Si Singamangaraja dari Dinasti Bakkara

Patung Pahlawan Nasional “Si Singamangaraja XII” terletakdi Jalan Si Singamangaraja, Medan.
Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII yang gugur tanggal 17 Juni 1907. Kita mengenang patriotisme Sang Singa Bakkara yang tiada duanya di negeri ini dalam melawan penjajahan Belanda. Patriotisme yang tetap hidup di hati sanubari rakyat yang ditinggalkannya. Bagi generasi muda Indonesia, khususnya Batak, semangat kepahlawanan yang diperagakan oleh “Ompui” bisa dijadikan sebagai motivasi dalam meneruskan perjuangan mencapai masyarakat yang bermartabat dan sejahtera!

        Si Singamangaraja XII adalah seorang pejuang besar dari Tano Batak. Pejuang dari dinasti Singa Mangaraja Bakkara ini adalah sosok yang tak kenal kata menyerah dalam perang melawan penjajah. Kegigihannya yang tidaklah sebatas kata-kata yang tertulis diatas kertas sejarah, dan keberaniannya bak singa sesuai dengan gelarnya “singa yang melampaui, singa yang tak terlampaui”, serta kesalehannya seperti kain putih “7 dopa” yang melilit di pinggangnya, menjadikan sosok Si Singamangaraja XII sebagai master piece Bangsa Batak sepanjang sejarahnya.
 
Dinasti Bakkara

Dinasti Bakkara, nama yang diambil sesuai nama ibukota kerajaan yakni Bakkara, bermula dari lahirnya Tuan Singa Mangaraja I (1511) yang dianggap sebagai inkarnasi Batara Guru di Bumi dan yang diibaratkan sebagai “penjaga ladang yang tak memakai panah atau gembala yang tak memakai cambuk”. Raja yang bertahta di Bakkara juga dianggap sebagai perhinggapan Mulajadi Nabolon. Disamping itu, ada syarat lainnya bagi pribadi raja yakni bahwa setiap sosok “Si Singamangaraja” haruslah ‘orang suci’ atau satrya pinandita. Seorang raja tak boleh bercacat! Tidak berzinah, tidak meminum minuman keras, darah, dan anti perbudakan. Bahkan konon, Si Singamangaraja I menjadi jatuh miskin karena membayar hutang orang dan melepaskan orang-orang yang terpasung. Tradisi ini dilanjutkan terus menerus oleh para Si Singamangaraja berikutnya sampai dengan Si Singamangaraja XII. Pribadi seperti inilah yang menyebabkan mengapa para raja dari Dinasti Bakkara kemudian menjadi populer di mata rakyat, ditakuti, bahkan oleh musuh-musuhnya.

Siapa Si Singamangaraja XII?

         Si Singamangaraja XII lahir di Bakkara dengan nama Ompu Pulo Batu Gelar Patuan Bosar Sinambela pada tahun 1858 dan ditabalkan menjadi raja di Bakkara pada tahun 1875 ketika beliau masih berumur 17 tahun. Sebagaimana para Sisingamangaraja sebelumnya (I s/d XI), sosok Si Singamangamraja XII harus “saleh” dan “suci”. Menjadi suci di atas rata-rata manusia lainnya tersirat dengan tegas dalam ungkapan lainnya yang melekat pada pribadi Singamangaraja yakni Na pitu hali malim, Na pitu hali solam! Artinya, Tujuh kali saleh, Tujuh kali suci! Kesalehan dan kesucian inilah yang membangun kewibawaannya sebagai pemimpin perang sekaligus adat, kemasyarkatan dan kerohanian di tengah masyarakat Batak. Mengapa Dinasti Bakkara dapat bertahan sampai dengan 12 raja tanpa pernah dikudeta, tak pelak lagi, pastilah karena perilaku ‘saleh’ dan ‘suci’ tadi. (Bandingkan dengan raja-raja di wilayah lain yang mau bunuh-bunuhan bukan saja demi tahta, bahkan demi perempuan! Namun, raja-raja yang bejat seperti itu tetap saja dikenang namanya oleh masyarakat pendukungnya).
        Kesalehan dan kesucian Singamangaraja pulalah yang menurut penulis menjadi salah satu alasan kedekatannya dengan Kesultanan Aceh. Seperti kita ketahui bahwa kesultanan Aceh adalah penganut Islam yang kuat, dapat bekerjasama dengan Si Singamangaraja yang menganut Agama Batak. Aceh dan Batak memang memiliki hubungan bathin yang mendalam dikala itu. Bahkan menurut sejarah, Si Singamangaraja XII pernah latihan militer bersama di Aceh selama tiga bulan. Latihan militer ini merupakan lanjutan dari Si Singamangaraja XI yang juga pernah latihan militer di Aceh. Hubungan Batak dengan Aceh memang tak perlu diragukan. Karena itu Perang Batak (1877-1907) sangat berkaitan dengan Perang Aceh (1873-1903). Sejarah dengan jelas mencatat kerjasama pertahanan Batak-Aceh dalam menghadapi Belanda. Selama kerja sama antara Aceh dan Batak, dalam pertukaran prajurit diantara keduanya tidak sekalipun ditemukan adanya penghianat. Semuanya setia sampai mati. Betapa hebatnya kombinasi Aceh dan Batak, khusunya di mata Belanda sehingga untuk menghormatinya, pihak Belanda menempatkan Rencong Aceh dan Pedang Batak secara berdampingan seperti yang terdapat di museum militer, Bronbeek, Arnhem Belanda. (Hormat kita juga untuk ke dua Bangsa ini!)


Perang Batak (1877-1907)
 
        Si Singamangaraja XII, bersama para pembesarnya, memimpin Perang Batak selama 30 tahun (1877-1907) melawan Belanda secara terus menerus. Berpindah dan bergerilia dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari hutan yang satu ke hutan lainnya. Perang Batak dimulai dengan pernyataan Pulas. Pulas adalah deklarasi perang ala Batak. Pulas ditujukan kepada musu tihus, yakni musuh di siang hari dan musuh di malam hari. Musu Tihus pada masa itu adalah Belanda!

        Selanjutnya yang terjadi kemudian sebagaimana dicatat dalam buku-buku sejarah adalah meletusnya berbagai pertempuran heroik, dimulai dengan Pertempuran di Bahal Batu (1878), Balige (1883), Pinto, Samosir (1883), Sipoholon (1887, Simanullang Toruan (1889), Uluan (1907), dan lain-lain. Tentu saja berkat keunggulan teknologi perang yang dimiliki Belanda, Si Singamangaraja XII beserta pasukannya terdesak ke hutan-hutan. Selama dalam pengejaran Belanda inilah Si Singamngaraja XII mengucapkan seruannya yang terkenal: “Bukan karena hutang nenekku, hutang ayahku, atau hutangku sendiri makanya aku dikejar-kejar, melainkan karena kehormatan yang dari padamulah ya ompung Mulajadi Nabolon dan karena orang yang bermata hitam”! Itulah teriakan ‘singa’ sang Pemimpin para manusia bermata hitam dari Pulo Sumatra. Kalimat diatas adalah suatu ungkapan amarah yang ditujukan kepada pihak Belanda yang dianggapnya telah menghina Bangsa Batak. Semangat yang terkandung dalam ungkapan tersebut dipeliharanya secara konsisten dalam bentuk perjuangan sampai mati! Tidak ada kompromi. Tidak ada negosiasi. Tak kenal menyerah. Yang ada hanya semangat: Merdeka atau Mati! Semangat merdeka atau mati ini telah lama hidup dalam diri Bangsa Batak sebelum orang lain mengucapkannya pada zaman kemerdekaan. Alhasil dari semangat merdeka atau mati ini adalah suatu konsekwensi yang harus dihadapi Belanda, dimana Belanda dapat menguasai Tanah Batak hanya melalui pengorbanan darah dan materi yang sangat besar. Oleh karena itu tidaklah mengherankan mengapa wilayah Batak menjadi kerajaan di Nusantara ini yang terakhir di kalahkan Belanda.

Gugur Sang Pahlawan

        Dengan ringkas, Prof. Dr. WB Sidjabat menggambarkan kehidupan perjuangan Si Singamangaraja XII sebagai berikut:
“Dan setelah Bakkara dalam tahun 1883 dibumihanguskan oleh Belanda, setelah Si Singamangaraja XII luka kena peluru Belanda di Balige, sejak tahun 1884 beliau bersama keluarganya pun terpaksa mengungsi ke Lintong dan seterusnya ke daerah Sionomhudon, Tapanuli Utara hingga akhirnya ia gugur pada tanggal 17 Juni 1907".

        Demikian akhirnya, di sebuah hutan di Huta Sionomhudon, Tapanuli Utara, Si Singamangaraja XII beserta pasukannya terkepung dan beliau tertembak peluru seorang pasukan Belanda berdarah pribumi bernama Hamisi. Raja gugur bersama putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dan putrinya Boru Lopian. Turut serta gugur pula para panglimanya yang telah kita lupakan. Ucapannya yang terakhir sebelum wafat ialah: “Ahu Si Singamngaraja”! Hari yang nahas itu, tanggal 17 Juni 1907, Si Singamangaraja XII gugur meninggalkan kita untuk selamanya. Perang selama 30 tahun pun berakhir oleh sebutir peluru anakbuahnya si Christoffel si penjajah. Berakhirlah riwayat seorang Singa Maharaja terakhir dari Bakkara. Suatu perjuangan yang panjang dan berakhir tragis demi martabat bangsa. Suatu pengahiran tragis terhadap Raja Batak, yang bahkan Belanda pun menyesalinya!
        Sebagai penghormatan atas ‘jasa’ tersebut oleh Pemerintah Indonesia beliau dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1961. Dan sebagai penghormatan pula, rakyat Sumatera Utara mendirikan patung Si Singamangaraja XII di jalan Si Singamangaraja Medan, Sumatra Utara. (Patung tersebut memang masih mulus, tapi sekitarnya dipenuhi sampah dan gerobak jualan. Kita prihatin, beginilah rupanya caranya Sumatra Utara menghormati Pahlawannya!).
 
  sumber
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment