JIKA anda memasuki kota Balige, anda akan terpukau dengan deretan rumah Batak di pusat kota Balige. Ada 6 unit bangunan rumah Batak yang berderet dengan rapih, dengan ukuran yang sama dan sepintas ukirannya juga sama. Tapi jika Anda memperhatikan dengan jeli maka tak satupun ukiran rumah itu yang sama.
Di beberapa rumah Batak tersebut ada tertulis tahun pembuatannya, tahun 1938. Almarhum ayah saya, Oscar Hutabarat, seniman dan pengusaha yang lembut hati itu sering mengajak saya duduk di kedai kopi persis depan balairung ini, tak jauh dari rumah tinggal Bang Saut Poltak Tambunan, penulis beken itu. Alm Ayah saya yang berumur 14 tahun ketika Balairung itu dikerjakan bercerita bahwa satu Balairung dikepalai oleh satu seniman, salah satu yang saya ingat bermarga Siagian, Ompung dari pihak ibu teman saya Saul dan Herbert Pardede.
Menurut alm Ayah saya, ia ingat betul pembuatan balairung ini. Rangka-rangkanya dibuat dari besi dan dibor dengan bor tangan, lambat tapi sangat akurat dan presisi. Ukirannya juga begitu detail dengan alur gorga yang sambung menyambung tanpa putus. Konon, tempat ini dulu dibangun oleh seniman seniman Batak diawasi oleh Belanda, sebagai tempat untuk pementasan seni seperti Tilhang Gultom ketika mementaskan Opera. Dari as jalan Propinsi, tiang depan bangunan ini paling tidak berjarak 20 meter, jadi betapa Bangunan ini, 74 tahun lalu oleh Belanda, tapi dikerjakan secara manual dengan alat alat sederhana oleh Para Seniman Batak, sudah mencengangkan, terencana dengan sangat baik.
Yang justru disayangkan, beberapa tahun kemudian setelah Indonesia Merdeka dan oleh beberapa gelintir Orang Batak ikut ikutan bergabung dengan Indonesia memerdekakan diri, maka terjadilah awal musibah itu. Para Wira Kuasa di Negeri ini kemudian membuat berbagai proyek, mengijinkan para pedagang secara semaunya berdagang di Balairung ini, dan supaya tidak terlihat kotor maka dibangunlah di depan Balairung ini dan di sekelilingnya ruko dan toko toko. Sekarang bahkan di depan pertokoan yang juga sudah semak itu, berjejerlah pedagang kaki lima dengan tenda tenda darurat murahan yang dikoordinir Ormas IPK.
Tahun bertambah, teknologi makin canggih, tapi hal yang kita lihat di Negeri ini, di Toba kita ini malah sebaliknya. Kesembrautan yang dipertontonkan Para Wira Kuasa di Negeri ini kemudian diikuti oleh masyarakat awam. Dan setelah semuanya sembraut datanglah Polisi pamong Praja yang dengan kasar memidahkan para pedagang yang mayoritas sudah bayar pajak ke Pemerintah itu.
Saya pernah berandai andai, jika tiap Balairung ini ditata dan dirancang dengan bagus maka satu balairung akan bisa memuat 14 hingga 20 kios, pedagang souvenir atau makanan. Sehingga untuk 6 Balairung bisa menampung 80 hingga 120 pedagang, yang teredukasi dengan baik. Lalu kios di depan Balairung yang ternyata juga kurang produktif itu bisa dibuka dan dijadikan areal parkir. Saya heran bukankah sudah demikian banyak Pemimpin kita di Negeri ini, di Toba ini yang sudah ebih banyak melihat betapa di Negara Negara Maju, ataupun di Bali, atau di tempat yg wisatanya sdh maju Industri dari sektor pariwisata ini bisa mensejahterakan jutaan warganya tanpa kehilangan apapun? Orang orang dengan senang hati berwisata dan meninggalkan uangnya di Toba kita ini?
Yang terjadi malah uang dari Negeri kita ini, APBD, APBN atau dana tralala apapun itu namanya malah lebih banyak di foya foyakan dengan alasan studi banding ke luar negri sana. Dulu setiap ayah saya bercerita dengan pelan bahwa apa yg dilakukan oleh Belanda jauh lebih baik dari apa yg dilakukan pemerintahan Indonesia ini, saya sering bertanya dan protes, mengapa sepertinya ayah saya ini pro Belanda?
Kian lama, kian saya mengerti mengapa hatinya begitu menjerit. Karena ternyata, Pemerintah Indonesia dan Oknum oknum Anak anak Batak yang mengatakan Cinta Indonesia ternyata telah menjajah negrinya sendiri, telah menjajah Kampungnya sendiri jauh lebih kejam dari apa yang dilakukan Belanda.
Naskah dan Foto: Sebastian Hutabarat
0 komentar:
Post a Comment