TABLOID GABE - Berlarutnya polemik KPK-Polri dinilai mempengaruhi hubungan Presiden Joko Widodo dan PDI Perjuangan sebagai partai politik pengusung. Potensi hubungan yang memburuk bisa jadi dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memisahkan Jokowi dan partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu.
Menurut pengamat politik Universitas Airlangga (Unair) Haryadi, kecenderungan Jokowi meninggalkan Megawati dan PDIP kian menguat. Salah satu buktinya adalah dengan tak segera selesainya konflik yang terhjadi antara KPK dengan Kepolisian. "Dorongan itu berasal dari figur atau faksi kelompok relawan pendukung Presiden. Mereka memang cenderung antipartai. Bisa jadi khayalan mereka, kalau nanti partai diperlukan, maka akan dibentuk partai baru yang anasir utamanya adalah mereka," ujar Haryadi Kamis (12/2).
Haryadi melanjutkan, jika memang langkah itu benar-benar diambil Jokowi, mungkin saja Megawati dan PDIP sedikit rugi. Tapi meski begitu, Megawari dan PDIP bakal tetap eksis sebagai kekuatan politik besar. Alasannya, pondasi politik Megawati dan PDIP sudah kokoh. Sebaliknya, Jokowi dalam posisi terancam. Jika langkah memisahkan diri benar-benar diambil, itu bakal menjadi bunuh diri politik yang konyol. "Sebab, antipartai berarti menentang semangat konstitusi yang mengharuskan pengembangan demokrasi Indonesia berpilar partai," cetusnya.
Selain itu, bila Jokowi tak bersama PDIP dan partai pendukung lainnya, dia akan kehilangan basis kekuatan di parlemen. Memang bisa saja ada partai lain yang siap mendukung Jokowi di parlemen, tapi kepentingannya semu dan sesaat. Bahkan, Jokowi pun nantinya akan dicap sebagai penghianat politik. “Yang diperlukan Presiden Jokowi adalah menguatkan kembali jalinan komunikasi dan ikatan politiknya pada Megawati dan PDIP. Kecuali jika memang Presiden Jokowi ingin bunuh diri secara politik," ungkap Haryadi.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan Universitas Padjadjaran Bandung Muradi menduga ada gerakan sistematis yang ingin menceraikan Jokowi dan basis partai pendukungnya. "Terutama PDI Perjuangan yang jalan beriringan dengan polemik tersebut. Dengan kata lain, makin berlarut polemik antara KPK-Polri, maka makin mulus langkah memisahkan Jokowi dari PDI Perjuangan," ujar Muradi, Kamis (12/2).
Agar pemisahan ini tak terjadi, Muradi mengatakan Jokowi mesti menyadari kondisi ini. Sebagai presiden, mantan Gubernur DKI Jakarta ini membutuhkan sokongan politik yang berbasis parpol. "Untuk menopang program dan kebijakan politiknya," tuturnya. Karenanya, inisiatif membangun komunikasi politik harus dilakukan Presiden Jokowi. Itu agar jalinan komunikasi dengan partai politik yang mengusungnya sejak menjadi Wali Kota di Solo hingga menjadi Presiden kembali membaik.
Muradi melanjutkan langkah presiden Jokowi untuk membangun dan memperbaiki komunikasi politik dengan partainya ini akan menegaskan tiga hal. Pertama, jiwa kenegarawanan yang berbasis pada karakter ideologi partai pengusung utama dalam bentuk Nawa Cita dan Trisakti dapat dipraktikkan dalam membangun komunikasi politik yang baik. "Langkah jemput bola ini juga memperkuat pola hubungan yang selama ini tersumbat dan cenderung dimanfaatkan untuk memisahkan presiden Jokowi dari partai politiknya," ujarnya.
Kedua, menghentikan langkah sejumlah pihak yang ingin memisahkan dirinya dari partai politiknya. "Hal ini penting dilakukan agar konsentrasi pemerintahan tidak terganggu oleh pola hubungan antara presiden dengan partai yang dimanfaatkan sejumlah pihak," lanjut Muradi.
Ketiga, segera menyelesaikan polemik KPK-polri juga harus dilakukan. "Presiden harus tetap berbasis pada konstitusi yang mengatur proses yang tengah berlangsung ini. Sebab jika tidak maka posisi presiden juga dianggap tidak taat asas dan loyalitasnya pada negara dan juga partai akan dipertanyakan," pungkas Muradi.
