Misteri Kehidupan Peris Pardede dalam Lakon G30S PKI

TABLOID GABE - “Sejarah harus ditulis apa adanya”. Itulah pepatah kuno yang tepat untuk menggambarkan situasi sejarah kelam bangsa kita dalam tragedi G30S 1965. Kita tidak sedang berupaya meluruskan sejarah, namun sejarah itu sendiri yang sedang mencari kebenaran sejatinya. Pasca kekuasaan Orde Baru tumbang, sedikit demi sedikit fakta sejarah G30S mulai terungkap.

Sebelumnya, film “pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer yang menggambarkan begitu detail bagaimana para anggora Gerwani dan Pemuda Rakyat yang menyiksa, mencungkil mata dan menyileti para Jenderal, adalah propaganda sesat yang sedang dipertontonkan Soeharto.

Bantahan ini sesuai dengan visum et repertum dari tim dokter yang mengautopsi (bedah mayat) para jenderal yaitu tim dokter yang diketuai oleh Brigjen TNI Dr. Rubiono Kertapati dengan visum et repertum nomor 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109 (untuk tujuh korban) yang menyatakan tidak ada bekas penyiksaan dalam tubuh korban seperti penyiksaan, pencungkilan mata, dan sebagainya.

Kebenaran visum ini akhirnya semakin diperkuat oleh pernyataan Dr. Yahya, yang juga murid salah satu tim dokter yang melakukan visum terhadap para korban 65. Dr. Yahya, pada akhir tahun 2007 telah menemukan bukti hasil visum yang menjelaskan bahwa memang tidak terjadi hal-hal yang dituduhkan oleh Pemerintahan Orde Baru Soeharto.

Sejarah seharusnya digali berdasarkan perspektif korban. Sayangnya, kenyataan ini justru dibungkam selama ini. Para korban dibiarkan dengan mulut terkunci tanpa pernah ada ruang sedikitpun untuk berucap. Sejarah dibiarkan langgeng menjadi kabar bohong. Lalu benarlah ucapan Joseph Goebbles bahwa, “Kebohongan yang diulang sesering mungkin, pada akhirnya akan berubah menjadi kebenaran”.

Peris Pardede Lahir di Lumban Rau
Salib yang berdiri di atas makam yang berada tengah kebun ubi jalar yang berjarak hanya beberapa meter dari pinggir jalan utama desa itu sering menjadi sasaran lemparan batu atau tembakan ketapel anak-anak. Waktu saya masih anak-anak, setiap kali melintas di sana, maka bayangan kebengisan dan kebiadaban PKI sebagaimana yang diajarkan oleh guru-guru sekolah kami atau yang kami baca di buku-buku sejarah atau yang kami tonton di televisi selalu melintas, menimbulkan rasa takut yang kerap membuat bulu kuduk berdiri.

Mungkin bayangan kengerian seperti itu jugalah yang hinggap di benak anak-anak atau bahkan orang-orang tua yang melintas disana yang menyebabkan salib yang berdiri di makam itu sering menjadi sasaran lemparan orang-orang.

Kerap tindakan itu disertai dengan makian dan hujatan pada PKI, yang mungkin sebenarnya mereka sendiri tidak paham komunis itu apa. Menurutku, sama seperti jutaan manusia di Indonesia termasuk kita (mungkin – dulu), mereka yang berlaku sedemikian itu adalah korban-korban yang disesatkan oleh propaganda pemerintah mengenai PKI dengan mencekoki rakyat Indonesia dengan sebuah hipotesa.

Ya, sebuah hipotesa! karena ternyata banyak versi ‘fakta yang sebenarnya’ dari sebuah peristiwa yang sama yang berlaku waktu itu. Masing-masing versi mempercayai ‘fakta’-nya sendiri, mencoba mengungkap fakta-nya dan mengajukan teori-teori dan analisis-analisis dengan caranya sendiri. Tapi, kembali, semuanya berujung hanya menjadi sebuah hipotesa. Satu-satunya kesamaan yang dimiliki oleh hipotesa-hipotesa tersebut adalah fakta bahwa peristiwa G30 S itu benar-benar pernah terjadi.

Makam itu terletak di sudut sebuah banjar (sub kampung) di Lumbanrau, Kecamatan Habinsaran. Persisnya di Banjar Godang. Berjarak kurang lebih seratusan meter dari pohon hariara satu marga di sana. Salah seorang tokoh sentral peristiwa G30S terbaring di sana (Saya tidak menyertakan PKI sebagaimana penulisan yang sering kita lihat selama ini, karena tidak lagi percaya pada sebuah hipotesa sebagaimana yang saya percayai dulu, artinya PKI mungkin terlibat tapi bukan otak dan dalang).

Dialah Peris Pardede, salah seorang tokoh sentral dalam peristiwa Gerakan 30-September (G30 S) 1965. Posisinya sebagai anggota CCPKI (Central-Comitee-Partai Komunis Indonesia) dan calon anggota Politbiro PKI pada waktu itu menjadikan dia menjadi salah seorang saksi kunci sejauh mana sebenarnya keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa itu. Begitu pentingnya dia dalam peristiwa itu jika kita coba cari tahu melalui internet, kita akan menemukan namanya di antara tokoh-tokoh dan pimpinan PKI yang terlibat langsung dalam peristiwa itu seperti DN.Aidit, Nyono, Syam Kamaruzaman, Sudisman, Letkol Untung, Latief dll.

Tidak terlalu banyak cerita mengenai sejarah hidupnya yang saya tahu. Dia lahir di Lumbanrau pada tahun 1918. Menjalani karir sebagai jurnalis sampai akhirnya bergabung dengan Harian Rakyat dan Bintang Merah, media resmi PKI. Karir politiknya di PKI mengantarnya ke jajaran anggota CC-PKI (Semacam dewan pimpinan pusat (DPP) pada partai-partai sekarang). Dunia politik itu pulalah yang menenggelamkannya. Setelah dijatuhi hukuman seumur hidup oleh pengadilan dia hidup dan menjalani hari-harinya di penjara khusus di Tanjung Gusta Medan sampai akhirnya meninggal di sana. Belakangan, tulang-belulang Peris Pardede dipindahkan keluarganya ke pemakaman di Jakarta.

Yang menarik, di tahun-tahun terakhir kehidupannya, dia, seorang komunis sejati menjadi penginjil di penjara. Tulisan ini tidak bermaksud mengupas bagaimana kisah hidup dan perjalanan politik Peris Pardede termasuk sepak terjang dan peranannya dalam peristiwa G30 S. Nampaknya pemerintah orde baru berhasil mengubur dan mengunci mati informasi mengenai tokoh-tokoh PKI tersebut, terbukti dengan sedikitnya informasi yang dapat ditemukan mengenai mereka kecuali dari sumber-sumber luar negeri. Hal ini kemungkinan didorong oleh paranoia akan munculnya anak-anak muda yang meneladani ideologi, doktrin dan jalan pikiran mereka.

Perlu riset lebih mendalam dan waktu yang cukup lama untuk mengetahui sejarah hidupnya dan menggali pikiran-pikirannya. Sebagai seorang tokoh partai besar dan seorang jurnalis di satu kurun revolusi sebuah bangsa yang besar, saya yakin pemikiran-pemikirannya pasti memiliki substansi yang tidak biasa-biasa saja. Sekalipun dia dan keluarganya adalah menjadi bagian dari kampung saya, tidak banyak cerita dan kisah mengenai dia, sepertinya stigma/cap buruk baik yang disematkan pemerintah orde baru bagi keluarga yang terlibat dalam peristiwa itu membuat mereka ketakutan dan seperti menutup diri.

Namun, setiap orang yang memberi porsi penting dalam sebuah peristiwa besar adalah orang-orang hebat, demikian juga dengan Peris, terlepas dari hitam putihnya ideologi komunis yang dia pilih sebagai perjalanan karir politiknya, terlepas dari bagaimana fakta yang sebenarnya melatar belakangi peristiwa G30S, dia adalah orang hebat yang telah turut memberi warna dalam sejarah perjalanan hidup bangsa Indonesia.

Peris Pardede dan Majalah Bintang Merah
Majalah Bintang Merah pertama kali terbit November 1945. Rosihan Anwar dalam bukunya, Napak Tilas ke Belanda, menyebut majalah Bintang Merah terbit pada 17 November 1945. Sejak terbit, Bintang Merah sudah diposisikan sebagai jurnal teori. Majalah ini langsung dikontrol oleh departemen agitasi dan propaganda PKI. Aidit, yang saat itu ditempatkan di Agitprop partai, sempat menjadi salah satu nahkoda majalah ini.

Majalah yang mengusung slogan “Mingguan untuk Demokrasi Rakjat” terbit sekali dalam dua bulan. Selain Aidit, Lukman dan Njoto, yang saat itu juga sudah di Jogjakarta, juga terlibat di majalah ini.

Pada September 1948, terjadi “provokasi Madiun”. Sayap kanan segera menuding PKI melancarkan ‘pemberontakan’ di Madiun, Jawa Timur. Itulah yang menjadi dalih untuk membersihkan PKI dan kaum merah lainnya. Bintang Merah juga terkena imbasnya.
Pada tahun 1950-an, Aidit dan Lukman menghidupkan kembali Bintang Merah. Majalah itu resmi diluncurkan pada 15 Agustus 1950. Duduk dalam susunan dewan redaksi, antara lain: Aidit, Njoto, Lukman, dan Peris Pardede. Kantor redaksi menumpang di kediaman Peris Pardede di Jalan Kernolong 4 Jakarta.

Trikoyo Ramidjo, yang terlibat penerbitan Bintang Merah, menuturkan, tempat redaksi Bintang Merah itu sekaligus kantor CC PKI. Lalu, beberapa saat kemudian, kantor CC PKI dipindahkan ke gang Lontar. “Dulunya ukurannya besar, tetapi kemudian diperkecil agar bisa masuk ke saku. Tetapi namanya tetap Bintang Merah,” kata Trikoyo.

