip masuk ke dalam. Nah, di sini pemerintah dari dulu hingga sekarang tak paham dengan nilai sejarah yang hanya berfokuskan PAD,” kesalnya.
Harusnnya, kata dia, apabila orang berada di Lapangan Merdeka, dia dapat merasakan nilai heroik. Tapi faktanya tidak demikian, pada umumnya masyarakat tidak mengetahui tentang sejarah Lapangan Merdeka yang lebih sering disebut Taman Bunga.
Pria yang menganut ajaran Habonaron Do Bona yang merupakan filosofi Simalungun ini menegaskan, pemerintah daerah harusnya memiliki rasa kejujuran, keadilan serta mengedepankan kebenaran dengan menghargai nilai leluhur para pejuang dan pendahulu di Siantar sesuai filosofi Simalungun yakni Habonaron Do Bona.
“Ini kota sejarah, banyak potensi-potensi sejarah yang tidak pernah diperhatikan. Harusnya Lapangan Merdeka itu menjadi salah satu ikon pusat sejarah Siantar dengan berbagai monumen dan dituliskan sejarahnya. Sehingga masyarakat yang datang mengetahui sejarahnya. Tapi yang terjadi saat ini, pemerintah daerah sepertinya melupakan nilai sejarah di Siantar,” ujarnya.
Pengelolaan Lapangan Merdeka diharapkan dapat tertata dengan baik. Pengutipan retribusi dihapuskan dengan merevisi Perda, kemudian mendesain Lapangan Merdeka yang berbudaya dan mencerminkan nilai-nilai sejarah Kota Siantar.
Anggiat yakin kalau pemerintah daerah benar-benar serius menata tempat bersejarah dengan baik, wajah Kota Siantar sebagai kota bersejarah dan berbudaya akan terlihat jelas.
“Kita lihat saja, lapangan parkir pariwisata juga tidak ditata baik. Lihatlah, gerbangnya itu, ornamen Simalungun-nya telah buram. Sehingga kalau wisatawan datang menjadi heran terhadap pemerintah yang tidak perduli dengan nilai sejarah lokal,” katanya. METROSIANTAR
Salah satu pendiri Pemuda Panca Marga Drs Anggiat Nainggolan menceritakan, Lapangan Merdeka itu dulunya salah satu lokasi pasukan Belanda, di bawah lapangan tersebut ada sebuah terowongan yang tembus ke pabrik es. Terowongan yang juga menghubungkan dari Siantar Hotel (dulu markas Belanda) dijadikan sebagai bungker. Sehingga saat peperangan, banyak nyawa melayang dan tertanam dalam terowongan.
“Ayahku, Josiaman Nainggolan selaku veteran ketika itu ikut bersama militer RI dari Siliwangi saat memerangi Belanda di Lapangan Merdeka. Hingga akhirnya, Belanda berhasil ditaklukan,” terang pria yang juga mantan pelatih Paskibraka Siantar selama 10 tahun itu.
Pria yang memiliki dua orang putra dan satu putri ini menceritakan, saat itu kondisi Lapangan Merdeka tidak seperti sekarang yang banyak pohon-pohon tinggi. Namun masih terbuka dan belum ada pagar. Ada juga tempat bermain anak-anak dan pohon-pohonnya masih kecil. Sehingga lapangan itu sering digunakan masyarakat untuk acara pesta rakyat. Seperti memperingati 17 Agustus dan juga pesta budaya. Dan di sana salah satu pusat komunitas masyarakat .
“Jadi, namanya bukan Taman Bunga, melainkan Lapangan Merdeka. Kenapa disebut Lapangan Merdeka, karena lapangan tersebut merupakan saksi sejarah penumpasan para penjajah di Kota Siantar. Jadi Siantar Hotel itu markas Belanda dan mereka bentuk terowongan besar untuk tempat persembunyian. Tapi sekarang terowongan itu tidak pernah dibuka,” terangnya.
Lapangan merdeka adalah saksi sejarah yang memiliki nilai heroik dalam kemerdekaan Indonesia.
Namun setelah kemerdekaan direbut sembari pemerintah daraeh juga terbentuk, nilai sejarah Lapangan Merdeka terabaikan hingga saat ini.
Bahkan Lapangan Merdeka sudah beralih fungsi, dulunya digunakan sebagai lokasi pesta budaya, saat ini tempat orang berpacaran dengan bertindak amoral. Kemudian dulunya Lapangan Merdeka merupakan lokasi yang bebas digunakan masyarakat untuk melakukan aktivitas, tapi kini pemerintah mengkomersilkan dengan melakukan pengutipan retrtibusi melalui perda.
“Dengan dibuatnya perda Lapangan Merdeka untuk dikomersilkan, sebenarnya sudah melanggar hakekat filosofi UU 45 dan Proklamasi 17 Agustus. Namanya saja sudah Lapangan Merdeka, tapi kenapa harus dikutip masuk ke dalam. Nah, di sini pemerintah dari dulu hingga sekarang tak paham dengan nilai sejarah yang hanya berfokuskan PAD,” kesalnya.
Harusnnya, kata dia, apabila orang berada di Lapangan Merdeka, dia dapat merasakan nilai heroik. Tapi faktanya tidak demikian, pada umumnya masyarakat tidak mengetahui tentang sejarah Lapangan Merdeka yang lebih sering disebut Taman Bunga.
Pria yang menganut ajaran Habonaron Do Bona yang merupakan filosofi Simalungun ini menegaskan, pemerintah daerah harusnya memiliki rasa kejujuran, keadilan serta mengedepankan kebenaran dengan menghargai nilai leluhur para pejuang dan pendahulu di Siantar sesuai filosofi Simalungun yakni Habonaron Do Bona.
“Ini kota sejarah, banyak potensi-potensi sejarah yang tidak pernah diperhatikan. Harusnya Lapangan Merdeka itu menjadi salah satu ikon pusat sejarah Siantar dengan berbagai monumen dan dituliskan sejarahnya. Sehingga masyarakat yang datang mengetahui sejarahnya. Tapi yang terjadi saat ini, pemerintah daerah sepertinya melupakan nilai sejarah di Siantar,” ujarnya.
Pengelolaan Lapangan Merdeka diharapkan dapat tertata dengan baik. Pengutipan retribusi dihapuskan dengan merevisi Perda, kemudian mendesain Lapangan Merdeka yang berbudaya dan mencerminkan nilai-nilai sejarah Kota Siantar.
Anggiat yakin kalau pemerintah daerah benar-benar serius menata tempat bersejarah dengan baik, wajah Kota Siantar sebagai kota bersejarah dan berbudaya akan terlihat jelas.
“Kita lihat saja, lapangan parkir pariwisata juga tidak ditata baik. Lihatlah, gerbangnya itu, ornamen Simalungun-nya telah buram. Sehingga kalau wisatawan datang menjadi heran terhadap pemerintah yang tidak perduli dengan nilai sejarah lokal,” katanya. METROSIANTAR
0 komentar:
Post a Comment