Sebelumnya, Direktur Indonesia Development Monitoring (IDM), Fahmi Hafel menilai, tekanan dan ancaman PDIP terhadap Jokowi makin terasa jelas lewat cara mereka mendelegitimasi sejumlah menteri di Kabinet Kerja dari jalur profesional. "Hal ini terbukti dengan serangan kader PDIP yang mencoba menyudutkan para menteri Jokowi yang dipilih dari profesional yang dianggap menjauhkan PDIP dari Jokowi," kata Fahmi, Minggu (8/2).
Padahal, menurut dia, Jokowi dan menteri menteri-menterinya sudah menghasilkan kebijakan-kebijakan dalam 100 pemerintahannya, dan Jokowi sudah on the track untuk melakukan perubahan ke arah positif dengan program Trisakti dan Nawacita. "Sebenarnya, alasan PDIP untuk menyingkirkan menteri-menteri dari jalur profesional di kabinet kerja, yang dianggap brutus-brutus, merupakan suatu tindakan yang patut dicurigai ada kepentingan PDIP untuk menguasai tempat-tempat basah. Hanya masalah pundi-pundi dolar saja di balik semua itu," ujarnya.
Seharusnya, kata Fahmi lagi, selama menteri-menteri dari jalur profesional yang ada di kabinet Jokowi bekerja dengan baik untuk merealisasikan janji kampanye Jokowi, PDIP tidak perlu kebakaran jenggot hanya karena sulit berkomunikasi dengan Jokowi. Dia menilai, Jokowi pun sudah cukup sibuk untuk bekerja keras membawa perubahan ekonomi. "Dengan menyudutkan menteri-menteri dari jalur profesional, yang dilakukan oleh PDIP justru sama saja melecehkan Jokowi yang sudah memilih menterinya melalui proses transparan," tegas dia.
Trio Singa Istana
Sinyalemen adanya upaya menjauhkan Jokowi dengan PDIP belakangan semakin menguat. Konon, upaya perceraian politik itu didalangi tiga orang kepercayaan Jokowi yang dikenal dengan Trio Singa Istana. Ketiganya adalah Menteri BUMN Rini Soemarno, Seskab Andi Widjajanto, dan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan. Menyikapi hal ini, elite PDIP langsung bereaksi keras.
Jika dirunut, serangan tajam elite PDIP seperti Effendi Simbolon dan Masinton Pasaribu berawal dari pergeseran orbit 'Trio Singa'. Semua berawal saat Luhut, Rini, dan Andi yang sejak awal jadi tim sukses Jokowi dan kerap berhubungan dengan elite PDIP kemudian bergeser ke Istana Negara setelah dilantik Presiden Jokowi.
"Kalau orbitnya mengalami pergeseran ya wajar saja. Orbitnya sekarang lebih banyak berkomunikasi dengan jaringan kepresidenan. Kalau dulu masih di parpol dong orbitnya," kata politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno, kepada wartawan, Rabu (11/2).
Seandainya pergerseran orbit itu berlangsung lembut tentu saja tidak akan ada gesekan tajam seperti yang saat ini terjadi. Namun karena pergeseran ketiganya masuk ring 1 Jokowi tak mendapat restu Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, menjadi wajar para elite PDIP tak sungkan mendesak Jokowi mereshuffle ketiganya dari posisi penting di kabinet kerja.
Saat ini elite PDIP terus memantau apakah pergeseran orbit 'Trio Singa' telah mengubah ketiga orang dekat Jokowi itu. Namun diakui Hendrawan, terlalu bahaya kalau reshuffle kabinet didorong begitu saja tanpa pertimbangan yang matang. "Reshuffle ide menarik dibicarakan, tapi terlalu berisiko kalau dilakukan dengan tergesa-gesa," tandas Hendrawan.
Senior PDIP lainnya, TB Hasanuddin, menuturkan, pergeseran orbit itu semakin jauh dari Mega dan PDIP karena beberapa elite PDIP menilai tiga tokoh itu menjadi penghalang hubungan PDIP dengan Presiden Jokowi. "Saya banyak mendengar mulai menghendaki adanya reshuffle di kabinet Pak Jokowi, bahkan secara direktif menunjuk satu dua orang yang konon itu menjadi barrier (pembatas) beliau itu antara Istana dengan keputusan partai," kata TB.
Namun demikian, TB menegaskan harus tetap menghormati Jokowi. Tak mungkin memaksakan reshuffle kabinet yang sepenuhnya hak prerogatif Jokowi. "Saya mengajak lebih arif soal reshuffle ya, kita serahkan beri keleluasaan Pak Jokowi. Beliau kan manajer tertinggi di republik ini," kata anggota Komisi I DPR itu.
Dicap sebagai Trio Singa, Luhut Panjaitan menanggapinya dengan santai. Luhut mengaku tidak mendengar soal isu tersebut. Dia juga tidak masalah jika memang dia disebut mengusik Megawati. "Nggak apa-apa," tutur mantan penasihat tim transisi ini di Jakarta, Rabu (4/2).
Ketika ditanya soal dirinya yang disebut menjauhkan Jokowi dengan elite PDIP, Luhut membantahnya. Dia mengaku sebelumnya berbicara banyak hal melalui telepon dengan politisi PDIP Pramono Anung. "Nggak ada, kemarin telpon-telponan dengan Pak Pramono Anung. Baik-baik saja kok," kilahnya.
Luhut juga menegaskan bahwa Jokowi tidak tertekan dengan partai koalisi yang tergabung dalam KIH. Menurut Luhut, Jokowi tampak santai dalam menghadapi isiu-isu terkini. "Nggak, dia santai-santai saja, ketawa-tawa. Presiden tidak bisa diatur sembarang, ditekan-tekan diatur," kata mantan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar ini.
Andi Widjajanto juga sama dengan Luhut. Ia mengaku tak takut dengan isu yang beredar. Bagi dia yang terpenting saat ini seluruh anggota kabinet kerja tetap bekerja keras. "Tugas kami bekerja sekeras-kerasnya, sesuai nama kabinetnya kabinet kerja, nggak terlalu mikirin apa yang menjadi keinginan yang lain tapi hanya melaksanakan apa yang diinginkan oleh presiden," kata Andi kepada wartawan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/2).
Andi menuturkan hubungan dengan PDIP sebagai partai pendukung pemerintahan saat ini juga baik-baik saja. Andi juga sudah mencoba berhubungan dengan sejumlah elite PDIP yang menyerangnya dengan kalimat 'pengkhianat'. "Secara informal personal nggak ada masalah. Secara formal tidak ada tugas saya sebagai seskab ke parpol manapun. Secara informal personal dengan PDIP berjalan baik," pungkasnya. IP
Menurut pengamat politik Universitas Airlangga (Unair) Haryadi, kecenderungan Jokowi meninggalkan Megawati dan PDIP kian menguat. Salah satu buktinya adalah dengan tak segera selesainya konflik yang terhjadi antara KPK dengan Kepolisian. "Dorongan itu berasal dari figur atau faksi kelompok relawan pendukung Presiden. Mereka memang cenderung antipartai. Bisa jadi khayalan mereka, kalau nanti partai diperlukan, maka akan dibentuk partai baru yang anasir utamanya adalah mereka," ujar Haryadi Kamis (12/2).
Haryadi melanjutkan, jika memang langkah itu benar-benar diambil Jokowi, mungkin saja Megawati dan PDIP sedikit rugi. Tapi meski begitu, Megawari dan PDIP bakal tetap eksis sebagai kekuatan politik besar. Alasannya, pondasi politik Megawati dan PDIP sudah kokoh. Sebaliknya, Jokowi dalam posisi terancam. Jika langkah memisahkan diri benar-benar diambil, itu bakal menjadi bunuh diri politik yang konyol. "Sebab, antipartai berarti menentang semangat konstitusi yang mengharuskan pengembangan demokrasi Indonesia berpilar partai," cetusnya.
Selain itu, bila Jokowi tak bersama PDIP dan partai pendukung lainnya, dia akan kehilangan basis kekuatan di parlemen. Memang bisa saja ada partai lain yang siap mendukung Jokowi di parlemen, tapi kepentingannya semu dan sesaat. Bahkan, Jokowi pun nantinya akan dicap sebagai penghianat politik. “Yang diperlukan Presiden Jokowi adalah menguatkan kembali jalinan komunikasi dan ikatan politiknya pada Megawati dan PDIP. Kecuali jika memang Presiden Jokowi ingin bunuh diri secara politik," ungkap Haryadi.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan Universitas Padjadjaran Bandung Muradi menduga ada gerakan sistematis yang ingin menceraikan Jokowi dan basis partai pendukungnya. "Terutama PDI Perjuangan yang jalan beriringan dengan polemik tersebut. Dengan kata lain, makin berlarut polemik antara KPK-Polri, maka makin mulus langkah memisahkan Jokowi dari PDI Perjuangan," ujar Muradi, Kamis (12/2).