Bintang Merah diproduksi hingga 10.000 eksemplar. Majalah ini distribusikan ke seluruh Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Penerbitan Bintang Merah tidak gampang. “Kita setengah mati kumpulkan duit. Itu dipakai untuk mengurus surat ijin penerbitan kertas. Sebab, tanpa surat itu, orang tidak bisa menerbitkan koran,” kenang Trikoyo.

Yang paling banyak menulis adalah tiga serangkai: Aidit, Njoto, dan Lukman. Sebagai jurnal teori, para penulis memang diharuskan adalah orang-orang yang memahami marxisme dengan baik.

Bintang Merah sering mengangkat soal Marxisme-Leninisme. Spesialis penulis di bagian ini adalah Aidit. Selain itu, edisi-edisi awal Bintang Merah banyak diwarnai artikel polemik dan penegasan posisi politik.

Edisi No.12-13 tahun 1951, misalnya, mengulas secara khusus mengenai sikap politik PKI terkait ‘peristiwa Madiun’. Seorang bernama Mirajadi menulis artikel berjudul “Tiga Tahun Provokasi Madiun”. Bagi PKI, provokasi Madiun merupakan buah dari pertemuan Sarangan, pada 12 Juli 1948, yang memutuskan apa yang disebut “red-drive proposal” atau pembasmian kaum merah.

Selain soal Madiun, Bintang Merah juga banyak menghajar penyimpangan-penyimpangan marxisme, khususnya Tan Malaka. Bintang Merah tahun ke-VI No.7, 15 November 1950 hlm. 206-208, misalnya, ada tulisan MH Lukman berjudul “Tan Malaka Penghianat Marxisme Leninisme”. Di situ, MH Lukman ‘menghabisi’ posisi teoritik Tan Malaka.

Serangan juga diarahkan kepada Hatta. Di Bintang Merah vol.7 nomor 1-2, Njoto menulis artikel berjudul “Pemalsuan Marxisme”, yang memblejeti pandangan Hatta tentang komunisme.
Di harian Sin Po 3 tahun 1950 Hatta menulis: “Apa bedanja antara saja dan seorang komunis? Bedanja jalah melainkan halnja saja masih memegang teguh igama dan seorang komunis tidak mau tahu igama. Lain dari dalam hal igama, tidak bedanja antara saja dan seorang komunis.”
Njoto membantah argumentasi itu. Di bidang ekonomi, katanya, Hatta setuju dengan pembangunan ekonomi sosialis, tetapi menolak nasionalisasi.
Bintang Merah memang banyak memainkan peran sebagai konsolidasi ide-ide marxisme. Dengan demikian, setelah orang-orang itu relatif sama dalam ide (marxisme-leninisme), maka pembangunan (reorganisasi) partai menjadi gampang.

Setelah terbit beberapa edisi, akhirnya muncul keinginan untuk membangun kembali PKI. Orang-orang PKI lama pun dikumpulkan. Beberapa ditugasi membangun onder seksi commite sebagai syarat pembentukan seksi komite.

“Kita bikin onder seksi komite di Senen dan Salemba dulu. Kita juga sengaja mencari orang Jakarta asli,” kata Trikoyo.

Pada bulan November 1950, ada peringatan peristiwa “12 November 1926” (Pemberontakan PKI terhadap kolonialisme Belanda). Diputuskan untuk menggelar rapat umum di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Njoto pidato singkat di rapat akbar itu. Inti pidatonya berusaha membangkitkan kembali semangat orang-orang PKI lama untuk membangun partai. Usai pidato, seperti diceritakan Trikoyo, panitia menyediakan formulir anggota.

Pada 7 Januari 1951, Komite Sentral (CC) dan Politbiro terbentuk. Anggotanya terdiri dari: Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman, dan Alimin. Belakangan Alimin mundur dan digantikan oleh Sakirman.

Bintang Merah punya jasa besar dalam membentuk dan membangun kembali PKI. Hal ini diakui pimpinan PKI sebagaimana tertulis di Bintang Merah, edisi 1-2 Djanuari 1951: “Bintang Merah kita memberikan sinar tjemerlang menerangi djalan jang harus ditempuh oleh anggota Partai dan kaum buruh jang sedar akan klasnja. Demikianlah tidak bisa diungkiri lagi, bahwa tersusunnja kembali organisasi-organisasi Partai di-daerah-daerah adalah sebagian besar atas dorongan dan pimpinan BintangMerah kita. Ketjuali itu, bersamaan dengan memberikan dorongan dan pimpinan dalam menjusun kembali organisasi-organisasi Partai di daerah-daerah Bintang Merah kita sekaligus memberikan dasar dan pimpinan untuk memakai sendjata kritik dan self-kritik… ”


Referensi:
http://www.herdi.web.id/jagal-bagian-kecil-dari-dosa-sejarah-orde-baru/
https://hariara.wordpress.com/2008/09/27/tokoh-pki-itu-terbaring-di-lumbanrau-sebuah-catatan-mengenang-g30s-1965/
http://www.berdikarionline.com/majalah-bintang-merah/

Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar: