Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar di ASEAN, sekitar 230 juta. Namun jumlah warganya yang menyandang gelar doktor masihlah kalah dibanding negara tetangga. "Berdasarkan penilaian global kompetitif, kita berada di tingkat menengah. Negara sebelah 250 sampai 300 doktor per sejuta populasi. Kita naik dari 98 ke 112 doktor per sejuta populasi. Kita masih sangat butuh banyak," tutur Mendikbud M Nuh tanpa menyebutkan negara tetangga mana yang jumlah doktornya melampaui Indonesia itu.
Hal itu disampaikan Nuh saat melepas 35 peserta olimpiade sains internasional di Kemendikbud , Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (2/7/2014). Nuh berharap siswa-siswa pintar yang menjadi peserta olimpiade sains internasional ini bisa menambah jumlah doktor di masa depan. "Kita harapkan mereka semua sudah jadi doktor 10-15 tahun lagi. Sehingga sebelum 30 tahun sudah jadi doktor," imbuhnya.
Sementara itu, Indonesia masih sangat memerlukan bertambahnya kelompok profesional terpelajar di bidang ilmu dan teknologi untuk membantu negeri ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. “Anda tak perlu menjadi sarjana untuk menjadi seorang manajer, namun anda perlu dukungan ilmuwan dan tehnisi untuk mengejar impian anda. Anda tak bisa berbuat apa-apa tanpa mereka,” kata Peter Gontha, salah satu anggota think-thank perekonomian Komite Ekonomi Nasional (KEN), dalam seminar yang diadakan di gedung Balai Kartini, Jakarta.
Peter lantas menyoroti rendahnya jumlah doktor di Indonesia dibandingkan negara-negara Asia lain yang juga padat penduduknya. “China memiliki 800.000 doktor, India punya 650.000 doktor. Dan Indonesia, diukur dari populasinya, seharusnya punya paling tidak 160.000 orang bergelar doktor, namun nyatanya kita hanya punya 30.000 doktor,” katanya.
“Lebih jauh lagi, 80 persen dari mereka ini adalah doktor di bidang hukum, ekonomi atau ilmu agama,” kata Peter dalam seminar yang juga dihadiri salah satu pendiri Apple, Steve Wozniak.
Indonesia boleh saja dianggap sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara namun dalam soal pengembangan iptek negara ini masih tertinggal dari tetangganya di kawasan, kata Said Didu, ketua Asosiasi Insinyur Indonesia. Menurut Said, salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia di bidang iptek adalah rendahnya penghargaan terhadap ilmuwan dan peneliti yang digaji rendah di sini.
Seorang pegawai negeri sipil di bidang iptek hanya menerima Rp4 juta dalam gaji resmi, sementara di negara lain pegawai di bidang yang sama bisa menerima Rp 80 juta per bulan, kata Said. Sebagai perbandingan, seorang hakim atau petugas pajak di Indonesia bisa bergaji Rp 10 juta per bulan.
“Kami kurang memiliki doktor dan peneliti. Hal ini disebabkan rendahnya remunerasi. Seorang profesor peneliti menghasilkan Rp 6 juta per bulan, angka itu lebih rendah dari gaji seorang kepala sekolah dasar,” kata Said.
“Yang membuat maju bangsa itu inovasi yang dilakukan, bukan ekonom atau politisi,” katanya, sembari mencontohkan keberhasilan pendiri Microsoft, Bill Gates dan pendiri Apple, Steve Jobs.
Kurangnya penghargaan terhadap ilmuwan membuat mereka hengkang ke negara lain untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, tambahnya.
“Dalam hal kualitas, kita sudah mencetak insinyur-insinyur handal tapi mereka dibajak oleh perusahaan-perusahaan asing atau mereka melamar kerja di negara lain,” kata Said.
Anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk litbang jauh di bawah pengeluaran pemerintah untuk subsidi, katanya. Menurut data Kementrian Keuangan, subsidi untuk BBM mencapai Rp 124,4 triliun di semester pertama saja.
“Kita punya insinyur yang bisa membuat pesawat terbang, tapi mereka lebih memilih bekerja di perusahaan Embraer (Brasil) daripada mengabdi di Dirgantara Indonesia,” jelas Said. “Kita punya pemenang olimpiade ilmu pengetahuan tapi mereka menerima beasiswa di luar negeri.”
Hal itu disampaikan Nuh saat melepas 35 peserta olimpiade sains internasional di Kemendikbud , Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (2/7/2014). Nuh berharap siswa-siswa pintar yang menjadi peserta olimpiade sains internasional ini bisa menambah jumlah doktor di masa depan. "Kita harapkan mereka semua sudah jadi doktor 10-15 tahun lagi. Sehingga sebelum 30 tahun sudah jadi doktor," imbuhnya.
Sementara itu, Indonesia masih sangat memerlukan bertambahnya kelompok profesional terpelajar di bidang ilmu dan teknologi untuk membantu negeri ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. “Anda tak perlu menjadi sarjana untuk menjadi seorang manajer, namun anda perlu dukungan ilmuwan dan tehnisi untuk mengejar impian anda. Anda tak bisa berbuat apa-apa tanpa mereka,” kata Peter Gontha, salah satu anggota think-thank perekonomian Komite Ekonomi Nasional (KEN), dalam seminar yang diadakan di gedung Balai Kartini, Jakarta.
Peter lantas menyoroti rendahnya jumlah doktor di Indonesia dibandingkan negara-negara Asia lain yang juga padat penduduknya. “China memiliki 800.000 doktor, India punya 650.000 doktor. Dan Indonesia, diukur dari populasinya, seharusnya punya paling tidak 160.000 orang bergelar doktor, namun nyatanya kita hanya punya 30.000 doktor,” katanya.
“Lebih jauh lagi, 80 persen dari mereka ini adalah doktor di bidang hukum, ekonomi atau ilmu agama,” kata Peter dalam seminar yang juga dihadiri salah satu pendiri Apple, Steve Wozniak.
Indonesia boleh saja dianggap sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara namun dalam soal pengembangan iptek negara ini masih tertinggal dari tetangganya di kawasan, kata Said Didu, ketua Asosiasi Insinyur Indonesia. Menurut Said, salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia di bidang iptek adalah rendahnya penghargaan terhadap ilmuwan dan peneliti yang digaji rendah di sini.
Seorang pegawai negeri sipil di bidang iptek hanya menerima Rp4 juta dalam gaji resmi, sementara di negara lain pegawai di bidang yang sama bisa menerima Rp 80 juta per bulan, kata Said. Sebagai perbandingan, seorang hakim atau petugas pajak di Indonesia bisa bergaji Rp 10 juta per bulan.
“Kami kurang memiliki doktor dan peneliti. Hal ini disebabkan rendahnya remunerasi. Seorang profesor peneliti menghasilkan Rp 6 juta per bulan, angka itu lebih rendah dari gaji seorang kepala sekolah dasar,” kata Said.
“Yang membuat maju bangsa itu inovasi yang dilakukan, bukan ekonom atau politisi,” katanya, sembari mencontohkan keberhasilan pendiri Microsoft, Bill Gates dan pendiri Apple, Steve Jobs.
Kurangnya penghargaan terhadap ilmuwan membuat mereka hengkang ke negara lain untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, tambahnya.
“Dalam hal kualitas, kita sudah mencetak insinyur-insinyur handal tapi mereka dibajak oleh perusahaan-perusahaan asing atau mereka melamar kerja di negara lain,” kata Said.
Anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk litbang jauh di bawah pengeluaran pemerintah untuk subsidi, katanya. Menurut data Kementrian Keuangan, subsidi untuk BBM mencapai Rp 124,4 triliun di semester pertama saja.
“Kita punya insinyur yang bisa membuat pesawat terbang, tapi mereka lebih memilih bekerja di perusahaan Embraer (Brasil) daripada mengabdi di Dirgantara Indonesia,” jelas Said. “Kita punya pemenang olimpiade ilmu pengetahuan tapi mereka menerima beasiswa di luar negeri.”
0 komentar:
Post a Comment