Agar pemisahan ini tak terjadi, Muradi mengatakan Jokowi mesti menyadari kondisi ini. Sebagai presiden, mantan Gubernur DKI Jakarta ini membutuhkan sokongan politik yang berbasis parpol. "Untuk menopang program dan kebijakan politiknya," tuturnya. Karenanya, inisiatif membangun komunikasi politik harus dilakukan Presiden Jokowi. Itu agar jalinan komunikasi dengan partai politik yang mengusungnya sejak menjadi Wali Kota di Solo hingga menjadi Presiden kembali membaik.
Muradi melanjutkan langkah presiden Jokowi untuk membangun dan memperbaiki komunikasi politik dengan partainya ini akan menegaskan tiga hal. Pertama, jiwa kenegarawanan yang berbasis pada karakter ideologi partai pengusung utama dalam bentuk Nawa Cita dan Trisakti dapat dipraktikkan dalam membangun komunikasi politik yang baik. "Langkah jemput bola ini juga memperkuat pola hubungan yang selama ini tersumbat dan cenderung dimanfaatkan untuk memisahkan presiden Jokowi dari partai politiknya," ujarnya.
Kedua, menghentikan langkah sejumlah pihak yang ingin memisahkan dirinya dari partai politiknya. "Hal ini penting dilakukan agar konsentrasi pemerintahan tidak terganggu oleh pola hubungan antara presiden dengan partai yang dimanfaatkan sejumlah pihak," lanjut Muradi.
Ketiga, segera menyelesaikan polemik KPK-polri juga harus dilakukan. "Presiden harus tetap berbasis pada konstitusi yang mengatur proses yang tengah berlangsung ini. Sebab jika tidak maka posisi presiden juga dianggap tidak taat asas dan loyalitasnya pada negara dan juga partai akan dipertanyakan," pungkas Muradi.
Sebelumnya, Direktur Indonesia Development Monitoring (IDM), Fahmi Hafel menilai, tekanan dan ancaman PDIP terhadap Jokowi makin terasa jelas lewat cara mereka mendelegitimasi sejumlah menteri di Kabinet Kerja dari jalur profesional. "Hal ini terbukti dengan serangan kader PDIP yang mencoba menyudutkan para menteri Jokowi yang dipilih dari profesional yang dianggap menjauhkan PDIP dari Jokowi," kata Fahmi, Minggu (8/2).
Padahal, menurut dia, Jokowi dan menteri menteri-menterinya sudah menghasilkan kebijakan-kebijakan dalam 100 pemerintahannya, dan Jokowi sudah on the track untuk melakukan perubahan ke arah positif dengan program Trisakti dan Nawacita. "Sebenarnya, alasan PDIP untuk menyingkirkan menteri-menteri dari jalur profesional di kabinet kerja, yang dianggap brutus-brutus, merupakan suatu tindakan yang patut dicurigai ada kepentingan PDIP untuk menguasai tempat-tempat basah. Hanya masalah pundi-pundi dolar saja di balik semua itu," ujarnya.
Seharusnya, kata Fahmi lagi, selama menteri-menteri dari jalur profesional yang ada di kabinet Jokowi bekerja dengan baik untuk merealisasikan janji kampanye Jokowi, PDIP tidak perlu kebakaran jenggot hanya karena sulit berkomunikasi dengan Jokowi. Dia menilai, Jokowi pun sudah cukup sibuk untuk bekerja keras membawa perubahan ekonomi. "Dengan menyudutkan menteri-menteri dari jalur profesional, yang dilakukan oleh PDIP justru sama saja melecehkan Jokowi yang sudah memilih menterinya melalui proses transparan," tegas dia.
Trio Singa Istana
Sinyalemen adanya upaya menjauhkan Jokowi dengan PDIP belakangan semakin menguat. Konon, upaya perceraian politik itu didalangi tiga orang kepercayaan Jokowi yang dikenal dengan Trio Singa Istana. Ketiganya adalah Menteri BUMN Rini Soemarno, Seskab Andi Widjajanto, dan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan. Menyikapi hal ini, elite PDIP langsung bereaksi keras.
