![]() |
Patung Pahlawan Nasional “Si Singamangaraja XII” terletakdi Jalan Si Singamangaraja, Medan.
|
Si Singamangaraja XII adalah seorang pejuang besar dari Tano Batak.
Pejuang dari dinasti Singa Mangaraja Bakkara ini adalah sosok yang tak
kenal kata menyerah dalam perang melawan penjajah. Kegigihannya yang
tidaklah sebatas kata-kata yang tertulis diatas kertas sejarah, dan
keberaniannya bak singa sesuai dengan gelarnya “singa yang melampaui,
singa yang tak terlampaui”, serta kesalehannya seperti kain putih “7 dopa” yang melilit di pinggangnya, menjadikan sosok Si Singamangaraja XII sebagai master piece Bangsa Batak sepanjang sejarahnya.
Dinasti Bakkara
Perang Batak (1877-1907)
Gugur Sang Pahlawan
Dinasti
Bakkara, nama yang diambil sesuai nama ibukota kerajaan yakni Bakkara,
bermula dari lahirnya Tuan Singa Mangaraja I (1511) yang dianggap
sebagai inkarnasi Batara Guru di Bumi dan yang diibaratkan sebagai
“penjaga ladang yang tak memakai panah atau gembala yang tak memakai
cambuk”. Raja yang bertahta di Bakkara juga dianggap sebagai
perhinggapan Mulajadi Nabolon. Disamping itu, ada syarat lainnya bagi
pribadi raja yakni bahwa setiap sosok “Si Singamangaraja” haruslah
‘orang suci’ atau satrya pinandita. Seorang
raja tak boleh bercacat! Tidak berzinah, tidak meminum minuman keras,
darah, dan anti perbudakan. Bahkan konon, Si Singamangaraja I menjadi
jatuh miskin karena membayar hutang orang dan melepaskan orang-orang
yang terpasung. Tradisi ini dilanjutkan terus menerus oleh para Si
Singamangaraja berikutnya sampai dengan Si Singamangaraja XII. Pribadi
seperti inilah yang menyebabkan mengapa para raja dari Dinasti Bakkara kemudian menjadi populer di mata rakyat, ditakuti, bahkan oleh musuh-musuhnya.
Si Singamangaraja XII lahir di Bakkara dengan nama Ompu Pulo Batu Gelar Patuan Bosar Sinambela pada tahun 1858 dan ditabalkan menjadi raja di Bakkara pada tahun 1875 ketika beliau masih berumur 17 tahun. Sebagaimana para Sisingamangaraja sebelumnya (I s/d XI), sosok Si Singamangamraja XII harus “saleh” dan “suci”. Menjadi suci di atas rata-rata manusia lainnya tersirat dengan tegas dalam ungkapan lainnya yang melekat pada pribadi Singamangaraja yakni Na pitu hali malim, Na pitu hali solam! Artinya, Tujuh kali saleh, Tujuh kali suci! Kesalehan dan kesucian inilah yang membangun kewibawaannya sebagai pemimpin perang sekaligus adat, kemasyarkatan dan kerohanian di tengah masyarakat Batak. Mengapa Dinasti Bakkara dapat bertahan sampai dengan 12 raja tanpa pernah dikudeta, tak pelak lagi, pastilah karena perilaku ‘saleh’ dan ‘suci’ tadi. (Bandingkan dengan raja-raja di wilayah lain yang mau bunuh-bunuhan bukan saja demi tahta, bahkan demi perempuan! Namun, raja-raja yang bejat seperti itu tetap saja dikenang namanya oleh masyarakat pendukungnya).
Siapa Si Singamangaraja XII?
Si Singamangaraja XII lahir di Bakkara dengan nama Ompu Pulo Batu Gelar Patuan Bosar Sinambela pada tahun 1858 dan ditabalkan menjadi raja di Bakkara pada tahun 1875 ketika beliau masih berumur 17 tahun. Sebagaimana para Sisingamangaraja sebelumnya (I s/d XI), sosok Si Singamangamraja XII harus “saleh” dan “suci”. Menjadi suci di atas rata-rata manusia lainnya tersirat dengan tegas dalam ungkapan lainnya yang melekat pada pribadi Singamangaraja yakni Na pitu hali malim, Na pitu hali solam! Artinya, Tujuh kali saleh, Tujuh kali suci! Kesalehan dan kesucian inilah yang membangun kewibawaannya sebagai pemimpin perang sekaligus adat, kemasyarkatan dan kerohanian di tengah masyarakat Batak. Mengapa Dinasti Bakkara dapat bertahan sampai dengan 12 raja tanpa pernah dikudeta, tak pelak lagi, pastilah karena perilaku ‘saleh’ dan ‘suci’ tadi. (Bandingkan dengan raja-raja di wilayah lain yang mau bunuh-bunuhan bukan saja demi tahta, bahkan demi perempuan! Namun, raja-raja yang bejat seperti itu tetap saja dikenang namanya oleh masyarakat pendukungnya).
Kesalehan dan kesucian Singamangaraja pulalah yang menurut penulis menjadi salah satu
alasan kedekatannya dengan Kesultanan Aceh. Seperti kita ketahui bahwa
kesultanan Aceh adalah penganut Islam yang kuat, dapat bekerjasama
dengan Si Singamangaraja yang menganut Agama Batak. Aceh dan Batak
memang memiliki hubungan bathin yang mendalam dikala itu. Bahkan menurut
sejarah, Si Singamangaraja XII pernah latihan militer bersama di Aceh
selama tiga bulan. Latihan militer ini merupakan lanjutan dari Si
Singamangaraja XI yang juga pernah latihan militer di Aceh. Hubungan
Batak dengan Aceh memang tak perlu diragukan. Karena itu Perang Batak
(1877-1907) sangat berkaitan dengan Perang Aceh (1873-1903). Sejarah
dengan jelas mencatat kerjasama pertahanan Batak-Aceh dalam menghadapi
Belanda. Selama kerja sama antara Aceh dan Batak, dalam pertukaran
prajurit diantara keduanya tidak sekalipun ditemukan adanya penghianat.
Semuanya setia sampai mati. Betapa hebatnya kombinasi Aceh dan Batak,
khusunya di mata Belanda sehingga untuk menghormatinya, pihak Belanda
menempatkan Rencong Aceh dan Pedang Batak secara berdampingan seperti
yang terdapat di museum militer, Bronbeek, Arnhem Belanda. (Hormat kita juga untuk ke dua Bangsa ini!)
Perang Batak (1877-1907)
Si Singamangaraja XII, bersama para pembesarnya, memimpin Perang Batak
selama 30 tahun (1877-1907) melawan Belanda secara terus menerus.
Berpindah dan bergerilia dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari hutan
yang satu ke hutan lainnya. Perang Batak dimulai dengan pernyataan
Pulas. Pulas adalah deklarasi perang ala Batak. Pulas ditujukan kepada musu tihus, yakni musuh di siang hari dan musuh di malam hari. Musu Tihus pada masa itu adalah Belanda!
Selanjutnya yang terjadi kemudian sebagaimana dicatat dalam buku-buku
sejarah adalah meletusnya berbagai pertempuran heroik, dimulai dengan
Pertempuran di Bahal Batu (1878), Balige (1883), Pinto, Samosir (1883),
Sipoholon (1887, Simanullang Toruan (1889), Uluan (1907), dan lain-lain.
Tentu saja berkat keunggulan teknologi perang yang dimiliki Belanda, Si
Singamangaraja XII beserta pasukannya terdesak ke hutan-hutan. Selama
dalam pengejaran Belanda inilah Si Singamngaraja XII mengucapkan
seruannya yang terkenal: “Bukan karena hutang nenekku, hutang ayahku,
atau hutangku sendiri makanya aku dikejar-kejar, melainkan karena
kehormatan yang dari padamulah ya ompung Mulajadi Nabolon dan karena
orang yang bermata hitam”! Itulah teriakan ‘singa’ sang Pemimpin para manusia bermata hitam dari Pulo Sumatra. Kalimat
diatas adalah suatu ungkapan amarah yang ditujukan kepada pihak Belanda
yang dianggapnya telah menghina Bangsa Batak. Semangat yang terkandung
dalam ungkapan tersebut dipeliharanya secara konsisten dalam bentuk
perjuangan sampai mati! Tidak ada kompromi. Tidak ada negosiasi. Tak
kenal menyerah. Yang ada hanya semangat: Merdeka atau Mati! Semangat
merdeka atau mati ini telah lama hidup dalam diri Bangsa Batak sebelum
orang lain mengucapkannya pada zaman kemerdekaan. Alhasil dari semangat
merdeka atau mati ini adalah suatu konsekwensi yang harus dihadapi
Belanda, dimana Belanda dapat menguasai Tanah Batak hanya melalui
pengorbanan darah dan materi yang sangat besar. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan mengapa wilayah Batak menjadi kerajaan di Nusantara ini
yang terakhir di kalahkan Belanda.
Gugur Sang Pahlawan
Dengan ringkas, Prof. Dr. WB Sidjabat menggambarkan kehidupan perjuangan Si Singamangaraja XII sebagai berikut:
“Dan
setelah Bakkara dalam tahun 1883 dibumihanguskan oleh Belanda, setelah
Si Singamangaraja XII luka kena peluru Belanda di Balige, sejak tahun
1884 beliau bersama keluarganya pun terpaksa mengungsi ke Lintong dan
seterusnya ke daerah Sionomhudon, Tapanuli Utara hingga akhirnya ia
gugur pada tanggal 17 Juni 1907".
Demikian akhirnya, di sebuah hutan di Huta Sionomhudon, Tapanuli Utara,
Si Singamangaraja XII beserta pasukannya terkepung dan beliau tertembak
peluru seorang pasukan Belanda berdarah pribumi bernama Hamisi. Raja
gugur bersama putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dan putrinya Boru
Lopian. Turut serta gugur pula para panglimanya yang telah kita
lupakan. Ucapannya yang terakhir sebelum wafat ialah: “Ahu Si
Singamngaraja”! Hari yang nahas itu, tanggal 17 Juni 1907, Si
Singamangaraja XII gugur meninggalkan kita untuk selamanya. Perang
selama 30 tahun pun berakhir oleh sebutir peluru anakbuahnya si
Christoffel si penjajah. Berakhirlah riwayat seorang Singa Maharaja
terakhir dari Bakkara. Suatu perjuangan yang panjang dan berakhir tragis
demi martabat bangsa. Suatu pengahiran tragis terhadap Raja Batak, yang
bahkan Belanda pun menyesalinya!
Sebagai penghormatan atas ‘jasa’ tersebut oleh Pemerintah Indonesia
beliau dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1961. Dan
sebagai penghormatan pula, rakyat Sumatera Utara mendirikan patung Si
Singamangaraja XII di jalan Si Singamangaraja Medan, Sumatra Utara. (Patung
tersebut memang masih mulus, tapi sekitarnya dipenuhi sampah dan
gerobak jualan. Kita prihatin, beginilah rupanya caranya Sumatra Utara menghormati Pahlawannya!).
0 komentar:
Post a Comment