Paska demonstrasi anarkis yang memakan korban Ketua DPRD Sumut, saya bisa menduga Propinsi Tapanuli tidak akan jadi diwujudkan. Bahasa halusnya: ditunda atau diambangkan sampai batas waktu yang tidak ditentukan lamanya. Sebagai seorang yang sejak awal tidak setuju dengan pembentukan propinsi Tapanuli seharusnya saya senang. Namun kenyataannya tidak. Saya malah sangat gundah dan gelisah. Dan merasa kalah. Aneh. Apa yang terjadi dengan saya? Tidak ada apa-apa. Saya cukup sehat. Namun saya merasa kayaknya ada masalah sangat serius yang sedang terjadi di dalam kita, khususnya kebatakan dan keindonesiaan kita.
Saya ingin mencari waktu lebih banyak untuk merenung dan merumuskan apa yang membuat saya sangat gundah hari-hari terakhir ini. Mungkin saya harus membaca kembali buku dan literatur. Atau mencari orang-orang yang bisa saya ajak berdiskusi. Atau mencoret-coretkan peta hati dan pikiran saya di atas kertas atau layar monitor, melakukan proses katarsis, dan membiarkan permenungan mengalami proses pematangan. Entahlah. Biarlah saya menuliskan kegelisahan atau kerinduan atau apalah namanya yang ada di hati dan pikiran saya saat ini.
Kemajemukan dan permusuhan antar puak. Batak sejak awal majemuk namun parahnya tidak mau belajar bekerjasama dan bersatu. Kita (mungkin orang di luar Batak tidak) tahu bahwa Batak terdiri dari banyak sub-etnis, yaitu: Toba, Samosir, Silindung, Humbang, Angkola, Sibolga, Mandailing, Pakantan, Pakkat, Dairi, Pakpak, Simalungun dan Karo. Ternyata sesudah lebih 60 tahun Indonesia merdeka dan 10 tahun reformasi, sub-sub etnis Batak itu bukannya makin memudar dan melemah melainkan justru semakin mengeras dan mengkristal. Bukannya kian saling memahami dan kerjasama, tetapi malah kian saling mencurigai dan menegasi. Orang-orang Batak Toba semakin tidak suka kepada orang Mandailing (juga Angkola?), begitu juga sebaliknya. Apalagi agama yang dianut kedua puak ini berbeda. Mandailing di Selatan menganut Islam sementara Toba di Utara beragama Kristen. Komplit sudah alasan untuk bermusuhan atau berpisah setengah baik-baik.
Namun persoalan bukan hanya itu. Di bawah permukaan juga sudah lama ada ketegangan antara orang Batak Toba dengan Batak Simalungun dan Karo yang sungguh-sungguh mirip api dalam sekam. Beberapa tahun terakhir ini sub etnis Simalungun tampak sangat gencar ingin menunjukkan identitas dirinya yang khas dan berbeda dari Batak Toba. Orang-orang Karo sudah lebih dulu melakukannya dan sebagian malah sudah enggan menyebut dirinya sebagai Batak Karo namun cukup Karo saja. Sementara itu di dekat perbatasan Aceh, ada orang-orang Batak Pakpak (asal ketua DPRDA Azis Angkat yang tewas itu) yang juga ingin bangkit dan menunjukkan identitasnya.
Terus terang, saya mendapat kesan bahwa masalah kemajemukan dan ketegangan antar sub-etnis Batak ini, sengaja atau tak sengaja, diabaikan atau dianggap tidak ada dalam wacana pembentukan propinsi baru ini. Saya sama sekali tidak menangkap adanya usaha membuka dialog untuk mengeratkan puak-puak Batak yang terpecah sejak jaman purba itu. Yang ada justru ketakutan membicarakannya secara terbuka dan menganggapnya seolah-olah tidak ada. Saya garis bawahi: banyak orang takut membicarakan bahwa Batak sebenarnya sangat beragam dan tegang satu sama lain. Salah satu buktinya: lama sekali ide propinsi ini berkembang tanpa kejelasan dimana ibukotanya. Mengapa? Karena penentuan lokasi ibukota dianggap sangat sensitif dan mudah sekali membuat “pekong” (pecah kongsi). Namun akibat ketidakberanian mengakui perbedaan bara dalam sekam itu tetap ada. Hasilnya apa? Alih-alih membentuk satu propinsi baru maka yang muncul justru ide membentuk tiga atau malah empat-lima propinsi baru: Tapanuli Barat, Tapanuli (Utara) dan Sumatera Tenggara (Mandailing Natal), dan Sumatera Timur (?) serta Nias (?).
Saya tidak bermimpi dalam waktu sekejap orang-orang Batak yang sejak jaman Belanda (atau bahkan sebelumnya) terpecah-belah itu bisa bersatu, apalagi dengan melenyapkan semua keragaman dan kepentingan masing-masing. Pesatuan demi kesatuan itu jargon Orde Baru. Di era reformasi kita telah kembali ke semangat awal Bhineka Tunggal Ika: keragaman dalam persatuan! Namun yang saya harapkan kaum intelektual (semoga masih ada dan cukup banyak) puak-puak Batak yang beragam itu mau duduk bersama dan membicarakan masa depan bersama kebatakan-indonesia kita. Apakah yang sesungguhnya didambakan oleh orang-orang Toba? Apakah kerinduan tersembunyi dari orang Simalungun? Apakah yang dicita-citakan oleh orang Pakpak, Angkola dan Karo? Apa pula mimpi orang Mandailing? Apakah kesamaan kita dan apa pula perbedaan kita? Apa masalah bersama kita dan siapa musuh bersama kita?
Negara-negara Eropah saja harus bersatu dan mengalahkan gengsi sejarah mereka yang sangat panjang! Negara-negara Arab tidak pernah bisa menekan Israel karena tetap bertujuh dan bukan bersatu. Nenek moyang kita mengatakan: bersatu kita mungkin teguh, bercerai kita sudah pasti runtuh! Saya berani bertaruh, tanpa keberanian dan kemauan duduk bersama, membicarakan masalah, mengakui perbedaan dan terutama masa depan bersama, orang Batak (apakah itu Toba, Simalungun, Angkola, Pakpak atau Karo, atau Mandailing) hanya akan menuai kekalahan. Dan kekalahan yang sangat menyakitkan. Juga memalukan.
Oleh Pdt Daniel Taruli Asi Harahap
Tulisan ini dimuat di rumametmet.com pada 24 Februari 2009 dengan judul Batak dan Api dalam Sekam
Saya ingin mencari waktu lebih banyak untuk merenung dan merumuskan apa yang membuat saya sangat gundah hari-hari terakhir ini. Mungkin saya harus membaca kembali buku dan literatur. Atau mencari orang-orang yang bisa saya ajak berdiskusi. Atau mencoret-coretkan peta hati dan pikiran saya di atas kertas atau layar monitor, melakukan proses katarsis, dan membiarkan permenungan mengalami proses pematangan. Entahlah. Biarlah saya menuliskan kegelisahan atau kerinduan atau apalah namanya yang ada di hati dan pikiran saya saat ini.
Kemajemukan dan permusuhan antar puak. Batak sejak awal majemuk namun parahnya tidak mau belajar bekerjasama dan bersatu. Kita (mungkin orang di luar Batak tidak) tahu bahwa Batak terdiri dari banyak sub-etnis, yaitu: Toba, Samosir, Silindung, Humbang, Angkola, Sibolga, Mandailing, Pakantan, Pakkat, Dairi, Pakpak, Simalungun dan Karo. Ternyata sesudah lebih 60 tahun Indonesia merdeka dan 10 tahun reformasi, sub-sub etnis Batak itu bukannya makin memudar dan melemah melainkan justru semakin mengeras dan mengkristal. Bukannya kian saling memahami dan kerjasama, tetapi malah kian saling mencurigai dan menegasi. Orang-orang Batak Toba semakin tidak suka kepada orang Mandailing (juga Angkola?), begitu juga sebaliknya. Apalagi agama yang dianut kedua puak ini berbeda. Mandailing di Selatan menganut Islam sementara Toba di Utara beragama Kristen. Komplit sudah alasan untuk bermusuhan atau berpisah setengah baik-baik.
Namun persoalan bukan hanya itu. Di bawah permukaan juga sudah lama ada ketegangan antara orang Batak Toba dengan Batak Simalungun dan Karo yang sungguh-sungguh mirip api dalam sekam. Beberapa tahun terakhir ini sub etnis Simalungun tampak sangat gencar ingin menunjukkan identitas dirinya yang khas dan berbeda dari Batak Toba. Orang-orang Karo sudah lebih dulu melakukannya dan sebagian malah sudah enggan menyebut dirinya sebagai Batak Karo namun cukup Karo saja. Sementara itu di dekat perbatasan Aceh, ada orang-orang Batak Pakpak (asal ketua DPRDA Azis Angkat yang tewas itu) yang juga ingin bangkit dan menunjukkan identitasnya.
Terus terang, saya mendapat kesan bahwa masalah kemajemukan dan ketegangan antar sub-etnis Batak ini, sengaja atau tak sengaja, diabaikan atau dianggap tidak ada dalam wacana pembentukan propinsi baru ini. Saya sama sekali tidak menangkap adanya usaha membuka dialog untuk mengeratkan puak-puak Batak yang terpecah sejak jaman purba itu. Yang ada justru ketakutan membicarakannya secara terbuka dan menganggapnya seolah-olah tidak ada. Saya garis bawahi: banyak orang takut membicarakan bahwa Batak sebenarnya sangat beragam dan tegang satu sama lain. Salah satu buktinya: lama sekali ide propinsi ini berkembang tanpa kejelasan dimana ibukotanya. Mengapa? Karena penentuan lokasi ibukota dianggap sangat sensitif dan mudah sekali membuat “pekong” (pecah kongsi). Namun akibat ketidakberanian mengakui perbedaan bara dalam sekam itu tetap ada. Hasilnya apa? Alih-alih membentuk satu propinsi baru maka yang muncul justru ide membentuk tiga atau malah empat-lima propinsi baru: Tapanuli Barat, Tapanuli (Utara) dan Sumatera Tenggara (Mandailing Natal), dan Sumatera Timur (?) serta Nias (?).
Saya tidak bermimpi dalam waktu sekejap orang-orang Batak yang sejak jaman Belanda (atau bahkan sebelumnya) terpecah-belah itu bisa bersatu, apalagi dengan melenyapkan semua keragaman dan kepentingan masing-masing. Pesatuan demi kesatuan itu jargon Orde Baru. Di era reformasi kita telah kembali ke semangat awal Bhineka Tunggal Ika: keragaman dalam persatuan! Namun yang saya harapkan kaum intelektual (semoga masih ada dan cukup banyak) puak-puak Batak yang beragam itu mau duduk bersama dan membicarakan masa depan bersama kebatakan-indonesia kita. Apakah yang sesungguhnya didambakan oleh orang-orang Toba? Apakah kerinduan tersembunyi dari orang Simalungun? Apakah yang dicita-citakan oleh orang Pakpak, Angkola dan Karo? Apa pula mimpi orang Mandailing? Apakah kesamaan kita dan apa pula perbedaan kita? Apa masalah bersama kita dan siapa musuh bersama kita?
Negara-negara Eropah saja harus bersatu dan mengalahkan gengsi sejarah mereka yang sangat panjang! Negara-negara Arab tidak pernah bisa menekan Israel karena tetap bertujuh dan bukan bersatu. Nenek moyang kita mengatakan: bersatu kita mungkin teguh, bercerai kita sudah pasti runtuh! Saya berani bertaruh, tanpa keberanian dan kemauan duduk bersama, membicarakan masalah, mengakui perbedaan dan terutama masa depan bersama, orang Batak (apakah itu Toba, Simalungun, Angkola, Pakpak atau Karo, atau Mandailing) hanya akan menuai kekalahan. Dan kekalahan yang sangat menyakitkan. Juga memalukan.
Oleh Pdt Daniel Taruli Asi Harahap
Tulisan ini dimuat di rumametmet.com pada 24 Februari 2009 dengan judul Batak dan Api dalam Sekam
0 komentar:
Post a Comment