Jika dirunut, serangan tajam elite PDIP seperti Effendi Simbolon dan Masinton Pasaribu berawal dari pergeseran orbit 'Trio Singa'. Semua berawal saat Luhut, Rini, dan Andi yang sejak awal jadi tim sukses Jokowi dan kerap berhubungan dengan elite PDIP kemudian bergeser ke Istana Negara setelah dilantik Presiden Jokowi.
"Kalau orbitnya mengalami pergeseran ya wajar saja. Orbitnya sekarang lebih banyak berkomunikasi dengan jaringan kepresidenan. Kalau dulu masih di parpol dong orbitnya," kata politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno, kepada wartawan, Rabu (11/2).
Seandainya pergerseran orbit itu berlangsung lembut tentu saja tidak akan ada gesekan tajam seperti yang saat ini terjadi. Namun karena pergeseran ketiganya masuk ring 1 Jokowi tak mendapat restu Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, menjadi wajar para elite PDIP tak sungkan mendesak Jokowi mereshuffle ketiganya dari posisi penting di kabinet kerja.
Saat ini elite PDIP terus memantau apakah pergeseran orbit 'Trio Singa' telah mengubah ketiga orang dekat Jokowi itu. Namun diakui Hendrawan, terlalu bahaya kalau reshuffle kabinet didorong begitu saja tanpa pertimbangan yang matang. "Reshuffle ide menarik dibicarakan, tapi terlalu berisiko kalau dilakukan dengan tergesa-gesa," tandas Hendrawan.
Senior PDIP lainnya, TB Hasanuddin, menuturkan, pergeseran orbit itu semakin jauh dari Mega dan PDIP karena beberapa elite PDIP menilai tiga tokoh itu menjadi penghalang hubungan PDIP dengan Presiden Jokowi. "Saya banyak mendengar mulai menghendaki adanya reshuffle di kabinet Pak Jokowi, bahkan secara direktif menunjuk satu dua orang yang konon itu menjadi barrier (pembatas) beliau itu antara Istana dengan keputusan partai," kata TB.
Namun demikian, TB menegaskan harus tetap menghormati Jokowi. Tak mungkin memaksakan reshuffle kabinet yang sepenuhnya hak prerogatif Jokowi. "Saya mengajak lebih arif soal reshuffle ya, kita serahkan beri keleluasaan Pak Jokowi. Beliau kan manajer tertinggi di republik ini," kata anggota Komisi I DPR itu.
Dicap sebagai Trio Singa, Luhut Panjaitan menanggapinya dengan santai. Luhut mengaku tidak mendengar soal isu tersebut. Dia juga tidak masalah jika memang dia disebut mengusik Megawati. "Nggak apa-apa," tutur mantan penasihat tim transisi ini di Jakarta, Rabu (4/2).
Ketika ditanya soal dirinya yang disebut menjauhkan Jokowi dengan elite PDIP, Luhut membantahnya. Dia mengaku sebelumnya berbicara banyak hal melalui telepon dengan politisi PDIP Pramono Anung. "Nggak ada, kemarin telpon-telponan dengan Pak Pramono Anung. Baik-baik saja kok," kilahnya.
Luhut juga menegaskan bahwa Jokowi tidak tertekan dengan partai koalisi yang tergabung dalam KIH. Menurut Luhut, Jokowi tampak santai dalam menghadapi isiu-isu terkini. "Nggak, dia santai-santai saja, ketawa-tawa. Presiden tidak bisa diatur sembarang, ditekan-tekan diatur," kata mantan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar ini.
Andi Widjajanto juga sama dengan Luhut. Ia mengaku tak takut dengan isu yang beredar. Bagi dia yang terpenting saat ini seluruh anggota kabinet kerja tetap bekerja keras. "Tugas kami bekerja sekeras-kerasnya, sesuai nama kabinetnya kabinet kerja, nggak terlalu mikirin apa yang menjadi keinginan yang lain tapi hanya melaksanakan apa yang diinginkan oleh presiden," kata Andi kepada wartawan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/2).
Andi menuturkan hubungan dengan PDIP sebagai partai pendukung pemerintahan saat ini juga baik-baik saja. Andi juga sudah mencoba berhubungan dengan sejumlah elite PDIP yang menyerangnya dengan kalimat 'pengkhianat'. "Secara informal personal nggak ada masalah. Secara formal tidak ada tugas saya sebagai seskab ke parpol manapun. Secara informal personal dengan PDIP berjalan baik," pungkasnya. IP
0 komentar:
Post a Comment