Menanti Menteri Batak di Kabinet Jokowi

Sejak pemerintahan Presiden SBY dimulai pada 2004 lalu, kapabilitas orang Batak di tengah kabinet langsung jadi sorotan. Tak satupun orang Batak–terutama orang Batak Toba beragama Nasrani–yang dipercaya untuk memangku salah satu jabatan strategis di pemerintahan. Bagaimana dengan Jokowi?

KALAUPUN
ada, hanya satu nama yang bisa jadi pengobat kecewa: MS Kaban, yang duduk sebagai Menteri Kehutanan. Kaban adalah orang Batak Karo yang menganut agama non Kristen. Selain Kaban, memang masih ada satu nama lain: Sudi Silalahi yang diberikan kepercayaan menjabat Menteri Sekretaris Kabinet, sebuah pos baru di susunan kabinet SBY. Meski ia bermarga Silalahi, tetapi ia bukan seorang Nasrani.

Entah karena diberi posisi Menteri Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi sepertinya kurang mendapat tempat di hati kebanyakan orang Batak. Jabatan yang ia emban, memang sekilas hanyalah jabatan yang dibuat-buat saja. Tidak berdampak apa-apa terutama terhadap orang Batak khususnya bagi pembangunan di kawasan Tapanuli.

Kapabilitas orang Batak kembali terusik pada Oktober 2009 lalu, ketika Presiden SBY mengumumkan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Meski sebelumnya Raden Pardede oleh banyak pihak diprediksi akan menempati pos Kementerian Keuangan, nyatanya hanya mimpi belaka. Faktanya, sang presiden juga tak memberikan jabatan apapun kepada orang Batak, kecuali Sudi Silalahi. Memang, harus diakui, posisi yang kini ditempati Sudi Silalahi lebih bergengsi ketimbang jabatan sebelumnya. Menteri Sekretaris Negara tentu jauh lebih terhormat dibanding Menteri Sekretaris Kabinet. Namun, hal ini tak lantas membuat orang Batak merasa dihargai.

Sebenarnya, masih banyak pos jabatan yang semestinya dipercayakan kepada orang Batak. Paling tidak, itulah harapan kebanyakan elit Batak. Mereka, para elit Batak tersebut, sangat percaya bahwa mereka memang pantas sekaligus layak menduduki beberapa jabatan penting. Apalah daya, SBY nyatanya lebih memilih yang lain, bukan orang Batak.

Muncul pertanyaan, benarkah orang Batak sudah tak lagi diperhitungkan? Benarkah suku lain telah berhasil menggeser peran serta orang Batak selama ini? Ataukah memang, keberadaan orang Batak telah mengakhiri zamannya? Padahal, sejak era Soekarno sekalipun, orang Batak sudah disegani sekaligus dikagumi. Sebut saja, Friedrich Silaban, seorang arsitek yang sangat akrab dengan Bung Karno. Kita semua tahu, Friedrich Silaban merupakan perancang Masjid Istiqlal, masjid yang kini berdiri gagah di tengah Kota Jakarta.

Selanjutnya, era Soeharto, Habibie, Abdurrachman Wahid, dan Megawati, elit Batak masih bisa dijumpai di setiap jajaran pemerintahan. Entah kebetulan atau tidak, tetapi itulah faktanya. Kita mengenal TB Silalahi dan Luhut Panjaitan, yang keduanya dipercaya sebagai menteri pada era yang berbeda.

Lalu, kenapa dalam satu tujuh terakhir orang Batak tidak lagi mendapat kursi empuk di pemerintahan? Pertanyaan ini tentu saja membutuhkan kajian mendalam. Namun, secara kasat mata, orang Batak pada dasarnya telah mengubah haluannya. Kini, profesi yang banyak ditekuni orang Batak adalah segala sendi yang berhubungan dengan bidang hukum, utamanya menjadi seorang pengacara. Lainnya, hakim, jaksa, maupun polisi. Itu yang bersifat formal yang membutuhkan sederet prosedur wajib semisal mengantongi gelar sarjana hukum.

Terakhir, menjelma menjadi seorang mafia pajak. Aksi Gayus Tambunan, seorang pegawai Ditjen Pajak, bisa dijadikan bukti bahwa kehadiran orang Batak di tengah negeri ini perlahan berpindah jalur. Selain Gayus, terdapat beberapa nama lain seperti Cirus Sinaga, Poltak Manullang, Adner Sirait yang semuanya memiliki pola permainan hukum yang hampir sama.

Dengan kata lain, rezim SBY pada prinsipnya masih menempatkan orang Batak sebagai salah satu elemen bangsa yang patut disegani. Akan tetapi, bentuknya berbeda. Orang Batak digiring untuk menjauhi bidang pemerintahan dengan memberikan kepercayaan penuh pada bidang hukum. Memang, ditinjau dari segi historis, kepiawaian orang Batak menguasai seluk-beluk dunia hukum tidak bisa dilepaskan dari adat maupun kebiasaan nenek moyang orang Batak itu sendiri sejak zaman dulu.

Ini ditandai dengan lahirnya konsep Dalihan Na Tolu yang menggambarkan perlunya keselarasan semua pihak dalam menjalankan sebuah kehidupan. Tidak boleh timpang. Hasilnya, dibutuhkan suatu kesepakatan bersama ketika ingin merumuskan sebuah kebijakan. Dalam proses kesepakatan tersebut, lahirlah perdebatan-perdebatan yang secara tidak sengaja telah mengasah kemampuan dialektika orang Batak semakin berkembang.

Hal lain yang perlu dicermati adalah adanya upaya dari agama tertentu untuk melepaskan peranan orang Batak (Nasrani) dari lingkaran pemerintahan. DR HP Panggabean yang intens dan peduli terhadap kebudayaan Batak pernah memberikan peringatan kepada masyarakat Batak. Menurut dia, tidak sampai 25 tahun ke depan, masyarakat Batak yang berada di Pulau Jawa (khususnya Jakarta) tidak akan mampu bertahan.

Alasannya, sistem proporsional mayoritas sudah diberlakukan sejak sepuluh tahun yang lalu (Majalah TABE: Edisi September 2009). Sistem proporsional mayoritas merupakan agenda yang sengaja dirancang untuk memberikan ruang yang lebih sempit terhadap orang Batak dengan dalih agama.

Menurut Panggabean, kenyataan semakin pahit ketika pilihan untuk kembali ke Bona Pasogit bukan cara yang tepat. Sebab, sumber daya alam seperti hutan di Bona Pasogit diprediksi akan terkikis habis. Akibatnya, lapangan pekerjaan otomatis akan semakin berkurang. Dengan kata lain, masyarakat Batak di Bona Pasogit ternyata belum mampu mengendalikan globalisasi yang kini sudah terlanjur masuk ke Tanah Air. Pendapat tersebut memang masih perlu diteliti lebih jauh. Kendati begitu, sangatlah wajar apabila orang Batak mewanti-wanti jika sewaktu-waktu prediksi tersebut benar adanya.

Butuh Pembenahan

Harus diakui, kaderisasi sangat berpengaruh pada kemajuan sebuah bangsa. Tanpa itu, mustahil bisa melahirkan generasi-generasi baru yang mampu meneruskan estafet kesuksesan yang pernah diraih orang Batak. Bukan bermaksud menyalahkan generasi terdahulu, tetapi paling tidak mengingatkan kembali bahwa generasi orang Batak saat ini seolah kehilangan arah oleh minimnya kaderisasi. Pengkaderan yang dimaksud di sini adalah upaya untuk memberikan yang terbaik kepada generasi yang lebih muda. Bentuknya bisa bermacam-macam. Paling mudah, pemberian beasiswa pendidikan kepada generasi muda Batak khususnya di kawasan Tapanuli. Cara ini bisa ditempuh melalui pengumpulan dana abadi elit-elit Batak.

Ada lagi yang lebih mudah, meski harus meniru gaya masyarakat Sumatera Barat yang dikenal dengan Gebu (Gema Seribu). Masing-masing orang Batak, khususnya di luar Tapanuli, mengumpulkan uang seribu rupiah per bulan. Dana yang terkumpul tersebut kemudian disalurkan ke kawasan Tapanuli melalui berbagai cara dan bentuk.

Persoalannya bukan di situ. Kekompakan maupun solidaritas orang Batak kini semakin dipertanyakan. Elit (pejabat, pengusaha) Batak yang memberikan perhatian terhadap orang Batak itu sendiri sepertinya makin mengecil. Bahkan, cenderung mengabaikan rambu-rambu adat Batak yang mengalir deras di darah mereka. Masalah bertambah runyam ketika peranan gereja, terutama HKBP, seolah bergeser pada pemahaman yang lebih pragmatis. Para pendeta yang ditugaskan di kawasan Jabodetabek merasa enggan jika ditugaskan kembali untuk melayani ke Bona Pasogit. Sebaliknya, para pendeta yang melayani di daerah memiliki hasrat yang tinggi untuk melayani di daerah yang lebih “subur”.

Jika demikian, apakah kesempatan untuk kembali ke arena pemerintahan nasional masih bisa direbut oleh orang Batak? Tentu saja kita sepakat bahwa kesempatan itu masih ada. Syaratnya, pembenahan holistik termasuk mental dan solidaritas mutlak diprioritaskan. Kalau untuk urusan intelektual, orang Batak masih diperhitungkan di negeri ini. Itu sudah pasti. Mari menanti Kabinet Jokowi.
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

2 komentar:

  1. Maaf pal., ms kaban itu suku karo bukan batak karo, selain itu d kabinet yg priode2 ada juga dari suku karo yaitu tifatul sembiring, beliau dr suku karo juga,

    mejuah - juah
    dari bang Tarigan

    ReplyDelete
  2. snina...kam itu cmana nya ??
    batak itu bnyakkk
    batak toba karo simalungun pakpak mandailing gayo
    sdangkan greja aja GBKP
    kecuali kalo kamu muslimm,,mungkin kamu pikir kamu bkan batak

    ReplyDelete